Oleh: Azmi TS
TERNYATA banyak juga perupa menyadarkan, tentang ingatan kepada pahlawan yang menentang penjajahan Belanda melalui lukisan. Salah satu lukisan sejarah terkenal, peristiwa penangkapan Diponegoro versi Raden Saleh. Pelukis Basuki Abdullah juga tak kalah hebat memaparkan lewat kanvas tentang ketokohan yang sama. Menurut versi pelukis tersebut sama-sama jago menampilkan spirit pahlawan yang gagah berani, menjadi ingatan sejarah anak bangsa.
Pengungkapan yang sangat hebat tentang sosok pahlawan yang berjuang sebagai syuhada di medan perang. Seseorang yang gagah sedang menunggang kuda hitam. Tangan kanan menunjuk, sedangkan tangan kirinya memegang tali.
Sosok itu adalah pangeran Diponegoro. Mengenakan sorban (penutup kepala), jubah (pakaian) putih bersenjatakan keris di kiri pinggangnya. Lukisan itu kini begitu fenomenal dan diakui sebagai karya Basuki Abdullah yang kental bernuansa sejarah.
Kreasi lukisan cat minyak Basuki Abdullah (1940) “Diponegoro Memimpin Pertempuran” menunjukkan adanya kesaktian atau daya linuwih Diponegoro melawan penguasa Hindia Belanda. Lukisan sejarah pahlawan Diponegoro dibuat A. J. BIK (1830). Dipaparkan peperangan Diponegoro melawan kolonial di tanah Jawa. Berlangsung sejak 1825-1830-an. Berbagai tafsiran tentang jejak pangeran Diponegoro di waktu muda dibuat oleh H. M. Lange (1847). Ada pula lukisan G. Keeper (1900) tentang pertempuran Diponegoro di Goa Selarong.
Selain kekuatan massa pengikutnya, juga seorang pejuang yang ingin membebaskan kaumnya lengkap ada dalam lukisan Nasirun (2015). “Penangkapan Pangeran Diponegoro” dan Heri Dono (2015) “Aku dan Diponegoro”serta lukisan “Watching the Scene on Diponegoro”.
Pada lukisan Galam Zulkifli (2015) berjudul “Jalan Ratu Adil” berisikan Diponegoro dalam bentuk lukisan mosaik (potongan gambar bersusun). Tak kalah unik sosok Raden Saleh duduk bersama dengan busana berbeda pada lukisan Srihadi Sudharsono (2015) “...Tunggal Ika.”
Ini menyiratkan kedua tokoh ini bergabung memberangus musuh (kolonialisme) atau dihapuskan dari tanah Jawa.
Gaya perupa dahulu dan sekarang tetap melukiskan semangat pantang menyerah Diponegoro kepada kaum kolonial Belanda yang sering menindas kaum pribumi. Lukisan itu ditegaskan lagi pada karya S. Soedjojono (1979) “Pasukan Kita yang Dipimpin Pangeran Diponegoro”.
Pada zaman Belanda kalau ada orang yang memakai jubah putih dan sorban, itu dicurigai sebagai kaum yang akan melawan mereka. Busana jubah Diponegoro yang serba hitam bernada politis pada lukisan versi Nicolas Pieneman (1835) “Penyerahan Pangeran Diponegoro kepada Jend. Hendrik Merkus baron de Cock”. Lukisan ini dibuat berbeda oleh Raden Saleh.
Menurut versi Raden Saleh lukisan “Peristiwa Penangkapan Pangeran Diponegoro” terlihat Diponegoro memakai jubah dan sorban putih di tambah rompi berwarna hijau tua. Jelas menunjukkan lukisan Raden Saleh membantah “lukisan politis” Pieneman tersebut. Raden Saleh percaya, Diponegoro tetap berjihad untuk memerangi kemaksiatan sekaligus mengusir kaum penjajahan. Walaupun Raden Saleh banyak bergaul dengan orang Eropa tetapi nasionalismenya tetap tak luntur.
Ada satu lukisan anonim berupa Sketsa (1825) “Pertempuran pengikut Diponegoro dengan serdadu Belanda di Selarong” bermakna perjuangan. Semangat bertempur dan patriotisme yang tak bisa ditawar. Lukisan dekoratif ini justru sangat perlu diapresiasi. Ada banyak orang bersenjatakan panah, kereta kuda dan (kiyai omyang) serta laskar perangnya. Pelukis muda berbakat sesudah zaman merdeka Jette Yuan mengemas versi buku komik ‘airbrush’ tentang serial “Pangeran Diponegoro”.
Pada masa sesudah kemerdekaan penyebar potret pangeran Diponegoro adalah Sudjono Abdullah (1947). Dia risau pada anak bangsa tak banyak yang perduli pada sosok pemicu perang di tanah Jawa pada abad 18 ini. Keperdulian pelukis ‘menatap sejarah pahlawan’ di atas patut kita hargai, sebab sampai saat ini belum banyak pelukis menyadari pentingnya sejarah. Semoga saja negeri ini cepat memicu betapa berharganya aset (lukisan sejarah pahlawan), diprediksi ke depan kita kekurangan pelukis sejarah perang.