Mery, pensiunan pekerja di salah satu bank swasta di Medan, mengaku kota ini, dulunya, sangat tertata. "Dulu, kita sering bawa tamu dari luar daerah untuk berkeliling sebelum menentukan tempat menginapnya. Mereka kita bawa ke lokasi-lokasi yang sering dijajaki turis, misalnya Jalan Kesawan (Jalan Ahmad Yani) atau sekitar Jalan Bukit Barisan. Sekitar tahun 1990an, kita masih sangat antusias berjalan kaki menikmati bangunan-bangunan lama peninggalan Belanda," ucapnya.
Meski pembangunan di Medan mulai metropolis, namun, dia menyayangkan sulitnya menikmati indahnya kota ini lagi. "Dulu sih, memang belum banyak mal besar, hotel mewah, dan bangunan canggih lainnya. Memang, kota ini sepertinya semakin maju dengan pesat. Sudah seperti Jakarta. Tapi sayang, sudah sulit menemukan fasilitas berjalan yang nyaman," sebutnya.
Padahal, kalau berjalan, dia bisa mengabadikan jalan-jalan Medan dengan foto untuk menunjukkan keindahannya ke orang di daerah. "Tamu-tamu biasanya minta berfoto sambil mengelilingi Medan, dengan berjalan kaki di area-area tertentu. Dulu sih jalan kaki masih nyaman, tidak banyak mobil sembarangan parkir seperti sekarang. Itu membuat tamu-tamu sekarang mengeluh, sulit mengabadikan kunjungannya saat berada di Medan," keluhnya.
Pernyataan Mery, tentang indahnya tatanan kota, terbukti dari sebuah artikel seorang blogger. Dalam artikelnya, kenyamanan Medan disejajarkan dengan empat kota besar lain di Indonesia, yakni Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Solo. Artikel blogger tersebut menyatakan Medan memiliki trotoar paling nyaman di skala 1 - 5 kota besar di Indonesia.
Trotoar yang nyaman merupakan agenda traveling ke kota besar yang wajib dilakukan traveler. Karena itu, tersedianya jalur pedestrian yang nyaman biasanya menjadi hal wajib bagi daerah tersebut. Seperti diketahui, dalam melakukan aktivitasnya, pejalan kaki membutuhkan suatu sarana berjalan kaki yang dikenal dengan sebutan jalur pejalan kaki atau jalur pedestrian. Jalur pedestrian ini, menurut Shirvani (1985), adalah elemen yang esensial dalam urban design, dan bukan hanya menjadi bagian dari program beautifikasi. Lebih dari itu, jalur pedestrian menjadi suatu sistem kenyamanan dan elemen pendukung bagi efektivitas retail dan vitalitas ruang-ruang kota.
Selanjutnya, jalur pedestrian adalah bagian dari kota dimana orang bergerak dengan kaki, biasanya ada di sepanjang sisi jalan, baik yang terencana atau terbentuk dengan sendirinya, penghubung satu tempat dengan tempat lainnya. Berjalan kaki masih merupakan cara bergerak yang paling sering bagi kebanyakan orang.
Dengan demikian, sistem jalur pedestrian merupakan penghubung penting yang menghubungkan aktivitas-aktivitas yang ada di kawasan suatu kota, elemen ini menjadi sebuah elemen penyusun (structuring element), pergerakan pejalan kaki akan mengikuti jalur yang paling mudah, menghindari halangan-halangan, jalan terdorong oleh daya tarik visual, perubahan ketinggian, tekstur pergerakan.
Namun demikian, tetap menuntut pencapaian yang aman. Spreiregen (1965) menyebutkan bahwa pejalan kaki tetap merupakan sistem transportasi yang paling baik meskipun memiliki keterbatasan kecepatan rata-rata 3-4 km/jam serta daya jangkau yang sangat dipengaruhi oleh kondisi fisik. Jarak 0,5 km merupakan jarak yang berjalan kaki yang paling nyaman (Uterman, 1984). Makanya, bila kota besar tanpa fasilitas prasarana jalan yang nyaman dan aman serta indah sangat diperlukan. Untuk aktivitas warganya sekaligus fasilitas bagi para pengunjungnya. Dalam Uterman (1984), seyogyanya jalur pejalan kaki haruslah memenuhi kriteria, di antaranya keamanan (safety), menyenangkan (convenience), kenyamanan (comfort), dan menarik (attractiveness).
Suatu jalur pedestrian harus berkualitas tinggi dan memberikan keleluasaan ruang gerak atau tempat luas, serta lingkungan yang bebas dari konflik dengan lalu lintas bagi aktivitas pejalan kaki. Keadaan tersebut akan menciptakan pergerakan yang lancar, kegiatan sosialisasi, dan kenyamanan bagi pejalan kaki (Ekawati, 2006).
Aspek teknis, perancangan jalur khusus pejalan kaki harus memperhatikan beberapa hal, yakni penghindaran kemungkinan pejalan kaki berbenturan fisik dengan kendaraan bermotor. Pedestrian juga didukung tempat orientasi (point of interest), kapasitas dan dimensi ruang cukup sehingga tidak ada kontak fisik dengan pejalan kaki lain. Serta, hilangkan detail bangunan berbahaya, seperti lubang sanitasi, besi penanda, polisi tidur dan sebagainya. Juga ada lintasan langsung dengan jarak tempuh terpendek, sekaligus harus didukung pepohonan yang rindang.
Sebuah kota harus benar-benar memiliki perencanaan desain yang baik agar terhindar dari hal-hal yang merusak imej keindahan di mata pengunjung dan warganya.