Antara Ijazah dan Sertifikat

Oleh: Rimson Chandra Napitupulu. Belum lama, dunia pendidikan In­do­ne­sia digegerkan oleh pemberitaan ijazah pal­su yang beredar di beberapa kota yang dilakukan oleh perguruan ting­gi tertentu. Ba­nyak pihak yang terkejut dan merasa me­nyayangkan kejadian ter­sebut. Hal ini karena para pemegang ija­zah palsu tak menjalankan pro­ses per­ku­lia­han as usual. Mereka dianggap telah me­­la­kukan “jalan pintas” sehingga diang­gap tak memiliki keahlian sesuai dengan ija­zah palsunya. Dan yang patut lebih di­sa­yangkan, PT yang menge­luarkan ijazah palsu telah mencoreng wa­jah pendidikan In­donesia. Lantas, ka­lau­ sudah menjalani pro­ses perkuliahan se­bagaimana bia­sa­nya dan mendapatkan ija­zah(asli) dari PTN atau PTS yang ter­akreditasi, per­ta­nyaan ber­ikut­nya, apakah ini sudah cukup me­wakili bahwa para lulus­an sudah (diang­gap) jaminan memi­liki keahlian dan kemam­pu­an tertentu? Sayang, ja­wa­bannya ada­lah belum.

Ijazah Belum Jaminan

Bukti seseorang sudah menuntaskan pendidikannya adalah ija­zah. Adanya ke­pemilikan ijazah ini biasanya juga diikuti pengakuan bahwa seseorang sudah memiliki keahlian dan kemampuan yang cukup di bidangnya, terutama kepemili­kan ijazah dari suatu PT. Lalu, mengapa se­rtifikat tertentu bahkan kadang kala diwajibkan untuk dimiliki jika ingin melamar sebuah pekerjaan pada suatu perusahaan?Sertifikat adalah selembaran yang dikeluarkan lembaga non-formal tertentu yang biasanya untuk mempero­leh­nya dengan mengikuti tes tertentu da­lam waktu sehari atau beberapa hari. Apakah ijazah yang sudah diperjuangkan hing­ga bertahun-tahun yang tak jarang di­iringi uraian air mata, penderitaan dan ke­sedihan serta kepedihan tak jua mampu men­jadi garansi bahwa sang pemilik ija­zah dianggap mempunyai kompetensi dan kecakapan di bi­dangnya sesuai de­ngan jurusan/program studi yang diam­bil sel­ama perkuliahan?

Dalam mendapatkan ijazah dari se­buah PT butuh pengor­banan dan per­jua­ngan yang tak tangung-tanggung. Para ma­­­ha­siswa harus mengalami tekanan/be­­ban pikiran berat; meng­habiskan wak­tu yang panjang; menguras tenaga; serta menge­luarkan biaya pendidikan yang tak sedikit. Tak ber­lebihan, tak se­dikit para calon sarjana harus menga­lami stress dan depresi demi mendapatkan se­carik-dua carik lem­bar­an itu. Na­mun, se­telah semuanya berlalu dan pada akhir­nya mendapatkan ija­zah, segala perjua­ngan dan pengorbanan yang dilakukan ter­­­nyata tak lantas membuat mereka ha­rus berpuas diri. Mereka “dipaksa”lagi m­e­­lengkapi lembaran yang dibubuhi tanda ta­ngan rektor atau ketua program itu dengan sejumlah sertifikat agar di­ang­­gap ber­kom­peten dan layak men­da­­patkan pe­kerjaan di suatu perusahaan. Ironis! Yang menentukan apakah seo­rang sarjana berkompeten atau tidak ada­lah ser­ti­fikat.Ijazah malah dianggap se­ba­gai pe­lengkap sertifikat - bukan se­ba­lik­nya; sertifikat sebagai pelengkap ija­zah.

Seorang alumni dari Program Studi Pendidikan Bahasa Jer­man harus punya sertifikat bahasa Jerman dulu, seperti ser­tifikat dari Goethe Institut(lembaga yang punya kapasitas meng­eluarkan ser­tifikat bahasa Jerman) barulah layak diang­­gap berkompeten dalam berbahasa Jer­man. Bila tak punya sertifikat ini meski sudah punya ijazah sarjana dan Akta IV, jangan harap sebuah peru­sa­haan/sekolah tertentu telah meng­akui kemampuannya dalam mengajarkan bahasa Jerman. Seringkali terjadi perla­ku­an yang tak fair kepada alumni yang cuma pegang ijazah dengan yang punya ijazah beserta ser­tifikat. Yang Cuma pe­gang ijazah tanpa sertifikat dianggap ku­rang berkompeten. Yang paling menye­sak­kan, yang tak punya ser­ti­fikat sering­kali tak diberi kesempatan un­tuk meng­ikuti sejumlah tes perekrutan/se­leksi yang diadakan perusaha­an/se­kolah tersebut. Mau tak mau dan suka tak suka, alum­ni program studi ini harus merogoh ko­ceknya sedikit lebih dalam untuk mem­peroleh sertifikat dari Goethe Ins­titut yang biayanya tak sedikit. Sertifikat inilah nantinya digunakan sebagai per­syaratan penentu untuk melamar pe­ker­jaan.

Tak hanya lulusan Pendidikan bahasa Jer­man ini yang meng­alami kondisi dia­tas, lulusan dari jurusan/program studi lain barangkali mengalami hal serupa. Seorang sarjana kedok­teran harus memiliki sertifikat profesi tambahan sehingga dianggap berkompeten dalam menjalankan profesinya. Se­orang sarja­na Teknik Mesin harus memiliki sertifi­kat yang berhubungan dengan bidangnya agar dia layak dianggap mekanik yang andal. Seorang sarjana Hukum harus memiliki sertifikat hukum untuk diang­gap orang yang mengerti hukum dan pe­ra­dilan dan seterusnya. Singkatnya, ser­tifikat telah menjadi instrumen penentu seor­ang lulusan sarjana ber­kom­peten atau tidak – bukan lagi ijazah.

Dimana sebenarnya letak ketidak­sin­kro­nan itu? Apakah ke­adaan ini adalah ke­salahan para lulusan? Tak bolehkah PT disalahkan?

PT-lah yang bertanggung jawab pe­nuh terhadap kualitas, kompetensi dan ke­mampuan mahasiswanya. Lo­gikanya, jika sebuah PT “berani” me­ngadakan aca­ra wisuda dalam rangka penyerahan ija­zah kepada para alum­ninya, itu berarti dia sedang dengan terang-terangan menya­takan kepada masya­ra­kat umum (ter­masuk perusa­haan) bahwa para alumninya sudah memiliki kecakapan tertentu baik dalam ilmu pengetahuan, teknologi maupun karakter/mental.

Namun jika pada kenyataan ma­syarakat merasa bahwa perlu punya sertifikat tertentu untuk melengkapi ijazahnya, timbul­lah pertanyaan: Yang menjadi bukti sebenarnya seseorang berkom­peten­si; Ijazah ataukah sertifikat?

Setiap PT seharusnya menunjuk­kan marwahnya secara te­pat sasaran. Mereka harus memberikan kependi­dikan tinggi yang benar sebagai kelanjutan dari pendidikan dasar dan me­nengah yang sudah dikecap para mahasiswa sebelumnya. Dan seha­rus­nya hal inilah yang membedakan antara pendi­dikan tinggi dengan pendidikan menengah dan dasar. Di kampuslah akan diperoleh ilmu pe­ngetahuan yang lebih dalam dan spe­sifik yang tidak ada di pendidikan da­sar dan menengah. Jika kenya­taannya tidak memiliki perbedaan yang signifikan juga, terus apa gu­nanya perjuangan dan pengor­banan seperti yang disebutkan di awal tuli­san ini?

Seyogianya, PT mesti lebih fokus kepada pembelajaran se­­ca­ra praktik (practical learning) daripada pembe­lajaran teo­ritik (theoretic learning). Di lapangan, keadaan ini malah ter­balik. Berdasarkan pengamatan, kebanyakan PT di Indonesia lebih berorientasi kepada pembelajaran teo­retis daripada praktik. Disinilah letak kelemahan lembaga pendidikan tinggi kita, sehingga para lulusannya kurang siap dan percaya diri untuk berkarya di dunia kerja.

Tidak seperti di negara-negara Eropa, misalnya di Jerman, hampir seluruh PT lebih me­nge­depankan praktek di lapangan da­ripada sekadar teori.

Hal ini di­kare­nakan praktik di lapangan secara oto­matis dapat mela­hirkan teori ; di lain sisi, teori ter­kadang tidak sejalan bah­kan sering berseberangan dengan praktik di lapangan.

Tidak mengherankan, setelah lu­lus dan bekerja di suatu perusahaan, lulusannya merasa melakukan peker­jaan yang tidak jauh berbeda dengan saat mereka melakukannya semasa kuliah. Ini sungguh berbeda nan kon­tras dengan lulusan di Indonesia yang tampak gamang dan seolah-olah merasa tak pernah melaku­kannya sebelumnya ketika sudah be­kerja di suatu perusahaan. Mereka seo­lah-olah harus “belajar dari nol”.

Kembalikan Peran Utama Ijazah

Tulisan ini tidak sedang mengata­kan bahwa sertifikat tidak perlu - apa­lagi melarang para alumni lebih meningkatkan kua­li­tasnya dengan cara mengambil sejumlah sertifikat sesuai bidangnya, tetapi sedang me­ng­ingatkan: jangan sampai serti­fikat justru mengantikan peran ijazah da­lam memberikan ga­ransi dan bukti bahwa para lulusan memiliki kecaka­pan dan keahlian.

Jangan sampai terjadi bahwa sertifikat tanpa ijazah this’s no problem, sebaliknya ijazah tanpa sertifikat that’s disas­ter.

Tulisan ini juga sekadar membe­rikan masukan kecil kepada setiap PT untuk serius dan secara benar me­ngelola proses pendidikan yang men­jadi tugas dan tanggung jawabnya, sehingga Ijazah (asli) yang hanya bo­leh dikeluarkan PT yang sah, dapat di­andalkan untuk membuktikan “taring”-nya; tidak sekadar selembaran kertas tanpa kualitas. PT memiliki tanggung jawab yang maha besar dan menjadi penentu dan ujung tombak utama demi kemajuan negara agar tidak kalah bersaing dengan negara-negara lainnya.

Mulai 31Desember 2015 akan dimulai Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) dimana Indonesia akan meng­hadapi era pasar bebas, dari mo­dal, barang, jasa serta tenaga ker­ja. Tena­ga kerja asing akan mudah masuk dan membanjiri sebagian be­sar sektor penting diIndonesia.

Jika PTtak segera mengambil tindakan konkret dalam memper­siapkan lulu­san siap pakai, maka tenaga kerja (lu­lusan) kita akan tersingkir oleh kedatangan tenaga kerja asing. Jika PT tak secepatnya membenahi diri da­lam sistem pendidikan yang lebih baik, maka disana hanya ada satu pi­lihan terakhir nan tersisa; “berpasrah diri” menjadi “babuh” di negeri sendiri. ***

Penulis adalah Alumnus Pendidikan Bahasa Jerman, Universitas Negeri Medan; Pengajar bahasa Jerman di “Dunia Bahasa Serpong”, Tangerang

()

Baca Juga

Rekomendasi