Tidak Ada Kurikulum yang Sempurna

Oleh: Husnul Koriba Hsb.

Pada saat ini, bangsa Indonesia sedang berbenah diri, mencari konsep untuk memapankan semua sektor kehidupan. Seperti yang kita tahu, sudah banyak produk undang-undang yang dihasilkan. Tujuan dari pada pembuatan undang-undang tersebut tak lain hanyalah untuk mencapai tujuan tadi, yaitu memapankan semua sektor kehidupan di negeri ini.

Konsep-konsep yang dicapai pemerintah dan seluruh rakyat Indonesia menyangkut sistem kebudayaan madani, sistem politik yang berwibawa dan bermartabat, sistem keamanan yang menjamin semua hak dan kewajiban, sistem ekonomi yang merata adil dan makmur, sistem pendidikan yang dapat mengkristalkan jati diri bangsa serta dapat bersaing di kancah internasional, sesuai dengan tujuan bangsa ini yang tertulis dalam UUD 1945, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa dalam dunia pendidikan.

Namun, sistem pendidikan di negeri ini belum mempunyai konsep yang mapan. Sistem pendidikan kita masih mencari bentuk yang sesuai dengan kepribadian bangsa Indonesia dan sesuai dengan tuntutan zaman. Setiap periode, pemerintah menetapkan program hanya sesuai dengan hasil rumusan sendiri. Menteri pendidikan tidak menjalankan konsep pendidikan, tetapi malah mencari konsep dan konsep tersebut dijalankan tanpa memikirkan hasil akhir, sesuai dengan masa jabatannya. Konsep tersebut seringkali berlaku pada rentang waktu yang sangat pendek karena rumusan tidak sempurna, sehingga dalam satu tahun ajaran seringkali dijalankan dua konsep pendidikan, yaitu kurikulum lama dan kurikulum baru.

Sejak merdeka sampai saat ini, Indonesia menjalankan konsep kurikulum ysng sudah beberapa kali mengalami perubahan meskipun perubahan itu hanya sekedar pada perubahan nama dan kembali seperti semula. Misalnya, Sekolah Menengah Atas (SMA) diganti menjadi Sekolah Menengah Umum (SMU) dan beberapa tahun kemudian kembali lagi menjadi SMA. Dampak dari hal tersebut tentu saja membuat masyarakat menjadi bingung dan merepotkan pihak sekolah untuk mengubah papan nama yang ada di depan bangunan sekolah.

Berdasarkan perjalanan sejarah, sejak tahun 1945, kurikulum pendidikan nasional telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006, dan 2013. Pada kurikulum 2013 hanya berlaku tiga semester untuk sekolah yang ditetapkan sebagai uji coba dan satu semester lagi untuk sekolah di luar uji coba dan kemudian setelah itu kembali ke kurikulum 2006.

Perubahan kurikulum tersebut tentu berdasarkan tujuan pendidikan yang berbeda-beda, yang mana dalam setiap perubahan kurikulum, ada tujuan tertentu yang ingin dicapai untuk memajukan pendidikan nasional bangsa ini. Pada kurikulum pertama tahun 1947, lebih bertujuan tentang pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat. Materi pelajaran yang diajarkan selalu dihubungkan dengan kejadian sehari-hari.

Pada kurikulum 1952 dan 1964, pemerintah menyempurnakan sistem kurikulum bangsa ini. Namun, pada kurikulum 1964 memiliki ciri-ciri yaitu pemerintah mempunyai keinginan agar rakyat mendapat pengetahuan akademik untuk pembekalan pada jenjang Sekolah Dasar (SD), sehingga pembelajaran dipusatkan pada program Pancawardhana yang meliputi pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral. Mata pelajaran yang diajarkan diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi, yaitu moral, kecerdasan, emosional, keterampilan, dan jasmani.

Pada kurikulum 1968 merupakan pembaharuan dari kurikulum 1964. Perubahan dilakukan pada struktur kurikulum pendidikan dari Pancawardhana menjadi pembinaan yang berjiwa Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Kurikulum ini bertujuan untuk membentuk manusia Pancasila sejati, kuat, sehat jasmani, mempertinggi kecerdasan, keterampilan, moral, budi pekerti, dan keyakinan beragama.

 Pada kurikulum 1975, diterapakan metode Prosedur Pengembangan Sistem Intruksional (PPSI), yang hasilnya banyak dikritik oleh guru, karena terlalu banyaknya yang harus dikerjakan guru. Kemudian kurikulum ini berubah menjadi kurikulum 1984 yang menerapkan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang tujuannya masih tetap mengacu pada kurikulum-kurikulum sebelumnya.

Kemudian pada kurikulum 1994, lebih menekankan perubahan waktu kegiatan pembelajaran, yaitu dari sistem semester (enam bulan) menjadi sistem caturwulan (empat bulan). Dari hasil perubahan ini diharapkan peserta didik lebih komprehensif dalam menerima materi pelajaran. Namun, di sisi lain, malah menimbulkan masalah pada peserta didik karena sistem kurikulum ini terlalu membebani dan menimbulkan sikap apatis dan membosankan. Oleh karena itu, sepuluh tahun kemudian, kurikulum ini diganti menjadi kurikulum 2004.

Kurikulum 2004 lebih dikenal dengan nama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). Pendidikan berbasis kompetensi ini menitikberatkan pada pengembangan kemampuan untuk melakukan tugas-tugas tertentu sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Dua tahun kemudian, kurikulum ini disempurnakan lagi menjadi kurikulum 2006 yang dikenal dengan istilah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).

Pada kurikulum 2006 ini, guru lebih diberikan kebebasan untuk merencanakan pembelajaran sesuai dengan lingkungan dan kondisi siswa serta kondisi sekolah yang bersangkutan. Walaupun demikian, kemandirian sekolah dan guru tetap dituntut. Namun, tujuh tahun kemudian, kurikulum ini kembali disempurnakan menjadi kurikulum 2013.

Ada dua hal dalam kurikulum 2013 ini, pertama, dilihat pada aspek substansi kurikulum yaitu yang bertujuan untuk mengubah materi dan model penyajian materi. Materi dibuat lebih bersifat meluas dan penyajian lebih menekankan siswa sebagai subjek atau siswa dituntut lebih mandiri. Kedua, aspek implementasi yaitu kurikulum 2013 terlalu tergesa-gesa baik dalam penyusunan materi, sosialisasi, maupun yang berhubungan dengan komponen-komponen di daerah maupun di pusat.

Menurut pandangan saya, kurikulum yang baik adalah kurikulum yang merancang program dengan melibatkan semua komponen masyarakat dan lebih menuntut implementasi atau pelaksanaan oleh guru untuk mengolah data atau materi. Melihat kemampuan dasar siswa yang belum sepenuhnya merata di seluruh pelosok tanah air, kemungkinan masih akan terjadi kesenjangan pengetahuan antara peserta didik yang tinggal di daerah terpencil dan daerah kota atau pusat kemajuan.

Siswa yang paling rendah nilainya di kota-kota tertentu sama dengan siswa yang tertinggi nilainya di daerah-daerah tertinggal. Hal ini mungkin merupakan salah satu alasan mengapa Ujian Nasional (UN) tidak cocok untuk dijadikan penentu kelulusan peserta didik. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, wajarlah kurikulum tahun 2013 ditunda atau dibatalkan pelaksanaannya. Hal itu telah diungkapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaaan (Mendikbud) yang baru, Anies Baswedan, bahwa kurikulum peninggalan Mendikbud yang lama, M. Nuh belum matang.

Kurikulum adalah salah satu instrumen yang menjadi tolak ukur maju atau mundurnya pendidikan di negeri ini. Untuk itu, sangat diharapkan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang baru agar bisa memperbaiki kurikulum sebelumnya yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dengan demikian, Indonesia akan segera mencapai tujuannya, yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa secara keseluruhan. Semoga!!! ***

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya (FIB), Universitas Sumatera Utara (USU)

()

Baca Juga

Rekomendasi