Puisi dan Identitas Penyair

Oleh: Sartika Sari

PUISI, bagian dari karya cipta manusia, merupakan salah satu produk kebudayaan. Perbedaan ke­munculan puisi pada tiap fase, berkaitan dengan adanya perbe­da­an kebiasaan yang membudaya pada masa itu.

Penyair, sama se­perti masya­ra­kat pada umumnya. Bagian dari sasaran perkembangan zaman yang menerima banyak perubahan dan pergeseran pemikiran. Secara implisit, hal ini sudah dibuktikan dengan pengadaan periodesasi sastra Indonesia. Ditulis oleh HB. Jassin (1953), Boejoeng Salaeh (1956), Nugroho Notosusasnto (1963), Bakri Siregar (1964) dan Ajip Rosidi (1969).

Penempatan pengarang dan ka­rya sastranya pada fase-fase yang berbeda tersebut, salah satunya ka­rena ditinjau dari perbedaan ke­cenderungan karakteristik karya. Kini, laju produktivitas karya sastra semakin kencang dan beragam. Se­mua fenomena itu masih disa­tukan dalam wadah istilah “kon­temporer”.

Keberadaan karya sastra me­mang tak bisa dipisahkan dari ling­kungan sosial dan kebudayaan yang melingkupinya. Hal ini dise­babkan sastrawan sebagai pencip­ta karya, merupakan bagian dari masyarakat budaya yang menjadi pemilik/pelaku norma-norma. Konsep berpikir dan ideologinya yang hidup dan berkembang di lingkungan sosial.

Dengan demikian, kelahiran ka­rya sastra dapat dikatakan seba­gai bentuk impresi atau respon ter­hadap kondisi sosial. Tidak ter­kecuali dalam visi kontemporer, karya seni tanpa tujuan, seni untuk seni, l’art pour l’art.

Fenomena yang sama jika di­ungkap adalah indikator muncul­nya berbagai aliran dalam sastra. Misalnya yang dilakukan para pe­mikir Jerman dalam aliran positi­visme, idealisme objektif dan idea­lisme dualistik atau idealisme kebebasan.

Pada abad ke - 19 yang bergerak dalam proses evolusi dari idealis­me objektif dan romantik melewati realisme. Semakin lama cende­rung pada impresionisme dan eks­presionisme sebagai bentuk res­pon terhadap kondisi masyarakat modern yang mengalami distorsi nilai.

Di Indonesia, fenomena seru­pa, yakni ekspresionisme, muncul pada karya-karya Chairil Anwar. Sejarah sastra menempatkan pe­nyair yang lahir di Sumatera Utara, sebagai ikon angkatan baru dalam kesusastraan Indonesia. Dengan bahasa yang lebih rasional dan efek­tif serta  kebaruan tema yang menjadi sangat individualis.

Kemunculan Chairil melam­paui ka­rya-karya penulis yang ada se­belumnya. Karakteristik puisi-puisi Chairil sangat modern. Tak keliru kalau Chairil disebut-sebut sebagai manusia modern pada ma­sa itu. Hubungan sebab akibat antara penyair dengan lingkungan­nya menjadi fenomena yang me­narik untuk diamati. Di samping keberagaman tema dan bentuk yang ada, puisi sebagai salah satu karya sastra yang sangat lekat de­ngan individunya. Dengan demiki­an dapat menjadi medium penun­juk identitas penyairnya. Tidak me­nutup kemungkinan pula, jika kemudian puisi dapat dijadikan alat (pertimbangan) yang mem­ban­tu pengamatan fenomena so­sial.

Seperti yang terjadi pada Chai­ril. Pengamatan pada puisi-puisi penyair Indonesia saat ini, juga dapat berujung pada pemetaan te­matik dan penggalian ‘identitas’ penyairnya. Akses media yang se­makin mudah untuk mempubli­ka­sikan puisi menjadi katalis da­lam aktivitas ini.

Setiap minggu, sejumlah rubrik surat kabar menayangkan puisi. Me­dia sosial pun menjadi media yang ramai ditempati puisi. Di sam­ping itu, percetakan dalam bentuk kumpulan puisi juga semakin mem­bludak. Puisi terpampang di­mana-mana.

Membaca puisi-puisi tersebut, kita akan menemukan banyak ung­kapan-ungkapan perasaan. Sangat intim, individualis namun cenderung merujuk pada satu tema yang sama. Misalnya percintaan, kemarahan, kebahagiaan, perpi­sahan, menjadi tema-tema umum.

Di antara tema-tema tersebut, ada satu tema yang menurut penu­lis menggejala pada banyak pe­nyair. Adalah sepisunyi. Fe­nomena kecenderungan pengung­kapan tema yang demikian misal­nya muncul pada puisi-puisi Acep Zamzam Noor, Ahda Imran, Soni Farid Maulana, Nisa Rengganis dan masih banyak penyair lain. Kali ini, penulis merujuk pada puisi-puisi Acep Zamzam Noor (AZN) yang cenderung lebih kuat mengu­sung sepi.

AZN, penyair Indonesia yang dalam beberapa tahun belakangan menjadi sorotan. Memang dikenal sebagai lumbung puisi-puisi reli­gius. Uniknya, kereligiusannya itu diungkapan dengan cara yang san­tai, sederhana, nyentrik dan me­ngalir seperti air.

Menikmati puisi AZN sangat jauh dari kesan ‘diceramahi’. Jus­tru akan membawa kita seperti se­dang menikmati arus sungai yang tenang. Dari puisi AZN, hal yang mencolok adalah keterampil­annya yang tidak hanya secara ter­sirat membangun suasana sepi. Secara gamblang juga menyebut­kan sepi, sunyi sebagai muara tuju atau hulu. Kesepian dan kesunyian seolah-olah senantiasa menye­lu­bungi kelahiran puisi-puisiya. Sunyi dikemas menjadi kemesra­an, ketakutan, kekhawatiran dan kebahagiaan.

Pemilihan bahasa sunyisepi yang kerap dilakukan AZN. Lam­bat laun, menurut saya sebagai pem­baca, berhasil membentuk iden­titasnya sebagai seorang penyair.

Berbeda dengan Rendra yang cenderung berkoar-koar. AZN me­lalui puisi-puisinya muncul de­ngan sangat santai, hening dan te­nang. Sejumlah puisi-puisi yang mengusung tema “sepi” di antara­nya adalah Surat Cinta, In Memoriam Kriapur, Pejalan Buta, Di Ujung Dago, Di Bawah Langit Kramat Raya dan Lirik (2).

Di balik judul-judul puisi yang berbeda tersebut, konflik batin diusung juga sangat berbeda. Pada akhirnya, AZN menyebut segala kondisi, mengait keadaan dan si­tuasi dengan sunyi. Hal yang paling mendasar sekaligus paling tinggi. Penggabungan unsur mak­ro­kosmos dan mikrokosmos yang dilakukan AZN pada akhirnya mem­bangun semacam ritus baru, pengamatan baru dan dugaan-du­gaan baru. Di balik apa pun, sunyi tidak bisa dihilangkan begitu saja. Misalnya yang terjadi para Surat Cinta:

Ini musim gugur, minumlah anggur/Denting gitar/Terdengar dari belahan dunia yang hancur/Sambutlah gerimis, kelembutan akan mengurapi/Tanah-tanahmu yang mati. Langit tinggal lengkung/Kabut bergulung-gulung/Rauplah daun-daun yang jatuh, bunga-bunga yang luruh/Bayi-bayi yang terbunuhMelewati tahun demi tahun melintasi abad dan milenium yang ngungunHiruplah genangan darah busuk/tumpukan tubuh hangus/Kepulan asap mesiu. Pertempuran demi pertempuran akan mendewasakan hidupmu/Arungi luas lautan, terjuni gelap hutan/Selami lubuk bumi. Kelapar­an demi kelaparan/Akan membuat hari-harimu lebih berarti/

Ini musim gugur, cintaku, ini bahasa sunyi/Denting piano/Sayup-sayup dari reruntuhan waktu.

Penanda-penanda yang dimun­culkan penyair dalam puisinya iba­rat pondasi yang membentuk ba­ngunan dengan utuh. Di balik judul yang sangat umum dan stereotip melekat padanya, Surat Cinta, cu­kup sulit rasanya jika hendak di­jauhkan dari kesan romantis atau penuh kesedihan.

Dengan sangat rapi, sederhana, dan padu, AZN membangun sua­sana tersebut dengan corak yang berbeda. Surat cinta yang disam­pai­kan merangkul banyak elemen dari dunia.

Kehancuran, kejahatan, ke­kha­wa­tiran, ketakutan, kemirisan, disatukan sebagai bagian dari pe­ristiwa-peristiwa penting yang ha­rus diketahui oleh “cinta”-nya. Akhirnya berujung pada sunyi. Dia menyebut semua keadaan yang menyakitkan itu adalah bahasa su­nyi.

Dalam banyak puisi-puisi AZN lainnya, sepisunyi diolah bera­gam. Kelihaiannya mengolah, se­cara tidak langsung juga berhasil mencetak pemahaman pembaca ikhwal dirinya. Misalnya cara pandang, pemikiran dan barang­ka­li mencakup karakter. Hal-hal tersebut tentu menjadi sebuah iden­titas dalam persfektif lain. Meski menurut Lyotard, seorang filosof postrukturalisme, kita tidak bisa menafsirkan realitas dari bahasa. Dengan dukungan pengetahuan dan faktor sosial-budaya di sekitar permainan bahasa tersebut, tak me­nutup kemungkinan menuju pada kebenaran. Puisi, oh tentu se­yogianya semakin menjadi ‘tinggi’.

Penulis; mahasiswa

()

Baca Juga

Rekomendasi