Oleh: Maulana Syamsuri
TEMPO doeloe bioskop atau cinema disebut gambar idoep. Gambar yang bisa bergerak dan bisu. Tempo doeloe bioskop juga disebut layar putih. Gambar idoep pertama kali dipertontonkan kepada masyarakat pada tanggal 28 Desember 1895 di Paris, Prancis dan masih merupakan film bisu.
Penampilan film bisu itu berlangsung di Grand Cafe Boulevard de Capucines. Warga Prancis pun tercengang dan terkagum-kagum. Penampilan film bisu itu menjadi tonggak sejarah kebangkitan film di dunia. Di Amerika bermunculan produser film, juga di Italia, Perancis, Jepang dan juga China.
Di Indonesia gambar idoep mulai diperkenalkan kepada masyarakat pada 5 Desember 1900 di Batavia. Merupakan film dokumenter, menampilkan perjalanan Ratu Olanda dan Raja Hertog Hendrik di Den Haag Balanda.
Tahun 1926 Indonesia sudah mampu memproduksi film, meskipun masih merupakaan film bisu. Pada tahun 1931 barulah Indonesia, mampu membuat film besuara.
Pada tahun itu Tans Film Company bekerja sama dengan Kruegers Film Bedrif. Mereka menelorkan film berjudul Atma de Vischer. Menyusul NV Jaya Film Company memproduksi film berjudul Loetoeng Kasaroeng.
Menurut majalah film Filmrueve pada tahun 1936, di Indonesia sudah terdapat 227 gedung bioskop yang selalu dipadati penonton. Tahun 1941 produser film Indonesia mulai panen dengan memproduksi 41 buah film. Artis film yang sangat populer pada masa itu adalah Roekiah, Rd. Mochtar, Fifi Young dan Titien Sumarni.
Masa Jaya Gedung Bioskop
Keberadaan gedung bioskop di Medan mulai tumbuh pada era 1970-an. Menjamur 1980 berjumlah tidak kurang dari 58 gedung bioskop. 15 di antaranya sudah ada sejak zaman penjajah Belanda, yang pada waktu itu bernama Rex, Rio, Cathay dan Deli. Keberadaan gedung-gedung bioskop pada masa jayanya mampu menyumbang sepertiga total anggaran Pemko Medan. Sungguh jumlah yang sangat besar.
Keberadaan gedung-gednng bioskop itu sangat erat kaitannya dengan perusahaan perfilman di Medan. Pada tahun 1953, di Medan sudah berdiri perusahaan film Radial Film, disusul Pesfin Moviction Prod Ltd (1954), Muara Film Coy (1955), Rentjong Film Corp (1957).
Tahun 1975-1977 harga tiket masuk bioskop dinaikkan dan uang kenaikan tiket diperuntukkan membangun studio film yang terletak di Sunggal. Direncanakan prosesing film produksi Medan tidak perlu lagi ke Hong Kong atau Jepang, namun bisa dilakukan di studio Sungggal.
Dari kenaikan harga tiket masuk itulah masyarakat mampu membeli 5 hektar tanah di kawasan Sunggal dengan harga Rp. 66. ooo.ooo.- Uang pembelian tanah untuk studio Film di Sungal bukan dari APBD. Murni dari penonton alias dari masyarakat dalam bentuk pajak tiket masuk bioskop. Studio film Sunggal, direncanakan dibangun karena perfilman di Sumatera Utara sangat maju dan berkembang pesat.
Sayang, nasib studio film di Sunggal jadi mengambang dan tidak jelas apalagi pasca perfilman Indonesia mengalami masa suram.
Di Medan pada era 1980-1990 terdapat 58 Gedung Bioskop yang sempat mengalami masa jaya dan setiap jam pertunjukan diserbu penonton yang membludak, Gedung Bioskop yang sempat mengalmai masa jaya adalah Empire, Perisai, Plaza, President, Thamrin, Aksara, Golden, Juwita, Kesuma, Majestic, Nasional, Orion dan Olympia. Juga Benteng, Deli, Horas, Istana, Mitra dan Ria. Ditambah Brayan, Cathay, Glugur, Kartini, King, Medan Fair, Pelita dan Riang.
Film Impor Sangat Laris
Film-film impor, terutama dari Hollywood, produksi Pramount, Universal, 21 Century Fox, MGM, Columbia dan lain-lain. Penonton akan selalu ingat fim-film yang paling laris, seperti The Ten Commandaments atau 10 Perintah Tuhan, War and Peace, The Dairy of Anne Frank, sebuah film tentang kekejaman Hitler. Juga film berjudul Viking, sebuah film tentang petualangan serta Journey under the World atau petualangan di bawah tanah.
Ketika Jepang menjajah Indonesia di tahan 1942, produksi film Indonesia mulai menghadapi masa redup. Hanya 3 Film yang dihasilkan. Hal ini disebabkan Jepang melarang aktivitas pembuatan film. Jepang mendirikan Pusat Kebudayaan atau Keimin Bunka Sidhoso yang mengurusi bagian film. Selama penjajahan Jepang inilah, fim dijadikan alat propaganda politik kekuasan Jepang. Film yang diputar merupakan film dokemnter Jepang yang menonjolkan kemenangan Jepang. Film non Jepang sama sekali dilarang.
Setelah Indonesia merdeka Film Indonesia mulai bangkit. Tahun 1950 Usmar Ismail mendirikan Perusahaan Fim Nasional Indonesia atau Perfini. Film pertama yang diproduksi adalah “Darah dan Doa”. Djamaludin Malik juga mendirikan Persari Film.
Tahun 1955 diadakan Festival Film Indoneiaa I. Film Lewat Jam Malam karya Usmar Ismil, tampil sebagai film terbaik . Film ini juga terpilih sebagai film terbaik pada Festival Film Asia II di Singapura.
Sejak saat itu film Indonesia tumbuh subur. Tahun 1970 diproduksi 20 judul film layar lebar. Muncullah film-film berjudul Doea Tanda Mata, Matahari-matahari, Tjoet Nyak Dien dan banyak lagi. Doea Tanda Mata berhasil mengusung Marisa Haque sebagai aktris terbaik Festval Film Asia Pasifik (FFAP) 1987. George Kamrullah sebagai penata fotografi terbaik. Sebelumnya tahun 1983 FFI berlangsung di Medan dan film terbaik diraih film Di balik Kelambu. Slamet Raharjo sebagai aktor terbaik, Christine Hakim sebagai pemeran wanita terbaik serta Teguh Karya sutradara terbaik.
Selama priode 1970-1980 Indonesia mampu menghasilkan 604 judul film. Pada Festival Film Indoneiaa II di tahun 1974, film Badai Pasti Berlalu tercatat sebagai film terlaris dengan menyedot lebih dari 300 ribu penonton.
Gambar Idoep yang Redoep
Pertengahan tahun 1990-an Gambar Ideop atau film Indonesia, mulai diterpa badai krisis disebabkan maraknya sinetron dilayar teve swasta. Praktis aktor dan aktris serta pekerja film beralih ke sinetron. Industri gambar idoep dilanda sepi. Masyarakatpun disuguhi teknologi Laser Disc, VCD dan DVD. Produksi film layar lebar dari hari ke hari tergerus. Akibatnya bioskop-bioskop di kota-kota besar, akhirnya gulung tikar alias tamat rwayatnya. Juga gedung bioskop yang ada di Medan,. Padahal bioskop adalah bagian dari sejarah sebuah kota besar.
Gedung-gedung bioskop yang sejak tahun 1950-hingga 1990-an sempat mengalami masa jaya, sayang akhirnya dirubuhkan dan beralih fungsi. Gedung-gedung bioskop yang pernah mengalami masa jaya dan menghasilkan pajak tontonan dalam jumlah besar, beralih fungsi menjadi pertokoan/supermarket. Ada yang menjadi vihara, ada pula jadi SBPU dan kampus perguruan tinggi. Gedung bioskop yang jadi lapangan footsal juga ada. Gedung bioskop yang menjadi panglong serta stasiun bis AKDP juga ada. Berubah fungsi jadi dealer mobil juga ada. Kehancuran bioskop itu disebabkan kemunduran film nasional serta disebabkan kemunculan stasiun-stasiun tv swasta yang saat ini berjumlah 14 buah.
Bachtiar Siagian Tokoh Film Sumut
Berbicara tentang film nasional, kenangan kita tidak dapat lepas dari sosok Bachtiar Siagian (BS). Lahir tahun 1923 dan meninggal 2002. sebagai tokoh film paling terkemuka di Sumatera Utara. Tahun 1955 BS menyutradarai 2 film. Kabut Desember dan Tjorak Dunia. Film ini sempat diekspor ke Tiongkok, Korea, Vietnam, Jerman dan Uni Soviet.
Tahun 1956 BS membuat film berjudul Melati Senja dan Daerah Hilang. Tahun 1957 membuat Film Turang realease film ini juga dibeli oleh Uni Soviet, RRC, Vietnam dan Korea. Tahun 1959, BS membuat film “Iseng” dan Sekejap Mata. Tahun 1960 BS membuat film Darah Tigggi dan Piso Surit. BS juga membuat film Badja Membara, Kamar 13, Memburu Menantu dan Notaris Sulami.
Berturut-turut 1962 hingga l981 menyutradarai untuk film-film berjudul Violeta, Kami Bangun Hari Esok, Nyanyian di Lereng Dieng dan Mendulang Intan.
Film Turang, syuting dilakukan di Kabupaten Karo dan Delitua. Pemutaran perdana film ini dilakukan di Istana Merdeka Jakarta disaksikan oleh Presiden Soekarno. Film ini meraih anugerah sebagai film terbaik pada Fesitval Film Indonesia tahun 1980. BS dinobatkan sebagai sutradara terbaik.
Di samping menyutradarai belasan film cerita, BS selama kurun waktu 1955-1981 juga membuat film dokumenter 16 MM sebanyak 33 buah. Selain sebagai sutradara film BS juga menulis karya-karya drama.
Itulah sekelumit sejarah kelahiran film di dunia dan di negeri kita. Ditandai dengan bioskop-bioskop yang sempat mengalami masa jaya, namun akhirnya ambruk dan mati. Gambar Idoep sudah redoep. Hanya satu dua film yang muncul namun tidak bisa ditonton di gedung bioskop seperti dulu lagi. Ribuan orang merindukan gedung bioskop sebagai sarana hiburan rakyat di kota metropolitan seperti Medan.
Dengan ditutupnya gedung-gedung bioskop yang ada di Medan, Pemko Medan kehilangan jutaan rupiah dari pajak tontonan.
Penulis; novelis/sastrawan penggemar film