Narkotika: Penggolongan, Tingkat Pemakaian Pemeriksaan dan Penatalaksanaan

Oleh: Dr dr Elmeida Effendy, M.Ked KJ. Sp.KJ (K).  Dewasa ini, pengguna narkotika kian meningkat di Indonesia. Namun masih saja terdapat pandangan yang salah maupun kekeliruan, baik dilakukan oleh tenaga medis, non medis maupun pengguna bahkan keluarga pengguna sendiri. 

Tidak ada terapi seragam yang bisa diberikan pada semua pengguna psikotropika. Tidak semua pengguna perlu direhabilitasi rawat inap, dan tidak semua pengguna bisa diterapi dengan substitusi metadon. 

Pada tulisan ini dibahas apa yang dimaksud narkotika, tingkat pemakaiannya, etiologi gangguan terkait zat dan prinsip penatalaksanaan para pengguna. Sehingga diharapkan pembaca dapat memahami dan menerima informasi akurat tentang pengobatan para pengguna narkotika 

Menurut UU RI No.35/2009 tentang narkotika, yang dimaksud dengan narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman baik sintetis maupun semi sintetis yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan ketergantungan. 

Narkotika dikelompokkan menjadi 3 golongan :

- Narkotika Golongan I

Hanya digunakan untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan dalam terapi, serta mempunyai potensi sangat tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Contoh: heroin, kokain, opium, ganja, katinon, MDMA/ecstasy 

- Narkotika Golongan II

Berkhasiat pengobatan, digunakan sebagai pilihan terakhir dan dapat digunakan dalam terapi dan atau untuk tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi tinggi mengakibatkan ketergantungan.

Contoh: morfin, petidin, fentanil, metadon

- Narkotika Golongan III

Berkhasiat pengobatan dan banyak digunakan dalam terapi dan/atau tujuan pengembangan ilmu pengetahuan serta mempunyai potensi ringan mengakibatkan ketergantungan

Contoh: kodein, buprenorfin, etilmorfin 

Menurut UU RI No 5/1997 tentang psikotropika, yang dimaksud dengan psikotropika adalah zat atau obat baik alamiah maupun sintetisbukan narkotika, yang berkhasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas mental dan perilaku.

Tingkat Pemakaian Psikotropika

1. Pemakaian coba-coba (experimental use): menggunakan psikotropika untuk pertama kalinya, mau mengetahui rasa dan efeknya 

2. Pemakaian sosial (social use): menggunakan psikotropika dalam pergaulan, pesta-pesta

3. Pemakaian situasional (situational use): menggunakan psikotropika dalam situasi-situasi tertentu, misal: masalah dalam pekerjaan, putus pacar

4. Penyalahgunaan (abuse)

5. Ketergantungan (dependence)

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder 5, pemakaian narkotika,psikotropika dan zat adiktif dikelompokkan dalam gangguan-gangguan terkait zat. Gangguan- gangguan terkait zat ini dikelompokkan atas gangguan penggunaan zat dan gangguan-gangguan yang diinduksi oleh zat.

Gambaran utama dari gangguan-gangguan penggunaan zat adalah kelompok gejala-gejala kognitif, perilaku dan fisiologik yang menunjukkan bahwa individu tersebut terus-menerus menggunakan zat tersebut. Dibedakan berdasarkan tingkat keparahannya: ringan, sedang, berat. Karakteristik penting dari gangguan-gangguan penggunaan zat adalah suatu perubahan dalam sirkuit-sirkuit otak yang mendasari yang mungkin menetap sebelum detoksifikasi, khususnya pada individu-individu dengan gangguan yang parah. Efek-efek perilaku pada otak ini dapat ditunjukkan pada kecanduan yang berulang dan intens ketika individu terpapar dengan rangsangan terkait zat tersebut.

Gangguan-gangguan diinduksi zat dapat berupa intoksikasi zat, reaksi putus zat, delirium yang diinduksi zat, dementia menetap yang diinduksi zat,gannguan amnestik yang diinduksi zat, gangguan psikotik diinduksi zat, gangguan mood diinduksi zat, kecemasan yang diinduksi zat, disfungsi seksual yang diinduksi zat, gangguan tidur yang diinduksi zat.

Ada dua konsep yang digunakan untuk mendefinisikan ketergantungan (dependensi): perilaku dan fisik. Pada ketergantungan perilaku: aktivitas pencarian zat dan bukti pola penggunaan zat yang patologis ditekankan, sementara pada ketergantungan fisik merujuk pada efek fisik (fisiologis) dari episode-episode penggunaan zat. Ketergantungan psikis disebut juga dengan istilah habituasi, ditandai dengan ketagihan yang berkelanjutan atau intermiten terhadap zat untuk menghindari keadaan disforik.

Penyebab Faktor-faktor 

Psikodinamik

Menurut teori-teori klasik, penyalahgunaan zat ekuivalen dengan masturbasi (untuk memenuhi kebutuhan orgasme), mekanisme pertahanan melawan impuls kecemasan atau manifetasi dari regresi oral (dependensi). Formulasi psikodinamik akhir-akhir ini mengkaitkan penggunaan zat dengan depresi atau mengobati penggunaan zat sebagai refleksi dari fungsi ego yang terganggu; ketidakmampuan menghadapi realita.

Faktor Perilaku

Prinsip pertama adalah kualitas penguat positif dan efek tambahan pada beberapa zat. Kebanyakan zat yang disalahgunakan menghasilkan suatu pengalaman yang positif setelah penggunaan pertama kali, dan zat tersebut menjadi penguat positif untuk perilaku mencari zat tersebut.

Faktor Genetik

Penyalahgunaan zat atau ketergantungan zat memiliki pola genetik dalam perkembangannya. Peneliti akhir-akhir ini menggunakan restriction fragment length polymorphism(RFLP)dalam studi penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat

Faktor Neurokimiawi

Para peneliti sudah menemukan neurotransmiter khusus atau reseptor neurotransmiter yang terlibat dengan zat-zat yang disalahgunakan. Opioid bertindak pada receptor opioid. Orang dengan aktivitas endogenous opioid yang terlalu sedikit (konsentrasi endorfin yang rendah) atau terlalu banyak aktivitas antagonis opioid endogenous dapat menyebabkan ketergantungan opioid.

Neurotransmiter utama yang mungkin terlibat dalam perkembangan penyalahgunaan zat dan ketergantungan zat adalah sistem-sistem opioid, catecholamine (khususnya dopamin) dan gamma amino butyric acid. Neuron dopaminergik di area ventral tegmental khususnya merupakan hal yang penting. Neuron-neuron ini memprojeksikan di regio limbik dan kortikal, khususnya nucleus accumbens. Jalur ini terlibat dalam sensasi reward dan merupakan mediator utama dari efek amfetamin dan kokain.

Pengobatan dan Rehabilitasi

Sebagian yang mengalami masalah terkait zat sembuh tanpa pengobatan formal. Bagi pasien-pasien dengan gangguan yang kurang parah, seperti adiksi nikotin, intervensi yang relatif singkat sering sama efektifnya dengan pengobatan intensif. Bagi individu yang mengalami ketergantungan lebih parah, beragam intervensi dapat lebih efektif. Merupakan hal yang berguna untuk membedakan antara prosedur spesifik atau teknik (seperti terapi individual, terapi keluarga, terapi kelompok, relapse prevention dan farmakoterapi) dan program pengobatan. Kebanyakan program menggunakan sejumlah prosedur spesifik dan mencakup beberapa disiplin profesional dan non profesional yang sudah mempunyai pengalaman personal atau keterampilan khusus dengan masalah zat yang dihadapi. Program pengobatan yang terbaik adalah mengkombinasikan prosedur-prosedur spesifik dan disiplin-disiplin untuk memenuhi kebutuhan pasien secara individual setelah penilaian yang teliti.

Memilih Pengobatan

Tidak seluruh intervensi dapat diterapkan pada seluruh jenis penggunaan zat atau ketergantungan. Perilaku kecanduan tidak berubah secara mendadak, tapi melalui suatu rangkaian dari stadium-stadium. Lima stadium pada proses bertahap ini: pra kontemplasi, kontemplasi, persiapan, aksi, pemeliharaan. Intervensi untuk beberapa gangguan zat mungkin memiliki agen farmakologik khusus sebagai suatu komponen yang penting, contohnya: disulfiram, naltrexone atau acamprosate untuk alkoholism; methadone, levomethadyl acetate atau buprenorfin adiksi heroin.

Tahap- tahap rehabilitasi bagi penguna narkotika

Dalam penanganan kasus penyalahgunaan narkotika diperlukan pengetahuan dan keterampilan dari berbagai disiplin ilmu baik medis maupun sosial. Karenanya proses pelayanan dan rehabilitasi terpadu meliputi rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial yang dapat dibagi dalam beberapa tahapan sebagai berikut:

A. Tahap rehabilitasi medis (detoksifikasi)

Detoksifikasi; merupakan proses pembersihan, atau pembuangan racun dan zat-zat kimia selama mengkonsumsi psikotropika dari tubuh, dengan cara menghentikan total penggunaan narkotika, menurunkan dosis dan menggunakan zat substitusi atau pengganti. Pada tahap ini pencandu diperiksa oleh dokter, dengan melakukan:

1. Anamnesis

1.1. Autoanamneses

a. Riwayat penyalahgunaan zat

b. Keadaan/taraf fungsi sosial pasien

c. Evaluasi psikologis

1.2. Alloanamnesis

2. Penilaian (assessement) medis dan keperawatan, pengisian instrumen Addiction Severity Index (ASI) untuk menilai keparahan ketergantungan zatnya dengan hasil akhir adalah hasil assessment dan hasil instrumen ASI

3. Pemeriksaan fisik, untuk menentukan adanya kelainan-kelainan sistem organ tubuh, dengan memeriksa tanda-tanda vital, inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi

4. Pemeriksaan laboratorium: darah, urine rutin, urinalisis

5. Pemeriksaan psikiatris: riwayat gangguan sebelumnya yang merupakan gangguan jiwa, menilai kondisi psikiatrik dan gejala putus zatnya dengan pengisian instrumen Clinical Opiate Withdrawal Scale (COWS) untuk penilaian terhadap putus zat opiat, Positive and Negative Syndrome Scale Excited Component ( PANSS- EC) untuk menilai kondisi gaduh gelisah dan perencanaan tindakan yang akan dilakukan dan Mini International Neuropsychiatric Interview- International Classification of Disease10 (MINI-ICD 10) untuk menilai gangguan mental yang terdapat. Hasil akhir yang didapat adalah instrumen COWS, PANSS- EC dan MINI ICD-10 yang telah terisi untuk dasar terapi yang akan dilakukan

6. Evaluasi psikologis : pemeriksaan kepribadian

7. Evaluasi sosial: tentang latar belakang keluarga, riwayat hidup, pendidikan, pekerjaan,perkawinan, status sosial ekonomi, kegiatan sosial

8. Pemeriksaan penunjang lainnya : EEG, EKG, brain mapping, brain imaging, X-ray

9. Evaluasi informasi

10. Permintaan rekomendasi

Dokter yang memutuskan apakah pegguna perlu atau tidak diberikan obat tertentu untuk mengurangi gejala putus zat yang dideritanya. Bisa dilakukan secara berobat jalan atau hospitalisasi. Pada dasarnya di dalam tubuh manusia sudah memiliki sistem detoksifikasi tersendiri.

B. Tahap rehabilitasi sosial

Rehabilitasi sosial merupakan proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental. Sosial agar pengguna narkoba dapat kembali melaksanakan fungsi sosial dalam kehidupan masyarakat dengan baik dan bertanggung jawab. Setelah menjalani proses detoksifikasi dengan tuntas, masih ada rasa keinginan menggunakan kembali, sehingga perlu dilakukan proteksi lingkungan dan pergaulan yang bebas dari lingkungan pencandu, pada tahap ini pencandu ikut dalam program rehabilitasi. Program yang dilakukan dapat berupa therapeutic communities, 12 steps, pendekatan keagamaan

C. Tahap bina lanjut (after care)

Pada tahap ini diberikan kegiatan sesuai dengan minat dan bakat untuk mengisi kegiatan sehari-hari. Pengguna dapat bersekolah atau bekerja kembali namun tetap di bawah supervisi. Dilakukan psikoterapi serta terapi kelompok, Motivational Enhancement Therapy (MET) untuk meningkatkan motivasi, Cognitive Behaviour Therapy (CBT) untuk memperbaiki kognitif dan perilaku yang menyimpang, Family Support Group, agak keluarga dan instansi dapat mendukung dan memahami pengguna, terapi okupasi, terapi spiritual

Pengguna narkotika tidak selalu harus dirawat inap, dapat juga dengan rawat jalan, asal lingkungan di sekitar pengguna memungkinkan untuk hal ini. Terapi yang diberikan berdasarkan penegakan diagnosis, terkait kondisi fisik dan psikis, dan intervensi psikososial untuk mempertahankan kondisi pulih dari gangguan penggunaan narkotika. Bentuk layanan yang dapat diberikan antara lain terapi simtomatis, konseling adiksi, konseling keluarga, konseling pasangan, vokasional, motivational interviewing (MI),relaps prevention, rujukan layanan spesalistik, Cognitive Behaviour Therapy (CBT) dan family support group

Dalam penanganan pengguna narkotika di Indonesia terdapat beberapa terapi dan rehabilitasi seperti:

1. Cold turkey

Merupakan metode tertua. Pengguna langsung menghentikan penggunaan psikotropika, tanpa diberikan obat-obatan. Setelah gejala putus zat hilang, dilanjutkan dengan rehabilitasi non medis: konseling, keagamaan

2. Metode alternatif

Terapi alternatif: merendam pasien dengan air ramu-ramuan dan ragi tempe di dalam drum dengan kompor menyala

3. Terapi substitusi opioida

Terkadang dilakukan untuk indikasi yang tidak tepat. Seharusnya hanya digunakan untuk pasien-pasien ketergantungan opioida. Untuk pengguna opioida hard core addict (yang telah bertahun-tahun menggunakan opioida suntikan), pencandu biasanya mengalami kekambuhan kronis sehingga perlu berulang kali menjalani terapi ketergantungan. Kebutuhan opioida (heroin), narkotika ilegal diganti/disubstitusi dengan narkotika legal. Beberapa obat yang sering digunakan adalah kodein, buprenorfin, metadon dan naltrekson. Obat-obatan ini digunakan sebagai obat detoksifikasi, dan diberikan dalam dosis yang sesuai dengan kebutuhan pencandu, kemudian secara bertahap dosisnya diturunkan

4. Therapeutic Community (TC)

Therapeutic community program: berkaitan dengan terapi lingkungan. Bertujuan untuk menciptakan kondisi yang tepat bagi pencandu untuk mengubah perilaku yang tidak diinginkan dan mempelajari cara baru mengerjakan sesuatu.Fokus pada kehidupan individu, bukan pada gejala spesifik mereka. Di sini para pencandu tinggal bersama sebagai bentuk suatu terapi. Lingkungannya bebas narkoba dan sangat terstruktur. Dalam komunitas ini individu bebas mengeksplorasi coping mechanism yang baru dan belajar bekerjasama dengan orang lain. Disebut juga dengan istilah drug free self help program. Kegiatan dalam TC akan menolong peserta belajar mengenal dirinya melalui pengembanagn kepribadian: manajemen perilaku, emosi/psikologis, intelektual dan spiritual, vokasional, pendidikan dan keterampilan untuk bertahan bersih dari narkotika. TC merupakan suatu wujud kehidupan nyata dalam bentuk simulasi. Di dalam TC ada berbagai norma-norma dan falsafah yang dianut untuk membentuk perilaku yang lebih baik.

5. Hipnoterapi

Memberikan sugesti bawah sadar dan kesan yang menyenangkan bagi penguna sehingga akhirnya pengguna dapat menghentikan penggunaan narkotika.

(Penulis adalah Konsultan Psikiatri Biologi SMF Psikiatri FK USU/RS HAM)

()

Baca Juga

Rekomendasi