Kita dan Binatang Jalang

Oleh: Hidayat Banjar

KETIKA Chairil Anwar mengemukakan: aku ini binatang jalang/dari kumpulannya terbuang. Kosa kata binatang pada kalimat itu tidak tunggal makna. Binatang pada kalimat itu menggambarkan tentang kehinaan, merendahkan liyan di satu sisi. Binatang pada kalimat itu juga dapat dimaknai sebagai hidup bebas dan tak mau peduli dengan norma yang ada. 

Belakangan ini, anggota masyarakat, anggota dewan, elit politik, bahkan oknum polisi senang memakai kosa kata binatang sebagai penyampaian aspirasi. Tidak saja kosa kata kerbau, bahkan kerbaunya sekalian dibawa berunjuk rasa.

Tentu ada yang kepanasan dengan sindiran itu karena kerbau, sebagaimana banyak hewan lain, juga punya dua sisi sekaligus: positif dan negatif. Yang kepanasan mengatakan: kerbau adalah hewan pemalas, tak punya akal. Badan besar, makan banyak, tapi lamban.

“Masak kami digambarkan seperti kerbau,” ungkap mereka.

Ditangkis oleh sang pendemo dengan mengatakan: kerbau adalah sahabat petani yang bekerja keras membajak sawah. Tidak agresif dan buas, meskipun agak lamban, tetapi tak sejengkal pun sawah tidak dibajaknya.  

Begitu pula ketika seorang anggota Dewan Perwakilan Rakyat, dengan volume suara keras dan tekanan dinamik kuat, mengeluarkan kata bangsat kepada seorang sejawatnya. Pendengarnya di ruang sidang maupun yang menyaksikan di layar televisi, boleh menafsir bahwa orang itu sedang melontarkan makian. Kata bangsat dalam konteks tersebut bisa berarti merendahkan. Melecehkan, menistakan dan menghina. Sebab menyamakan orang yang dituju dengan kepinding atau kutu busuk. Sinonim bangsat adalah kepinding ata kutu busuk.

Tidak salah juga jika ada yang menfsir, bahwa Anggota Dewan Perwakilan Rakyat sedang melakukan destruksi terhadap sakralitas lembaga DPR.

Ya, sekali lagi bahasa selalu tampil dengan multi tafsir. Saat, seorang akademisi memasyarakatkan buku Membongkar Gurita Cikeas. Para pembaca pun menduga sikap penulisnya dengan tafsir yang positif dan negatif. Kata gurita, yang menunjuk makhluk laut bertentakel banyak, pada frasa itu punya nuansa makna yang tidak senetral kata jejaring, cecabang atau sindikat, meski kandungan semantiknya bisa sama.

Bagi pihak yang kontra mengemukakan, buku itu merupakan rangkaian fitnah. Bagi yang pro mengatakan, penulisnya mampu menggambarkan bagaimana jaringan bisnis lingkaran orang-orang Cikeas yang melilit seperti gurita.

Sebagai Idiom

Penggunaan idiom binatang: bangsat dan gurita untuk kalimat di atas konotasinya memang berkecenderung negatif. Sebab, bangsat dan gurita, muncul karena digunakan sebagai kias untuk menyetarakan watak dan tindakan manusia dengan perangai dan perilaku binatang. Dengan kata lain: tidak manusiawi. 

Pada kalimat-kalimat tertentu, kata bangsat dan gurita, bisa berubah makna, bukan makian. Misal: “Bangsat loe, ke mana aje selama ini“. Pada kalimat tersebut, kata bangsat untuk menggambarkan keakraban si pengujar dengan yang mendengar ujaran.

Begitu juga pada kalimat “Ente hebat betul, usaha Ente sudah meng-gurita ke mana-mana.” Pada kalimat itu kata gurita justru untuk menggambarkan bagaimana jaringan bisnis yang kuat.

Perbendaharaan makian yang menggunakan nama binatang: bangsat dan gurita, keduanya sudah lazim bahkan klise. Kias yang lebih segar justru dilontarkan oleh seorang jenderal polisi, ketika dia bilang, “Cicak kok mau melawan buaya!” untuk mengibaratkan konflik yang terjadi antara Komisi Pemberantasan Korupsi dan lembaga kepolisian, ketika itu.

Penyebutan cicak, dengan maksud merendahkan, terasa sebagai ungkapan baru karena belum biasa dalam bahasa kita. Dengan menyebut cicak, agaknya sang jederal bermaksud melecehkan pihak lawan karena cicak pada kalimat itu langsung mengacu pada sifatnya yang kecil dan lemah dibandingkan buaya yang lebih besar dan kuat.

Sungguh keliru sang jenderal, ungkapannya yang bertujuan untuk merendahkan lembaga KPK justru jadi bumerang. Inilah contoh ungkapan yang kurang taktis dalam poltik komunikasi. Ketiadaan konotasi negatif, juga sifat kecil dan lemah pada cicak, justru mengundang simpatik khalayak. Cicak justru membantu manusia dalam memberantas nyamuk.

Sebaliknya, tanpa disadari, dengan mengandaikan diri sebagai buaya sesungguhnya sang jenderal lebih merendahkan pihaknya sendiri. Kita tahu buaya -predator melata itu- telah menjadi salah satu simbol yang mewakili tabiat buas dan buruk. Misalnya buaya darat kerap digunakan untuk mengejek lelaki yang gemar main perempuan, air mata buaya untuk menyatakan kemunafikan.

Negatif dan Positif

Binatang memang kerap jadi ungkapan manusia untuk menyatakan hal negatif maupun positif. Seperti burung garuda sebagai simbol kebebasan. Merpati sebagai metafor cinta kasih dan kesetiaan.

Di satu sisi, Bahasa Indonesia punya sederet panjang nama binatang yang kerap dicatut untuk merendahkan liyan. Sebut saja: anjing, babi, monyet, kadal, ular, bajing (an), kambing hitam, kambing congek, otak kerbau, otak udang, akal bulus, tikus kantor, kelas teri, kelas kakap, lintah darat, sapi perah, kuda beban, kupu-kupu malam, ayam kampung, jago kandang, aksi kucing, kucing garong, kucing kepala hitam, serigla berbulu domba, dan sebagainya.

Di sisi lain, nama-nama binatang itu dipakai untuk menggambarkan hal-hal yang positif: Minang Kabau (kerbau) melambangkan keperkasaan. Ungkapan anjing juga dipergunakan untuk penjaga yang setia. Tupai digunakan sebagai ungkapan tentang kecekatan dalam melompat.

Konon bahasa menyatakan pola berpikir atau dengan ungkapan lain “bahasa menunjukkan bangsa”. Kita tak pernah bertanya dari mana ungkapan dengan idiom itu datang, atau bagaimana diciptakan. Apakah bahasa Melayu sebagai induk bahasa Indonesia, juga bahasa-bahasa lain di Nusantara, pun menggunakan nama binatang sebagai ungkapan yang merendahkan liyan?

Jelebau dan gergasi adalah dua kosa kata Melayu yang juga bertujuan untuk merendahkan liyan. Jelebau digunakan untuk menggambarkan tindakan manusia yang ragu-ragu, lamban, serta penakut. Jelebau adalah sejenis kura-kura, yang sebelum mulai berjalan, dia keluarkan kepalanya. Begitu ada sesuatu di depannya, maka kepalanya ditarik kembali ke dalam.

Sedangkan gergasi, nyaris tak digunakan lagi dalam percakapan sehari-hari untuk menggambarkan manusia yang bekerja geragasan, kasar dan tak becus. Gergasi adalah sejenis makhluk besar (raksasa) yang tak becus dalam bertindak.

Dalam bahasa Jawa baru memang tersedia sejumlah ungkapan sinis seperti itu, misalnya: babi/celeng, kethek/munyuk dan asu. Pernah pada suatu kurun, orang Jawa terkesan lebih menghargai binatang dengan meminjam nama-nama mereka untuk manusia. Sekadar menyebut beberapa: dari masa Kediri-Sinagasari setidaknya kita teringat Bango Samparan dan Kebo Ijo. Dari zaman Majapahit kita kenang Hayam Wuruk dan Gajah Mada, masa Kerjaan Demak kita mengenal Mahesa Jenar dan Kebo Kanigara.

Bahkan hingga kini lambang Polisi Militer adalah Gajah Mada. PSMS (Persatuan Sepak Bola Medan Sekitarnya) dijuluki ayam kinantan. Harimau Tapanuli juga julukan untuk sebuah persatuan sepak bola. Salahkah kita menggunakan hewan-hewan itu sebagai ungkapan? Biarlah ahli bahasa menjawabnya.

Pastinya, secara struktur biologis, manusia termasuk dalam rumpun mamalia. Justru itu ada pula ungkapan: manusia adalah binatang yang berakal. Bahkan Tuhan mengingatkan, jika manusia tidak menggunakan akal budinya, niscaya derajatnya lebih rendah dari hewan. Ketika manusia dapat memaksimalkan akal budinya, derajatnya akan lebih tinggi dari malaikat. Wallahualam bissawab (hanya Tuhanlah yang tahu).

Penulis; Peminat Masalah Sosial Budaya Menetap di Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi