Oleh: Hodland JT Hutapea
MEDIA ONLINE Kompasiana bulan Juli lalu tiba-tiba “heboh” lagi dengan headline “Cerpen Fandrik Ahmad. Dimuat Ganda di Nova dan Kompas” yang diulas oleh Kartika Pelita (26 Juli 2015). Direspon oleh Udo Z Karzi dengan tulisan bertajuk “Tentang Tulisan Ganda atau Bahkan Dimuat Berkali-kali”.
Lewat artikel singkatnya, Kartika Pelita mengungkap kalau cerpen Lelaki Ketujuh yang dimuat Kompas hari Minggu 26 Juli 2015 karya Fandrik Ahmad, ternyata sudah pernah dimuat di tabloid Nova edisi Lebaran 6 Juli 2015. Menurut Kartika Pelita, penulis yang sama juga pernah melakukan hal yang serupa untuk cerpen Shalat. Sudah pernah dimuat di Nova, Republika dan Sumut Pos.
Lagi-lagi karya Fandrik Ahmad untuk cerpen Segara, dimuat di Nova. Kemudian tayang lagi di Minggu Pagi (Kedaulatan Rakyat Grup). Tidak sampai di situ, cerpen Surat dari Jules Costrad dimuat di Horison, pun kemudian dimuat di Padang Ekspres.
Fandrik Ahmad juga menorehkan “prestasi” serupa di tahun 2014 untuk cerpen Solilukui Kemboja. Dimuat di Nova dan Republika pada saat bersamaan (30 November 2014). Padahal seminggu sebelumnya sudah dimuat di Kedaulatan Rakyat (23 November 2014).
Pada awal tahun 2015, cerpen Solilukui Kemboja juga dimuat di Tribun Jabar. Jadilah, cerpen Solilukui Kemboja karya Fandrik Ahmad ini memecahkan rekor: satu cerpen dimuat 4 media cetak berbeda!
Udo Z Karzi lewat Tentang Tulisan Ganda atau Bahkan Berkali-kali Dimuat mengungkapkan, tulisan ganda juga berlaku untuk esai. Diungkap penulis ini, Khairul Mufid Jr lewat artikel esai Kita adalah Kritikus Sastra dimuat di Republika edisi Minggu 20 Juli 2014. Padahal sebelumnya sudah dimuat secara bersamaan di dua media cetak Lampung Post dan Suara Merdeka pada Minggu 22 Juni 2014.
Kok bisa ya? Tentu pertanyaan ini menghiasi pikiran kita. Jika kita membaca apa yang terungkap di atas, apakah ada yang salah dengan media cetak kita?
Misalnya, untuk kasus tulisan ganda Fandrik Ahmad saja, yang sudah berulang kali terjadi di tabloid Nova. Kita pasti berpikir, apakah Kompas Grup yang menaungi Nova, Kompas dan Tribun Jabar, mempunyai kebijakan yang tidak mempermasalahkan adanya tulisan ganda ini? Sementara kita tahu, rata-rata media cetak kita menabukan hal sedemikian ini terjadi.
Kasus penulis Fandrik Ahmad dan Nova mungkin bisa dikesampingkan. Tentu kita akan berpikir, apakah hal ini memang atas seizin redaktur Nova karena sudah berkali-kali terjadi dan si penulis tidak mendapatkan sanki apa-apa? Atau apakah sampai detik ini Nova tidak mengetahui telah dicurangi salah satu penulisnya? Apakah mungkin Nova tidak tahu atau tidak ada pembaca yang memberitahu? Rasanya hal ini tidak mungkin terjadi. Jika memang demikian, saya hanya bisa mengambil kesimpulan sementara: ya, Nova tahu dan mengizinkan hal seperti ini terjadi.
Di wilayah Sumatra Utara, hal serupa ini pun pernah saya temui sendiri terjadi di surat kabar Analisa. Hanya bedanya, di harian ini yang saya temukan beberapa puisi yang sudah terbit di rubrik Rebana edisi Minggu, yang beberapa bulan kemudian dimuat lagi di rubrik Cerpen & Puisi edisi Rabu.
Alasan
Sebenarnya banyak faktor menyebabkan, mengapa sebuah cerpen, esai atau tulisan lainnya bisa dimuat ganda. Salah satu penyebabnya, faktor ketidaktahuan redaktur jika tulisan tersebut pernah atau sudah dimuat media lain. Faktor lainnya, dari sudut penulisnya sendiri yang tidak sabar menunggu tulisannya dimuat. Penulisnya mengirimkannya ke media berbeda dalam waktu yang tidak terlalu lama. Atau memang penulisnya menginginkan hal itu, tentu dengan alasan jumlah honorarium yang diterimanya pun akan bertambah banyak.
Profesi penulis adalah profesi yang unik. Kadang kita seolah harus berperan sebagai cenayang. Setelah mengirim, kita menunggu dan menebak-nebak apakah dimuat atau tidak. Selain etika, kesabaran dan ketabahan adalah modal utama bagi seorang penulis. Penulis yang baik biasanya memiliki ketiga hal ini sebagai sebuah prinsip.
Cerpen, esai, artikel, opini dan tulisan lain yang bagus, menarik, mumpuni adalah tulisan yang memesona redaktur media (koran, majalah, tabloid) untuk memuatnya. Tentu saja bagi beberapa penulis idealis hal yang lebih dibutuhkan adalah etika yang memesona.
Bagaimana jika memang hal ini diinginkan si Redaktur? Tentu, itu adalah hak mereka, karena tiap Redaktur memiliki aturan sendiri-sendiri. Meski pada umumnya, rata-rata redaksi memang menginginkan tulisan orisinal dan belum pernah dipublikasikan atau tidak sedang dikirim ke media lain.
Bolehkah?
Banyak sudah kasus tulisan ganda di media cetak kita. Bolehkah? Tentu ini akan menjadi perdebatan panjang bila kita bahas. Sebab, yang pasti memang belum ada regulasi atau aturan yang mensyaratkan jika sebuah tulisan (umum, sastra dan lain-lain) tidak boleh dimuat di media secara ulang. Padahal hampir setiap media mencantumkan tata cara pengiriman naskah. Salah satunya tulisan yang dikirim belum pernah dimuat atau dipublikasikan.
Ya, inilah aturan yang selama ini saya ketahui dan saya pahami. Menurut saya, aturan untuk media cetak seperti ini, okelah. Bagaimana jika dilihat dari sisi “keuntungan” media cetak yang memiliki jaringan media cetak lain (network)?
Bukankah dalam persyaratan media berbasis network sering mensyaratkan, tulisan yang diterbitkan di media A, bisa diterbitkan juga di media B, C dan lain-lain yang masih dalam jaringannya. Ini masih sama-sama dari media yang memiliki beberapa koran atau majalah. Belum lagi, bila media tersebut juga memiliki media online.
Untuk sekadar contoh, saya pilihkan Jawa Pos Grup yang memiliki beberapa koran di Jawa, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan beberapa daerah lain. Sering saya temukan satu tulisan Opini dimuat di koran berbeda yang masih dalam jaringan Jawa Pos Grup. Selain dimuat beberapa kali di koran berbeda, juga dimuat di media online-nya. Apakah si penulis opini tersebut mendapatkan honor yang berganda? Tidak.
Jika demikian, mengapa ada aturan dari media ini untuk hanya menerima tulisan yang belum pernah diterbitkan sebelumnya? Sementara mereka dengan bebasnya, memuat ulang tulisan yang sama di beberapa media. Tentu saja masih dalam jaringannya, tanpa membayar honorarium penulisnya lagi? Bolehkah?
Dalam tulisan ini, saya hanya ingin berwacana, jika penulisnya menginginkan keadilan atas karya tulisnya, bolehkah si penulis mengirimkan satu tulisan sama ke beberapa media? Maka jawaban saya: demi keadilan, Boleh. Mengapa?
Jika media bisa melakukan “apa saja” untuk satu tulisan dari penulisnya, mengapa penulisnya tidak bisa melakukan hal yang sama? Dalam hal ini tentu kita harus membedakan dengan penerbitan buku dan semacamnya.
Sebuah koran (network) tentu akan mendapat “untung” dengan dimuatnya satu tulisan yang sama di beberapa koran jaringannya. Dalam hal ini, mereka tak perlu membayar honor penulis lain lagi.
Adilkah bagi penulisnya? Tidak. Jika penulisnya dilarang menyebar tulisannya, kenapa redaktur boleh menyebar tulisan tersebut ke beberapa koran (meski masih satu jaringan)? Sekali lagi, ini hanya wacana. Agaknya pihak yang berwenang semacam PWI atau Dewan Bahasa dan Dewan Pers, segera membicarakan hal ini. Bila perlu merumuskan sebuah regulasi yang tepat, sehingga asas keadilan bisa sama bagi media dan penulisnya.
Agar ada keputusan yang tetap dan mengikat, boleh tidaknya satu karya tulis yang sama dimuat di beberapa media cetak kita. Sebuah karya tulis adalah buah pikiran dan imajinasi dari penulisnya. Sudahkah kita memberi penghargaan yang lebih dari sekadar layak bagi sebuah karya dan penulisnya itu?