Sejarah Indonesia Dalam Lukisan

Oleh: Dr. Agus Priyatno, M.Sn.

Beberapa hari lagi memasuki bulan bersejarah bagi bangsa Indonesia. Bulan sarat makna. Pada Agustus, 70 tahun lalu kita menyatakan diri sebagai bangsa merdeka. Berkenaan dengan peringatan hari kebebasan bangsa kita, saya tuliskan artikel tentang Sejarah Indonesia dalam lukisan. Artikel ini merupakan artikel yang telah dipresentasikan dalam seminar di ruang audio visual jurusan pendidikan sejarah FIS Unimed. Seminar diselenggarakan pada jumat 29 Mei 2015. Artikel diedit, catatan kaki ditiadakan pada artikel ini. Artikel dibagi menjadi dua bagian. Artikel ini merupakan bagian pertama.

Penangkapan Pangeran Diponegoro

Sejarah adalah kajian tentang peristiwa masa lalu. Terutama sekali bagaimana kaitannya dengan manusia. Berdasarkan pengertian sejarah, cakupan sejarah sangat luas. Ada sejarah sosial, agama, militer, politik, kebudayaan, seni dan sebagainya. Mengkaji sejarah merupakan aktivitas mengingat, menemukan, mengumpulkan, mengorganisasikan, menyajikan dan menafsirkan peristiwa masa lalu. Selama ini sejarah lebih banyak disajikan dalam bentuk teks, berupa tulisan buku. Lainnya dalam bentuk fotografi atau film dokumenter. Jarang terpikirkan, seni khususnya senilukis, juga memiliki kemampuan menarasikan peristiwa masa lalu. Karya seni dua dimensi  seperti lukisan dapat memberikan banyak informasi sejarah. Sebuah lukisan mampu mewakili ribuan kata.

Sejarah Indonesia dipresentasikan tidak hanya melalui tulisan di buku, fotografi dan film, namun juga dalam bentuk karya seni rupa. Ada banyak peristiwa sejarah Indonesia dipresentasikan dalam bentuk karya seni rupa, di antaranya berupa relief, patung dan lukisan. Lukisan sejarah diciptakan pelukis berdasarkan pengalaman pribadi (empiris) maupun melalui studi literatur. Konstruksi visual dilakukan melalui pelacakan peninggalan sejarah dari peristiwa yang dilukiskan. Melalui metode itu, lukisan atas peristiwa sejarah tidak merupakan  ungkapan subjektf pelukisnya semata, namun juga ada nilai objektivitas di dalamnya. Lukisan selain merupakan ekspresi pelukis yang bersifat individual, juga merupakan ekspresi tentang fakta-fakta kehidupan manusia. Fichner menyebutkan, ada 14 alasan mengapa karya seni (termasuk lukisan) diciptakan. Di antaranya untuk mengungkapkan kenyataan. Adapun Janson menegaskan, seni mengungkapkan realitas hingga imajinasi manusia.

Lukisan tentang peristiwa sejarah, dibuat pelukis ada referensi atau acuannya. Tidak dikarang semaunya sendiri oleh pelukis. Dalam kajian semiotika, Eco menyebutkan, lukisan (representasional) termasuk tanda ikon, tanda yang menyerupai objeknya.

Lukisan Jenderal Sudirman umpamanya, memiliki kemiripan dengan tokoh yang dilukiskan. Karenanya lukisan tentang sejarah di Indonesia memiliki nilai dokumentasi yang kuat. Sama kuatnya dengan dokumentasi teks maupun fotografi. Sejumlah pelukis di Indonesia yang hidup di zaman kolonial hingga perang revolusi menciptakan lukisan atas dasar metode tersebut. Mereka ada yang terlibat langsung dalam peperangan maupun masa perjuangan kemerdekaan.

Pelukis Dullah dari Surakarta terlibat langsung dalam sejumlah pertempuran. Peristiwa yang dia saksikan kemudian dilukiskan pada kertas maupun kanvas. Melukiskan peristiwa perang dilakukan juga oleh murid-muridnya.  Ada cukup banyak karya senilukis yang diciptakan oleh Dullah dan murid-muridnya tentang peristiwa perang. Lukisan-lukisan bertema perang yang diciptakan oleh Dullah dan murid-muridnya dipublikasikan dalam bentuk buku berjudul Karya Dalam Peperangan dan Revolusi.

Lukisan perang dibuat berdasarkan pengalaman pelukisnya barangkali tidak memiliki ketepatan seratus persen dengan realitas yang sebenarnya. Ada berbagai unsur visual yang mendekati kemiripan. Bangunan, pesawat terbang, senjata, mobil, kuda, baju, wajah tokoh dan sebagainya secara visual tidak akan jauh berbeda dengan kenyataan yang sesungguhnya. Lukisan Istana Presiden dikuasai tentara Belanda misalnya, dilukiskan tidak secara tepat namun ada kemiripan. Bendera Belanda yang berkibar di depan Istana berwarna merah, putih dan biru. Berkibarnya bendera, merupakan simbol atas penguasaan istana oleh tentara Belanda.

Peristiwa sejarah Indonesia juga dilukiskan berdasarkan studi literatur. Pelukis tidak mengalami sendiri peristiwa perang yang dilukiskan, sehingga konstruksi visual atas fakta sejarah dilakukan melalui studi literatur maupun pelacakan benda-benda sejarah ke museum-museum.

Lukisan Sudjojono tentang Sultan Agung raja Mataram menyerbu Batavia, dibuat tidak berdasarkan pengalaman langsung pelukisnya. Sudjojono melakukan visualisasi atas peritiwa melalui studi literatur dan pelacakan berbagai peninggalan sejarah dari zaman itu, hingga negeri Belanda. Demikian juga lukisan perjuangan rakyat Aceh melawan invasi pasukan Belanda karya Dede Eri Supria. Pelukis menciptakan lukisan mengenai peristiwa perang tersebut melalui studi dan pelacakan benda bersejarah.

Lukisan yang merepresentasikan peristiwa sejarah Indonesia dapat diklasifikasikan dalam beberapa kategori.  Pertama yaitu lukisan tentang perang, seperti penangkapan Pangeran Diponegoro,  pertempuran Sultan Agung raja Mataram melawan Pieterzoon Coen Gubernur VOC di Batavia (Jakarta), perang gerilya Jenderal Sudirman, perang 10 Nopember 1945 di Surabaya dan perjua ngan rakyat Aceh melawan invasi pasukan Belanda. Kedua yaitu lukisan tentang penyiksaan yang dilakukan oleh tentara Belanda dan sekutunya, serta tentara Jepang terhadap pejuang atau masyarakat Indonesia. Ketiga yaitu tentang figur pejuang. Keempat yaitu lukisan tentang kebudayaan, di antaranya berupa bangunan, rumah adat, sarana transportasi tradisional dan sebagainya.

Perang Diponegoro berlangsung cukup lama (1825-1830). Pemerintah kolonial Belanda mengeluarkan banyak dana untuk membiayai perang ini. Pemerintah kolonial Belanda berusaha mengakhiri perang dengan segala cara, di antaranya dengan tipu muslihat. Pangeran Diponegoro diundang pemerintah kolonial, dipimpin Jenderal de Kock untuk berunding pada bulan puasa Ramadan 28 Maret 1830. Pada saat Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya berpuasa dan tidak berperang, mereka bersedia berunding di gedung gubernur jenderal de Kock di Magelang. Pada saat itulah, Pangeran Diponegoro dan para pengikutnya yang tidak membawa senjata ditangkap.

Pelukis Belanda Nicolaas Pieneman menciptakan lukisan atas peristiwa penting itu dengan judul Penyerahan Pangeran Diponeoro (lukisan diciptakan tahun1930-1935). Lukisan itu mengekspresikan keadaan saat Pangeran Diponegoro berdiri di halaman gedung kantor pemerintahan Belanda di Jawa. Pangeran Diponegoro menghadap para pengikutnya, mereka bersimpuh di depannya. Jenderal de Kock berdiri di teras Gedung. Pasukan Belanda berdiri di sekelilingnya. Bendera Belanda Berkibar di atas gedung. Pengikut pangeran Diponegoro mengumpulkan senjata, berupa tombak diletakkan di tanah, di depan mereka. Lukisan ini mengesankan seolah-olah Pangeran Diponegoro menyerah kepada kolonial Belanda. Lukisan versi pelukis Belanda berjudul Penyerahan Diri Diponegoro kepada Jenderal de Kock 28 Maret 1830. Pada lukisan ini Diponegoro dan pengikutnya dilukiskan tidak berdaya.

Raden Saleh pelukis Indonesia tidak menerima fakta sejarah versi pelukis Pieneman. Dua puluh dua tahun kemudian (1857) diciptakan lukisan tentang peristiwa itu berdasarkan versinya sebagai orang Indonesia. Lukisan karya Raden Saleh berbeda dibandingkan lukisan Pieneman. Masing-masing merepresentasikan sudut pandang pelukisnya. Lukisan karya Pienemen menunjukkan peristiwa dari sudut pandang orang Belanda, adapun lukisan karya Raden Saleh merepresentasikan sudut pandang orang Indonesia. Sebuah Peristiwa sejarah yang sama   ditafsirkan dan dilukiskan berbeda dari sudut pandang yang berbeda.

Penulis; dosen pendidikan seni rupa FBS Unimed dan Pengelola Pusat Dokumentasi Seni Rupa Sumatera Utara.

()

Baca Juga

Rekomendasi