Oleh: Heru Maryono
KATA heterogen dapat diartikan kemajemukan atau perbedaan dalam kelompok. Kemajemukannya dapat saja menjelma dalam Makhluk Mitologi. Nama lainnya makhluk jadian. Ada juga yang menyebut Creature. Makna kata ”jadian” dari makhluk jadian, artinya terjadi dari percampuran unsur yang berbeda atau heterogen. Pada umumnya tersusun dari kombinasi manusia dan binatang.
Pengenalan terhadap Makhluk Mitologi peninggalan masa lalu, biasanya diperoleh dari patung. Misalnya, Sphinx, dari artifak budaya Mesir Kuno.
Adapun perwujudan patung berkaitan dengan raut. Dalam sosok Sphinx, terlihat raut tubuh singa. Berkepala serta beraut wajah manusia. Sejatinya patung dilihat dari segala arah. Ditempuh dengan cara mengelilingi. Kategorinya disebut En Ronde Bose.
Ketika ditempatkan menempel dinding, kehilangan sifat En Ronde Bose. Karena bagian yang menempel tidak akan bisa dilihat. Kondisi ini dalam pola pengamatan disebut portray. Artinya, pandangan hanya bisa diperoleh dari sebagian arah. Sebagai contoh, patung Ganesa (kombinasi kepala gajah bertubuh manusia) dari peninggalan zaman Hindu. Artifaknya di Indonesia, pada umumnya dijumpai menempel dinding yang menyatu sebagai bagian patung.
Dari sifat menempel dinding, muncul jenis relief. Meliputi relief tinggi, relief sedang dan relief rendah. Hakikinya, aktivitas mematung hanya mengolah medium yang memiliki ketebalan atau bervolume. Berbeda dengan melukis. Prinsipnya menerakan warna (cat) pada bidang. Mencat dengan kuas, disebut brush painting. Menggunakan alat semprot, disebut spray brush painting. Mencat dengan cara diteteskan, dipercikkan hingga disiramkan, disebut drip painting.
Adapun kelaziman kata painting untuk menyebut melukis pada kanvas. Melukis pada dinding disebut wall painting. Melukis langit-langit bangunan, disebut ceiling painting. Melukisi mobil disebut car painting. Melukisi tubuh manusia, disebut body painting. Melukis pada busana, disebut dress painting.
Bagaimana dengan patung yang dicat? Berdasarkan paparan di atas, disebut sculpture painting. Penyatuan dua nama, menjadi indikator sifat heterogenitas unsur.
Tanpa terkecuali, patung kombinasi bahan. Misal, kombinasi gading dan perunggu. Dijumpai pada patung art deco, karya Bruno Zach, berjudul ”The Black Leather Suit”. Kategorikannya juga heterogenitas unsur.
Sekalipun dari heterogenitas bahan, patung cetak (casting) dikategorikan homogen. Bila yang dicetak adonan semen dan pasir sebagai bahan baku, tambahan pewarna menjadi bagian bahan baku. Hal yang sama berlaku dalam patung (cetak) perunggu (bronze). Bahan bakunya tembaga dan timah. Untuk memperoleh efek warna (patina) tertentu, ditambahkan aluminium, mangan, nikel, seng hingga emas.
Sebagai contoh, Reproduksi Patung Apollo dari Yunani. Patung asli berbahan batu pualam. Direproduksi dengan perunggu. Prosesnya menggunakan perunggu multi warna (Multi-Color Patina), bercampur emas (Bronze Gold Patina).
Senyawanya (kimiawi) dipandang sebagai homogenitas unsur. Sekalipun hasilnya patung berwarna (Polychromatic Sculpture atau Polychromatic Statue). Tidak menunjukkan kemurnian patung yang bersifat monochromatic atau satu warna.
Sifat heterogen memiliki kekekalan pola dalam keabadian waktu. Sphinx sudah ada sejak ribuan tahun Sebelum Masehi. Abad XX, muncul heterogenitas yang lain dalam sosok robo cop. Keberadaannya merupakan hasil perpaduan manusia dan mesin. Abad XXI, muncul transformer. Hasil perpaduan manusia dan kendaraan.
Tidak terkecuali reog ponorogo. Hasil perpaduan harimau dan merak. Demikian halnya ornamen Batak. Hasil perpaduan manusia, binatang dan tumbuhan (sulur-suluran). Ditambah satu unsur lagi. Pola berkarakter geometrik. Heterogenitas dari segi waktu, dijumpai pada penyatuan masa lalu dan masa kini. Kombinasinya menghasilkan Wujud retro-classic.
Cabang-cabang senirupa, meliputi senibangun (arsitektur), senilukis dan seni patung, juga dipadukan. Artifaknya dijumpai dari peninggalan Barok, pada abad XVII. Perpaduannya menghasilkan Seni Quadratura.
Pola dasar quadratura menampilkan forecourt. Terbentuk dari rangkaian ceiling painting dan wall painting. Visualisasinya berupa langit berawan, disertai manusia (bersayap maupun tidak bersayap) berterbangan dan duduk maupun terbaring di awan. Seperti dijumpai pada karya berjudul ”Triumph of the Name of Jesus”, di Chiesa del Gesu (Church of the Jesuits atau Gereja Jesuit), Roma, Italia.
Adapun kata forecourt diartikan miniatur alam semesta yang melukiskan langit. Tampilannya berupa langit yang dilihat dari bawah (seen from bellow), disebut Sotto in Su.
Abad XXI, muncul perpaduan lukisan dan patung berwarna. Seperti dijumpai pada karya Shintaro Ohata. Tampilannya berupa penempatan patung figuratif (statue) di depan lukisan. Rangkaiannya menjadikan lukisan berperan sebagai latar belakang patung.
Sifat permukaan antara patung dan lukisan diselaraskan. Tujuannya untuk menjalin kesatuan hubungan di antara keduanya. Langkah yang ditempuh, warna dan pola sapuan kuas lukisan, juga diterapkan pada sekujur permukaan patung. Kombinasinya disebut ”3D Painting”. Secara lengkap, ”3D Painting Blends Sculpture and Canvas”.
Secara nyata, kesatuannya terlihat (dari foto) pada detail kepala patung berlatar belakang lukisan. Keberadaannya seolah-olah menjadi latar depan visualisasi lukisan.
Patung berwarna juga dijumpai di Chiesa del Gesu. Keberadaannya menjadi bagian totalitas tampilan ”Triumph of the Name of Jesus”. Kombinasi lukisan (ceiling painting dan wall painting) dan patung berwarna, menjadi petunjuk adanya penerapan teknik fresco dan stucco. Fresco artinya melukis di dinding maupun langit-langit dengan menggunakan plaster (semacam semen) dicampur pewarna. Adapun stucco adalah plaster dari campuran gypsum dan serbuk marble (batu pualam). Fungsinya untuk bahan interior, relief dan patung, serta dekorasi. Dalam karya Triumph of the Name of Jesus, fresco dikerjakan Giovanni Battista Gaulli dan stucco oleh Antonio Raggi.
Stucco berupa patung berwarna (Polychromatic Sculpture) yang berkarakter tiga dimensional, menjadi efek realitas struktur Forecourt untuk menyatakan obyek dekat. Keberadaannya dilatarbelakangi relief berwarna (Polychromatic Relief) berkombinasi dengan wall painting. Fresco pada ceiling painting, berkombinasi relief berwarna (Polychromatic Relief). Sebagai hasilnya, diperoleh kesatuan heterogenitas antara patung berwarna, relief berwarna dan wall painting serta ceiling painting. Rangkaiannya menorehkan kualitas spectacular forecourt.
Dalam karya Ohata, patung berdiri bebas sebagai En Ronde Bose, tetapi menjadi bagian lukisan. Keberadaannya disebut Breathtaking. Diartikan menghidupkan atau memberi kehidupan.
Konsepnya, tampilan figur dalam lukisan biasanya datar dan hanya bisa dilihat dari satu arah pandang saja. Pelepasannya dari bidang lukisan dalam struktur En Ronde Bose, menjadikan memiliki kedekatan dengan kehidupan manusia. Interaksi manusia satu dengan yang lain juga berlangsung dari segala arah. Sesifat dengan prinsip En Ronde Bose.
Ketidaklaziman karya Ohata, membutuhkan sikap terbuka bagi pengamat untuk membangun integritas diri dalam berapresiasi. Hal sebaliknya berlaku dalam Forecourt. Menurut Catatan Sejarah, kelahirannya atas inisiatif Gereja. Keterbukaan menerima kenyataan, ditunjukkan dengan memvisualisasikan forecourt. Sebagai hasilnya, meneguhkan integritas umatnya untuk kembali menjalani ”Pencerahan Menuju Jalan Kebenaran”.
Uraian ini, sejalan dengan arti obyek sebagai Effigy. Edwin L. Wade mendefinisikan, ”pemanfaatan objek ’berkonten simbolik’ untuk melibatkan efek emosional bagi anggota masyarakat”. Dalam hal ini, tampilan forecourt mampu melibatkan efek emosional dalam meneguhkan integritas.
Ditambah penempatan Pipe Organ (alat musik seperti Piano, berukuran besar dan permanen sebagai bagian bangunan). Seperti dijumpai di Cantoria (bagian bangunan semacam balkon), Chiesa (Gereja) di Santa Maria della Vittoria, Roma. Tentu terjalin harmoni spektakuler dari heterogenitas unsur rupa dan suara, antara Forecourt dan Alunan Musik Gereja.
Didukung fakta, pada zaman Barok banyak lahir Composer (musik). Salah satu di antaranya bernama Henry Purcell. Dari gagasannya, lahir salah satu karyanya berjudul ”Abdelazer Suite II, Rondeau”. Hal ini menunjukkan, adanya keharmonisan dalam heterogenitas, antara profane (duniawi) dan sacral (keagamaan) di bidang musik.
Paparan di atas, dalam ”Kehidupan Berbangsa dan Bernegara di Indonesia”, dapat dirujukkan dengan ”Harmoni Heterogenitas Etnik dalam ikatan Bhineka Tunggal Ika”. Ini bukti. ”Bhineka Tunggal Ika” juga dapat dijadikan acuan ”Konsep Seni Universal”, untuk sumber inspirasi dalam pengembangan proses kreatif. ”Dirgahayu Republik Indonesia”.
Penulis; dosen senirupa Unimed