Oleh: Nevatuhella.
Hulubalang Raja, merupakan novel terbaik Nur Sutan Iskandar (1893-1975). Terbit tahun 1934, dua belas tahun sesudah novel pertama Indonesia Azab dan Sengsara karya Merari Siregar. Sampai kini Hulubalang Raja sudah 22 kali cetak oleh Balai Pustaka.
Hulubalang Raja merupakan kisah hubungan raja-raja pesisir Sumbar dengan Kompeni dan mata-mata Aceh yang sudah berjaya dalam negerinya. Nur mengkonstruksinya dengan indah sudah bercirikan kemoderananan. Bersetting tahun 1622-1667.
Novel dibuka dengan manis bagaimana seorang putra raja Ali Akbar bermenung-menung nampak dimata kedua orang tuanya yang berkuasa, Raja Hulu dan permaisuri Reno Gading. Mencarikan pendamping sebagai jawabannya. Gelanggang pun dibuka untuk bertarung menyabung ayam dan berandai ria. Keramaian yang melibatkan rakyat dan para bangsawan yang menjadi tontonan akan kehebatan dan kemewahan-kemewahannya. Gelanggang rupanya siasat Ali untuk mencarikan jodoh adiknya Ambun Suri. Menurutnya sudah layak untuk berumah tangga, bukan untuk dirinya.
Malang bagi Ambun Suri yang dilamar Sultan yang sudah beristri bernama Muhammad Syah, putra Raja Hilir Malafar Syah. Suri dilenyapkan oleh calon sang madu Kemala Sari. Tragedi inilah pencetus Ali Akbar menuntut balas kepada keluarga Muhammad Syah dan ayahandanya Malafar Syah, yang jahat kepada rakyat.
Ali bersekutu denga Sultan Mulana menyerang istana Raja Hilir. Kalah menang terjadi, namun malang menimpa Ali Akbar lagi. Ayah dan ibunya terbunuh oleh serangan Malafar Syah. Makin kuat keinginan balas dendam Ali pada Muhammad Syah dan Malafar syah. Tambah lagi dia mendengar dua anak beranak ini bersekutu dengan kompeni dalam hal perdagangan lada dan emas-emas Sumbar yang dihasilkan anak negeri.
Sumbar yang meliputi mulai dari Air Bangis, Pariaman, Painan, Tiku, Panyuoto, Tiku, Painan, Indrapura paling selatan dan Salido, penghasil emas, dikeroyok oleh tiga kekuatan yang berkepentingan. Aceh sudah lama bertahan sebagai perompak di laut dan perampok di darat atas pedagang yang melintas. Padahal Groenewegen, wakil Belanda yang sebelumnya wakil Belanda di Aceh sudah ditempatkan Sultan Aceh di pantai barat yang meliputi Sumbar ini. Itu makanya Nur menulis satu bagain novelnya sebagai “Tipu Aceh” karena begitu pentingnya kehadiran Aceh sebagai penyeimbang kekuatan Kompeni menguliti rakyat. Raja-raja dan para Sultan kecil tak lebih feodalis yang menjual negeri.
Malafar dan anaknya kebakaran jenggot dengan serangan Ali dan Sultan Mulana. Groewenegen pun makin kuat mencengkramkan kukunya karena Malafar buru-buru minta bantuan bala tentara Kompeni yang selalu siap tempur dengan kapal-kapal dan meriamnya. Sebaliknya Ali Akbar makin dipercaya rakyat. Loji-loji yang direncanakan Groewenegen untuk dibangun di Tiku dan Painan digagalkan. Bahkan Sultan Mulana, dengan menyamar sebagai pedangang biasa berhasil membunuh utusan Groenewegen yang naik ke darat (Samuel Loth). Malafar makin terpojok. Kemala Sari mendekati gila akibat perbuatannya melenyapkan Ambun Sari.
Di Kotagedang yang terletak di kaki gunung Talang, Engku Muda Malekewi merajuk karena orang tuanya menolak menambah modal sabungannya. Malekewi mengalami kekalahan fatal dalam perhelatan besar menyabung ayam.
“Ayam berlaga, lompat melompati, berpupuh, patuk-mematuk dan lapur-melapur dengan hebatnya. Tiada berapa lama antaranya, matilah jua ayam Sutan Malekewi yang penghabisan itu” (halaman 63).
“Adat laki-laki, tunggang hilang berani mati. Tinggal kampung tinggal halaman” kata Sultan Malekewi seraya berjalan dengan merajuk hati meninggalkan Istana orang tuanya.
Berbulan Malekewi masuk keluar hutan. Akhirnya bertemu dengan Orang Kaya Kecil. Penghulu ternama di Padang sekutu Kompeni. Kedudukannya mulai tersudut oleh serangan-serangan Ali Akbar yang sudah bergelar sebagai Raja Adil. Malekewi naik daun langsung diangkat sebagai Hulubalang Raja karena beberapa kali berhasil menangkap penyamun Pauh yang membulan-bulani Padang. Pauh sendiri menjadi markas penyamun Aceh yang dianggap khianat oleh Kompeni dan Orang Kaya Kecil.
Dalam sebuah pertempuran hebat antara Manyuto, dikomdoi Raja Adil dan Padang oleh Hulubalang Malakewi. Malakewi berhasil pula menyelamatkan Groenewegen yang tenggelam di laut. Makin kuat dan terhormat kedudukan Malekewi di mata Kompeni dan Orang Kaya Kecil. Dalam hati kecil Malakewi sendiri perang baginya entah untuk membela siapa. Dia mendengar kabar bahwa Raja Adil, Hulubalang Manyuto berjuang untuk membalas kematian adik, dua orang tuanya dan berjuang melawan Kompeni kaum asing.
Dalam pada itu buntut kepergian Malekewi dari Kotagedang berakibat pada adiknya putri Andam Dewi yang teramat sedih dan luka karena kepergian abangnya. Andam Dewi meninggalkan Istana untuk mencari abang satu-satu yang dikasihinya. Malang Andam Dewi di tengah kelananya ditangkap dan diperjual-belikan sesama pedagang. Dengan bijak Nur menempatkan Raja Adil yang kebetulan menyamar sebagai penyamun Aceh, berhasil menyelamatkan Andam Dewi dan menyuntingnya. Malang lagi, waktu bahagia-bahagia bagi pasangan baru Andam dan Adil, mereka terpaksa harus masuk hutan. Akibat serangan membabi buta Padang, dengan bantuan bala tentera Kompeni yang terlatih. Hulubalang Malekewi tetap dipercaya sebagai pemimpin, walau hatinya telah mulai mendua. Tak sadar kalau dia telah menjadi ipar bagi Raja Adil. Inilah namanya cerita. Jungkir balik agar menarik.
Seberapa bengkok dan jungkir baliknya cerita dalam novel atau karya sastra lainnya, tetaplah ada benang lurus yang mengurai cerita sedemikain rupa. Nur Sutan Iskandar berhasil menoreh sejarah pesisir pantai Sumatera Barat ini dengan baik. Sebuah konstruksi masyarakat yang belum eksis sebagai sebuah state. Kesadaran sebangsa sudah ada, namun kepentingan kelompok yang diwakili Raja-raja atau Sultan-sultan kecil masih merajalela.
Beda dengan kerajaan Pagaruyung (Minangkabau) di utara yang jauh maju dibanding pesisir Sumatera Barat. Aceh memang terhitung kurang memperdulikan pantai barat waktu itu. Kompeni, bahkan sesudah tahun 1667, masuk juga Inggris menetrasi Sumbar yang kaya, dengan mendirikan benteng-benteng yang kokoh.
Novel Hulubalang Raja debut Nur Sutan Iskandar beda tema dengan novel sosial yang mendahuluinya. Seperti Azab dan Sengsara, Siti Nurbaya, Kalau Tak Untung. Termasuk juga novel Nur Sutan Iskandar sendiri Apa Dayaku Karena Aku Perempuan (1922) dan Cinta Yang Membawa Maut (1926). Kesemuanya novel bertema adat atau sistem sosial.
Lebih maju memang dengan lompatan Salah Asuhan-nya Abdoel Moeis (1928) yang sampai kini gaungnya masih relevan. Persoalan falsafah hidup orang timur-barat yang tampaknya tak pernah akan selesai. Hulubalang Raja murni novel sejarah dengan warna lokal yang kuat. Selang lebih dari 300 tahun sudah berlalu kejadian yang sesungguhnya Nur mengunduhnya lewat persepsi dan pengalamannya sebagai penulis yang sangat-sangat kreatif.
Kemoderennya Nur mengkaji jua bahan-bahan Hulubalang Raja lewat literatur buku De Weskunst en Minangkabau yang merupakan “academisch proefschrift” H. Kroeskamp yang dicetak oleh Drukkerij Fa. Schottanus & Jens di Utrech, tahun 1931. Dari sini bubuhan tanggal dan bulan kejadian ditemui dalam novel terhitung tebal ini.