Oleh: Bhikkhu Khemanando Thera
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa
KEMATIAN tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, dan tidak ada yang mampu menghindarinya. Masalah kematian membebani manusia dari awal kelahirannya sebagaimana diungkapkan filsuf Martin Heidegger (1889-1976) setelah seseorang lahir, tumbuh menjadi remaja, tua, sakit dan pada akhirnya mengalami kematian (dalam buku Priastana, 2000:177).
Kematian merupakan proses yang dialami setiap makhluk secara berulang-ulang selama berada dalam lingkaran kehidupan atau samsara yang tidak dapat dihindari. Proses kematian pasti terjadi pada semua mahluk, tetapi manusia tidak menyadari proses perubahan yang terjadi, sehingga muncul kecemasan dan ketakutan menghadapi kematian.
Umat manusia, dari segala jenis kelamin, kedudukan, ras atau kepercayaan akan mengalami kematian. Terjadinya kematian disebabkan karena kehidupan yang mengalami perubahan, demikian juga dengan manusia mengalami proses perubahan yang berawal dari kelahiran, umur tua, sakit, dan kemudian mengalami kematian.
Seseorang berharap pada saat menghadapi kematian dengan penuh ketenangan sehingga berusaha memenuhi seluruh tugas dan kewajiban dalam kehidupannya, seperti tugas seorang istri, suami dan anak-anak harus dijalankan dalam waktu yang sama.
Kematian dapat terjadi setiap saat dan tidak mengenal waktu, oleh sebab itu seseorang harus mampu menghadapi saat-saat terakhir dengan berani dan tenang (Dhammananda, tanpa tahun:11).
Ketakutan menghadapi kematian melahirkan suatu gagasan atau spekulasi mengenai adanya kekuatan adikodrati diluar diri manusia, dan mencari perlindungan pada kekuatan-kekuatan adikodrati agar dibebaskan dari bentuk kematian yang menakutkan.
Banyak orang menjadi lebih religius dengan memuja kekuatan adikodrati, berharap setelah mati dapat masuk surga, sebagai akibat perasaan takut tehadap kematian menimbulkan bentuk pandangan-pandangan keliru. Pandangan keliru menjadikan peristiwa ketakutan terhadap kematian sebagai pusat usaha membangun obyek-obyek keagamaan dengan memohon berkah untuk mencapai hidup abadi.
Manusia berkeinginan untuk hidup kekal, dengan menggunakan agama dan mencoba memberi sesuatu yang lebih berarti pada akhir kehidupannya. Ini menunjukan masih ada yang mengalami ketakutan dalam menghadapi kematian dan sulit menerima kematian sebagai fakta kehidupan.
Hakekat kematian yang tidak dipahami dengan benar, dapat menimbulkan ketakutan. Kematian dianggap sebagai sesuatu yang mengerikan sehingga pemikiran ini menimbulkan penderitaan. Apabila telah memahami hakekat kematian, akan timbul pemahaman, pengertian mengenai hakekat segala sesuatu apa adanya yaitu tidak kekal (anicca), sulit dipertahankan (dukkha), dan tidak memiliki inti kekal (anatta) (D.ii.157).
Ketidaktahuan terhadap hakekat sejati kehidupan, menyebabkan manusia menjadi menderita apabila melihat dan mendengar peristiwa kematian.
Begitu menyadari hakekat kehidupan, manusia mampu menghadapi kesementaraan semua hal yang terkondisi dan mencari pembebasan. Sebelum seseorang dapat memutuskan roda samsara, mencapai pembebasan abadi (Nibbana) maka akan tetap mengalami kematian.
Buddha Gotama menjelaskan kepada Patacara bahwa, kematian datang tanpa diundang, pergi tanpa diminta. Sesungguhnya kematian entah datang dari mana, kematian singgah barang beberapa hari, melalui satu jalan kematian datang, melalui jalan lain kematian pergi.
Meninggal sebagai manusia, seseorang menjalani kelahiran berikutnya, seperti kematian datang begitu pula kematian pergi, mengapa mesti bersedih dan takut (Thig.129-130).
Mengatasi ketakutan terhadap kematian dijelaskan dalam Anathapindikovada sutta, nasehat ini diberikan oleh bhikkhu Sariputta kepada Anathapindika seorang perumah tangga yang kaya raya saat menghadapi kematian.
Bhikkhu Sariputta menjelaskan, hendaknya tidak melekat terhadap enam landasan indera internal, enam landasan indera eksternal, perasaan yang muncul, enam unsur (termasuk ruang dan kesadaran), lima kumpulan, alam-alam ruang tanpa batas, alam kesadaran tanpa batas, alam ketiadaan, alam bukan kesadaran pun bukan tanpa kesadaran. Dengan tidak melekati pada semua itu, pembebasanpun akan tercapai (M.iii.269-260).
Proses Kematian (marana)
Proses kematian berbeda dengan proses berpikir dalam keadaan biasa atau normal. Proses batin, dalam hal ini yang dibicarakan adalah proses pikiran pada kematian. Proses-proses tersebut meliputi: (1) kesadaran pasif yaitu kesadaran belum mengenal obyek (atita bhavanga), (2) kesadaran yang bergetar (bhavanga calana), (3) kesadaran berhenti bergetar (havanga upaccheda), (4) kesadaran yang mengarah pada pintu indera pikiran yang merupakan ingatan dan hanya dapat dikenal melalui pikiran (manodvarajjana), (5) implus javana mendekati kematian yang kesadaran atau pikiran dapat mengetahui dengan jelas rangsangan yang ada (marana javana citta), (6) kesadaran mencatat atau merekam kesan, merupakan akibat yang muncul setelah kematian (tadalambana), (7) kesadaran kematian yang merupakan kesadaran terakhir pada kehidupan sekarang (cuti-citta), (8) proses kesadaran yang bergetar menuju kelahiran kembali pada kehidupan baru (patisandhi vinnana), (Abhidhamma).
Tiga obyek pikiran atau tanda kematian (nimitta-aramana) Obyek-obyek atau gambaran batin yang akan muncul pada saat menjelang kematian: (a) obyek karma atau kamma-arammana, yaitu ingatan pada suatu perbuatan baik atau buruk, yang pernah dilakukan seseorang sebelum meninggal, (b) obyek bayangan karma atau kamma-nimitta-arammana, berarti pada orang yang dalam proses akan meninggal, yaitu suatu ingatan yang muncul dengan sendirinya dan bukan merupakan ingatan tentang sesuatu perbuatan baik atau buruk, tetapi suatu simbol dari perbuatan yang pernah dilakukan, (c) obyek simbol karma atau gati-nimitta-arammana, yaitu simbol yang membawa seseorang terlahir ke alam bahagia atau alam menderita.
Macam-macam Kematian
Ada tiga jenis kematian dalam Agama Buddha, yaitu; (1) kematian atau kepadaman unsur-unsur batiniah dan jasmaniah atau khanika-marana, (2) kematian makhluk hidup berdasarkan kesepakatan umum yang dipakai oleh masyarakat dunia atau sammuti-marana, (3): Kematian mutlak yang merupakan terputusnya daur penderitaan para Arahanta atau samuccheda-marana. Buddha Gotama mengajarkan bahwa kematian pada dasarnya diakibatkan oleh empat macam sebab; (1) kematian disebabkan habisnya usia atau ayukkhaya-marana, yaitu kematian yang disebabkan usia tua, atau setelah mencapai batas usia rata-rata, (2) kematian disebabkan habisnya karma atau kammakkhaya-marana, dimaksudkan orang yang mati dalam usia muda, masih bayi atau kanak-kanak, masih bujang atau gadis, yang belum sempat mencapai batas usia, (3) kematian yang disebabkan habisnya usia dan karma atau ubhayakkhaya-marana, yaitu kematian yang dialami oleh seseorang karena batas usia dan karma tepat waktunya telah habis, (4) kematian disebabkan oleh gangguan lain atau upacchedaka-marana, yaitu. kematian yang belum habis masa usia dan karmanya. Kematian ini disebabkan karena bencana, seperti; kena tembak, tertabrak mobil, tenggelam, diterkam binatang, kelaparan, kehausan, kena penyakit menular, dan lain-lain.
Kesimpulan.
Kematian merupakan proses yang dialami setiap makhluk secara berulang-ulang selama berada dalam lingkaran kehidupan atau samsara yang tidak dapat dihindari.
Proses kematian pasti terjadi pada semua mahluk, tetapi manusia tidak menyadari proses perubahan yang terjadi, sehingga muncul kecemasan dan ketakutan menghadapi kematian.
Faktor terpenting yang menentukan kematian adalah unsur-unsur batiniah suatu makhluk hidup, walau organ-organ tertentu dapat berfungsi sebagaimana layaknya secara alamiah atau melalui bantuan peralatan medis, seseorang dapat dikatakan mati apabila kesadaran ajal (cuti-citta) telah muncul dalam dirinya. Jadi kematian atau marana adalah terputusnya kemampuan hidup dari suatu makhluk (Visuddhi Magga. 229).
Buddha Gotama mengajarkan, kematian bukanlah akhir dari kehidupan, melainkan awal dari kehidupan berikutnya dalam lingkaran kehidupan (samsara). Jika seseorang berbuat baik akan mendapatkan kehidupan mendatang yang lebih baik. Sedangkan jika seseorang tidak menginginkan kelahiran kembali, harus melenyapkan nafsu keinginan untuk terus eksis dan melatih pikiran (Bhikkhu Dhammananda, 2004:123).
Barang siapa bijaksana, ia akan senantiasa merenung, bahwa kematian dengan kekuatan yang dahsyat, dapat merenggut manusia setiap saat. Tidak ada tawar menawar dengan kematian serta tidak ada orang yang dapat menahan dan menolak kedatangannya (M.iii.187). Peristiwa kematian selalu dihadapi manusia kapan saja, di mana saja dan bisa terjadi pada siapa saja.
Menangisi suatu peristiwa kematian seperti dinyatakan oleh Buddha Gotama kepada Patacara, air mata yang pernah di cucurkan lebih banyak dari pada air keempat samudra. Setelah memahami arti kematian, Patacara berhenti menangis. Kematian datang tanpa diundang, pergi tanpa diminta.
Sesungguhnya kematian entah datang dari mana, kematian singgah barang beberapa hari, melalui satu jalan kematian datang, melalui jalan lain kematian pergi. Meninggal sebagai manusia, seseorang menjalani kelahiran berikutnya, seperti kematian datang begitu pula kematian pergi, mengapa mesti bersedih dan takut (Thig.129-130).
Sabbe satta bhavantu sukhitatta. Semoga semua makhluk turut berbahagia.