Pelita Kehidupan dari Falsafah Jawa

PERJALANAN kehidupan sa­ngat­lah kompleks. Untuk mencapai tujuan sejati, aral rintangan selalu saja menghadang. Maka, eling lan waspada (ingat dan hati-hati) menjadi kunci utama bagi setiap orang agar mampu menjaga diri, tidak terkena dampak godaan menyesatkan. Dalam pada itulah, para leluhur Jawa telah mewariskan beragam sikap dan perilaku yang mencerminkan sikap eling lan waspada. Menariknya, meski falsafah ini berasal dari leluhur Jawa, namun dapat diterapkan pada setiap orang karena sifatnya yang universal.

Erat kaitanya dengan hal tersebut, buku Eling lan Waspada hadir dalam rangka menyebarluaskan falsafah Jawa sehingga masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh realita sosial yang terus berubah setiap saat. Salah satu bentuk eling lan waspada yang dibeberkan dalam buku ini antara lain adalah eling slirane dhewe (jangan sampai lupa daratan).

Manusia sering melakukan sesua­tu di luar kendali. Ketika telah merasa memiliki segalanya, manusia sering melupakan asal-usul, kewajiban, hakikat, bahkan jati diri. Manusia yang merasa hebat biasanya lupa diri/daratan. Untuk mencegah atau mengendalikan sikap lupa diri, manusia harus selalu eling sesangge­mane wong urip, yaitu ingat akan kewajibannya sebagai manusia yang hidup di dunia (halaman 45). Ada tiga bentuk eling sesanggeman. Pertama, eling sesanggeman tanpa melupakan kebutuhan pribadi. Ke­dua, eling lingkungan tanpa memati­kan kepentingan pribadi. Ketiga, eling sejatining dhiri tanpa menjadi pengikut yang membabi buta.

Di samping eling, manusia juga mesti bersikap waspada. Manusia dituntut agar selalu waspada, baik lahir maupun batin. Sikap waspada harus dimiliki manusia setiap waktu seumur hidupnya. Jika sampai sese­orang lengah sedikit saja maka hal itu dapat berakhir fatal. Jika dam­pak­nya tidak dirasakan sekarang maka pasti berakibat buruk dalam jangka panjang. Waspada tan kena lena bermakna jangan sampai lengah dan lepas kontrol. Sikap waspada harus selalu dijaga untuk menghindari baha­ya yang bisa menerpa tanpa didu­ga sebelumnya (halaman 79).

Hakikat dari berbagai falsafah Jawa ialah menunjukkan sikap men­dhek atau merendah. Maksud­nya, manusia diminta menyimpan dalam-dalam di benaknya terkait keunggulan yang dimiliki. Hal ini bertujuan untuk sikap tenggang rasa dan menjaga kehar­monisan dalam pergaulan. Berpijak dari situ, muncul ajaran moral banter ora nglancangi, dhuwur ora ngung­kuli, pinter ora ngguroni, landhep ora natoni.

Banter ialah melaju dengan cepat atau berkaitan dengan kecepatan. Namun demikian, jangan sampai kecepatan tersebut nglancangi liyane (mendahului orang lain). Dhuwur ora ngungkuli bermakna tetap rendah hati dalam segala situasi. Pinter ora ngguroni bermakna pandai, tetapi tidak menggurui. Sementara, landhep ora natoni bermakna berbicara tajam, tetapi tidak sampai menyakiti (hala­man 236–240).

Saat ini, nilai-nilai falsafah Jawa semacam ini semakin meluntur. Pada­hal, untuk menggapai kesuk­sesan sejati, setiap manusia harus memiliki jati diri sebagaimana yang ada pada falsafah Jawa ini. Untuk itu, kebera­daan buku ini sangatlah bermanfaat bagi pembaca dalam rangka mempe­lajari falsafah Jawa.

Setelah mempelajari dan mema­hami dengan seksama, pembaca akan dapat menjadikan materi-materi yang ada di dalamnya sehingga dapat dija­dikan panduan hidup. Dengan begitu, seseorang akan mendapatkan pence­ra­han hidup. Kehidupannya akan benar-benar bermakna, bukan saja bermakna untuk kehidupan belaka, namun hingga akhir kelak. Dengan eling lan waspada, seseorang akan selalu bertindak penuh dengan pertim­bangan.

Peresensi: Anton Prasetyo, Alumnus UIN Yogyakarta.

()

Baca Juga

Rekomendasi