Oleh: Meyarni
PENGARUH mempengaruhi antara budaya di suatu daerah dengan agama, tidak dapat dihindari. Keduanya saling melengkapi satu sama lain. Tidak jarang, salah satunya muncul sebagai dominan.
Pertautan keduanya, sering melahirkan sesuatu bentuk nilai yang baru. Begitu pula yang terjadi di Indonesia. Sinkritisme budaya dan agama, sudah sejak lama berlangsung di nusantara. Tidak heran sampai kini, kita masih mendapati bermacam corak yang unik terkait agama maupun budaya itu sendiri. Misalnya dalam agama Islam-Jawa. Keduanya sama-sama menonjol. Maklum keduanya sama-sama kuat. Mengingat populasi Jawa adalah suku bangsa terbesar di nusantara. Demikian pula dengan agama Islam.
Islam-Jawa termasuk yang paling menonjol. Apalagi Islam juga menjadi agama yang paling banyak dianut masyarakat Indonesia. Di Indonesia, corak Islam-Jawa, hingga kini masih dipraktikkan masyarakatnya. Dalam buku, “Ritual dan Tradisi Islam Jawa” karya KH Muhammad Sholikhin, dapat kita amati bagaimana sinkretisme Islam itu berlangsung dengan mulus. Ajaran agama Islam bahkan tidak hanya mewarnai ruang religiusitas penganutnya, tetapi membaur dalam wilayah kebudayaan Jawa.
Seperti kita tahu, pada abad ke-15, di Jawa ada dua nilai besar yang berkembang dalam masyarakat. Pertama, budaya kejawen yang tumbuh serta dirawat oleh kalangan kerajaan. Mencapai kejayaannya di masa pemerintahan Kerajaan Majapahit.
Budaya kejawen sendiri lahir dari unsur-unsur hinduisme, yang sudah lebih dulu masuk ke Pulau Jawa. Budaya kejawen hidup dan berkembang di wilayah istana. Di pedesaan, terutama di tingkat masyarakat golongan bawah, siar Islam mulai menyebar.
Paling berjasa dalam penyebaran itu adalah Wali Songo. Mereka menyebarkan Islam dari beragam pintu masuk. Utamanya melalui seni dan aktivitas perdagangan. Tidak berapa lama, ajaran Islam ini langsung berkembang dan memengaruhi masyarakat di seluruh penjuru Jawa.
Tumbuh dengan cepat dan kuat. Islam-Jawa dengan cepat menyebar, bahkan ikut memengaruhi lingkungan istana. Tak pelak para keluarga kerajaan akhirnya banyak yang menganut Islam sebagai agamanya.
Dalam perjalanan waktu, proses akulturasi yang sedemikian rupa membuat Islam hadir dalam kebudayaan Jawa (kejawen). Seperti disinggung di atas, selanjutnya Islam masuk dalam wilayah politik istana, untuk kemudian menjadi agama resmi keluarga istana di sebagian besar kerajaan Jawa. Sementara itu nilai-nilai kejawen tetap dipelihara dan dilakoni oleh kalangan istana.
Tidak hanya hinduisme, di Jawa, Islam juga berasimilasi dengan berbagai kebudayaan dunia. Di dalamnya ada budaya India, China, Arab, Timur Tengah, Spanyol dan beberapa dari negara Eropa lainnya. Hal itu terjadi karena proses siar Islam selalu berupaya menyikapi tradisi lokal masyarakat. Termasuk terbuka terhadap kebudayaan dari luar, sepanjang bentuk dan esensinya itu tidak bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri. Karena itu banyak kita temukan peninggalan-peninggalan. Salah satunya berupa karya kaligrafi maupun arsitektur yang bercorak Islam-India, Islam-Arab, Islam-Spanyol dan sebagainya.
Begitu cepatnya proses adaptasi serta akulturasi itu salah satunya didasari prinsip atas suatu kaidah Ushulliyah, yang berbunyi; “Menjaga nilai-nilai lama yang baik, sembari mengambil nilai-nilai baru yang lebih baik.”
Menurut Sholikhin, Islam adalah agama yang menganut suatu fikih yakni pengakuan terhadap hukum adat. Hukum adat yang dimaksud adalah adat jama iyyah yakni suatu kebiasaan yang dilakukan sekelompok orang secara berulang-ulang. Meski begitu, ada batasan yang jelas dan tegas. Jika masih dalam bentuk adat fardliyah atau kebiasaan yang dilakukan secara berulang tetapi oleh personal orang, belum bisa dijadikan sumber penetapan hukum.
Hal ini menegaskan, Islam cukup kooperatif dengan fenomena serta dinamika kebudayaan. Proses asimilasi antara budaya Jawa (tsaqafat al-jawiyyah) dengan budaya Islam (tsaqafat al-jawiyyah). Kemudian menghasilkan apa yang disebut dengan istilah Ritual dan Tradisi Jawa Islami. Tidak heran jika agama Islam, khususnya di Jawa, layaknya sebuah mozaik yang kaya akan ornamen-ornamen peradaban dunia.
Salah satu bukti dari keberhasilan siar Islam dalam kebudayaan Jawa itu, tampak jelas dari jejak-jejak yang ia tinggalkan. Beberapa di antaranya dalam bentuk ritus-ritus budaya yang hingga kini masih dipraktikkan.
Ritus Melahirkan
Salah satu ritus yang masih dipraktikkan sebagian besar orang Islam Jawa, yaitu berkaitan dengan prosesi kehamilan. Yakni upacara Ngapati atau disebut juga Ngupati. Ritual 4 bulan masa kehamilan ini, oleh masyarakat Jawa ditandai dengan upacara pemberian makan yang salah satu menunya adalah ketupat. Ritus ini pun tak hanya terjadi di Indonesia, juga dilakukan oleh masyarakat negara serumpun. Termasuk di sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara.
Dalam Islam, ritual Ngapati, seperti disebutkan dalam buku “Ritual dan Tradisi Islam Jawa” didasarkan atas hadits yang berbunyi; “Bahwa pada masa usia 120 hari dari kehamilan atau 4 bulan, maka Allah meniupkan roh kepada janin dalam kandungan. Ruh ditiupkan, pada saat itu ditentukan juga rezeki dan ajalnya.”
Di usia kandungan 7 bulan, juga diadakan ritual yang oleh masyarakat Jawa disebut Mitoni atau Tingkepan. Dipilihnya bulan ke-7 masa kehamilan disebabkan karena bentuk bayi pada usia itu sudah sempurna. Bentuk upacaranya sama dengan Ngapati yakni berupa sedekahan. Dalam upacara itu juga turut disampaikan doa-doa agar bayi yang akan dilahirkan serta ibunya selamat dan sehat.
Berkembangnya ajaran Islam di Indonesia, baik dari sisi kuantitas maupun kualitas. Salah satunya disebabkan karena sifat ajaran Islam cenderung sejalan dengan ciri kepribadian masyarakat nusantara. Landasan ajaran Islam berdasarkan ideologi ketuhanan, bermufakat dalam mengambil keputusan serta berkeadaban yang luhur.
Begitu juga pada masyarakat Jawa. Prinsip serta pandangan hidup masyarakat Jawa adaptif dan tenggang rasa. Sejalan dengan ajaran agama Islam yang terbuka dengan pandangan-pandangan dari luar. Akibatnya proses interaksi antara kedua nilai itu, begitu akomodatif dan toleran. Sinkretisme Islam dengan budaya kejawen terjadi dengan sangat mudah. Bahkan tanpa pertentangan.
Pengaruh lain adalah berkat nilai-nilai dari agama Hindu-Buddha. Agama ini lebih dulu berkembang dan dianut masyarakat Jawa. Nilai-nilai agama Hindu-Buddha telah menanamkan nilai-nilai universal dalam diri masyarakat Jawa. Seperti kita tahu, ajaran Hindu-Buddha lebih kepada penataan relasi manusia dengan “Pemilik Kuasa”.
Sifat toleran yang ditanamkan ajaran Hindu-Buddha, menciptakan perspektif luas bagi masyarakat Jawa dalam memandang Tuhan dan agama. Nilai-nilai ini membentuk kepribadian serta menjadi dasar dalam kebudayaan Jawa. Masyarakat Jawa yang komunal, tumbuh menjadi masyarakat yang open mind terhadap nilai-nilai yang masuk padanya. Salah satunya menerima Islam sebagai agamanya.