Ramadan Melatih Sabar dan Syukur

Oleh: Sukma.

“Hai orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan (mengerjakan) salat, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

(Al-Baqarah:153)

Di dalam Al-Quran atau hadits nabi saw ada banyak perintah dan anjuran bagi orang beriman untuk senantiasa bersabar. Tentu saja perintah dan anjuran bersabar ini memiliki fadilah yang tidak bisa dibilang sepele. Karena sabar adalah salah satu ciri orang mukmin yang dekat kepada Allah; ditandai dengan bersabar bila mendapatkan cobaan dan musibah, bersyukur bila menerima nikmat.

Ada banyak definisi yang menjelaskan arti dan maksud dari sabar. Lihat saja dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, sabar ialah tahan menghadapi cobaan (tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, dan tidak lekas patah hati). Menurut Syaikh Muhammad Hasan menjelaskan, sabar adalah menahan diri ketika sedih, menahan lidah ketika mengeluh, dan menahan anggota tubuh dari perbuatan maksiat. Pun Ali bin Abi Thalib menuturkan bahwa sabar merupakan sebuah kendaraan yang tidak akan pernah jatuh tersungkur. Dan yang menarik menurut Syaikh al-Jurjani, sabar itu yakni tidak mengadu kepada selain Allah ketika ditimpa bala.

Orang mukmin sendiri haruslah mampu mengimplementasikan sabar dalam berbagai aspek kehidupannya. Seperti yang diterangkan Imam al-Ghazali bahwa sabar itu ada dua jenis. Pertama, bersifat badani (fisik). Seperti menanggung beban dengan badan, berupa pukulan yang berat atau sakit yang kronis. Dalam hadits riwayat Bukhori, Rasulullah SAW bersabda: sesungguhnya Allah SWT berfirman,“Jika hambaku diuji dengan kedua matanya dan dia bersabar, maka Aku akan mengganti kedua matanya dengan surga”. Yang kedua adalah al-shabru al-Nafsi (kesabaran moral) dari syahwat-syahwat naluri dan tuntutan-tuntutan hawa nafsu.

Sabar terhadap Perintah dan Larangan-Nya

Menurut pandangan Islam, bagian utama dalam sabar adalah sabar dalam menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya. Menahan diri kita agar tetap istiqomah dalam menjalankan apa yang diperintahkan oleh Allah SWT adalah bagian dari perintah Allah SWT. Kita harus tetap sabar menjalankan itu semua, karena Allah telah menjanjikan surga bagi hamba-Nya yang menjalankan perintah-Nya dengan baik sesuai syariat yang telah Allah SWT turunkan. Mulai dari salat, zakat, puasa, dakwah, dan lain-lain. Itu semua harus kita jalani dengan sabar.

Begitupun dengan sabar dalam menjauhi semua larangan Allah, sejatinya bahwa semua larangan itu pasti ada maksudnya. Tidaklah Allah SWT melarang kita untuk berbuat dosa, kecuali dalam dosa itu pasti ada sebuah kerugian yang akan didapat jika kita melakukannya.

Ramadan adalah bulan yang disediakan Allah untuk kita berlatih tentang kesabaran, baik sabar secara badani maupun sabar secara moral. Bukankah air putih, roti, nasi, kue, dan buah-buahan adalah makanan dan minuman yang halal? Namun, puasa Ramadan menuntut kita agar bersabar. Tidak memakan dan meminumnya sebelum waktu berbuka tiba. Begitu juga dengan suami atau istri yang kita nikahi, tentunya halal untuk kita. Namun di siang hari, Allah larang melakukan hubungan suami/istri karena kesucian bulan Ramadan ini. Inilah yang disebut sabar dalam menaati perintah Allah.

Bukan hanya bersabar untuk tidak makan dan minum, tidak pula melakukan hubungan suami/istri di siang hari, namun anggota tubuh kita pun diperintahkan untuk sabar agar tidak melakukan maksiat yang nantinya dapat mengurangi pahala puasa Ramadan yang tengah kita lakukan.

Mata kita diperintahkan bersabar agar tidak melihat sesuatu yang diharamkan oleh Allah, mulut kita ditahan agar tidak menceritakan aib orang lain, terlebih hati kita juga dikendalikan untuk tidak merasakan, menilai dan menerka sesuatu yang dilarang oleh Allah SWT. Inilah urgensi puasa Ramadan, sekujur tubuh dianjurkan bersabar dalam rangka ketaatan kepada Allah SWT.

Hal ini bukan tanpa tujuan, selain sebagai upaya ketaatan kepada Allah dalam meraih ridho dan kasih sayangNya, maka tujuan nyata yang dapat kita rasakan dari kemampuan bersabar ini adalah kita terhindar perilaku negatif. Kalau saja sesuatu yang halal dapat kita tahan, seperti makan dan minum, maka bukan tidak mungkin sesuatu yang haram pun dapat kita kendalikan.

Kalau kita terbiasa bersabar menjaga lisan kita dari perkataan yang tiada berguna, kita terbiasa berkata jujur, kita terlatih untuk tidak cepat-cepat berprasangka buruk kepada orang lain. Maka bukan tidak mungkin rekan kerja atau mungkin pimpinan kita akan menaruh rasa percaya yang kuat terhadap diri kita. Bukankah jabatan yang tinggi dan amanah yang besar hanya akan diberikan kepada orang-orang yang jujur?

Inilah Ramadan, bulan tempat kita berlatih. Allah tidak serta-merta melatih kita untuk dekat kepadaNya. Namun Allah Maha Adil. Tiada yang menderita, tiada yang merugi sekiranya kita taat dan patuh atas semua petunjuk yang diberikan olehNya. Apalagi untuk urusan dunia, Allah tidak akan pernah tinggal diam terhadap hambaNya yang rela bersabar mengejar kesenangan akhirat.

Bersyukur Setelah Berbuka

Ketika berpuasa, menahan lapar dan dahaga, di siang hari tentunya sifat sabar lebih kentara proses latihannya. Namun, usai berbuka puasa sifat syukur mestinya menjadi pendamping sebagai wujud terima kasih kita kepada Allah karena beban lapar dan haus telah sirna dengan nikmat yang Allah berikan.

Seperti yang telah diungkap sebelumnya, orang mukmin yang taat pada Allah hendakya segala momen kehidupan dijadikan sebagai media untuk patuh dan taat kepada Allah. Lapar dan haus saat berpuasa seyogyanya dihikmati sebagai proses latihan kesabaran dalam menaatiNya. Setelahnya, Allah berikan kenyang dan rasa lepas dari haus maka ini pun sebaiknya diartikan sebagai bentuk ibadah kepadaNya, dengan bersyukur tiada henti.

Mari kita temukan terlebih dahulu makna syukur yang sebenarnya. Kata ‘syukur’ secara bahasa diartikan sebagai rasa terima kasih kepada Allah. Sedangkan menurut istilah bahwa syukur adalah berterima kasih kepada Allah, lega, senang dan menyebut nikmat yang diberikan kepadanya dimana rasa senang, lega itu terwujud pada lisan, hati maupun perbuatan.

Di dalam kaitan ini, M. Quraish Shihab menegaskan bahwa syukur mencakup tiga sisi. Pertama, syukur hati yaitu kepuasaan batin atas anugerah Allah. Kedua, syukur lidah adalah memuji-muji Allah atas karunia anugerah yang telah diberikan. Ketiga, syukur anggota badan yakni dengan memanfaatkan anugerah yang diperoleh sesuai dengan tujuan penganugerahannya.

Jika kita kaitkan dengan aktifitas pada bulan suci Ramadan maka inilah momentum yang sangat tepat bagi kita untuk berlatih bersyukur atas nikmat yang telah Allah berikan. Di siang hari Ramadan, tepatnya kita lebih banyak belajar bersabar. Justru pada malam hari, sebaiknya kita gunakan untuk banyak bersyukur kepada Allah atas karunia nikmat berbuka yang telah kita rasakan.

Hal ini dapat dimulai dari syukur hati yaitu menciptkan rasa puas bahwa begitu banyak karunia nikmat yang seharian penuh telah Allah berikan kepada kita. Mulai dari terbit fajar hingga terbenam matahari dan menu berbuka yang lezat. Setelahnya, kita dapat lanjutkan dengan syukur lidah yaitu banyak memuji Allah lewat zikir dan kalimat-kalimat yang memuja dan memuji Allah, dapat pula lewat tilawah Al-Quran seusai tarawih atau pun menjelang makan sahur. Yang terakhir, syukur anggota badan yakni dengan mengeluarkan sebagian rezeki melalui sedekah dan infak, mendengarkan tausyiah agama, serta melakukan qiyamul lail atau solat malam seperti tarawih dan tahajjud.

Inilah bentuk kesyukuran yang dapat kita terjemahkan dalam aktifitas Ramadan kita. Karena sesungguhnya perintah bersyukur ini terang sekali dijelaskan Allah dalam Al-Quran surat Ibrahim ayat 7, yang artinya, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Semoga dengan latihan sabar dan syukur selama bulan suci Ramadan ini kiranya mengantarkan kita menjadi hamba yang bertakwa di sisi Allah SWT. Amin.

Penulis adalah anggota Forum Lingkar Pena Sumut.

()

Baca Juga

Rekomendasi