Menyeimbangkan Ekonomi dan Ekologi

Oleh: David Siagian

Pembangunan ekonomi dan kelestarian lingkungan seperti dua sisi mata uang. Keduanya berada pada satu keping yang sama, namun bertolak belakang satu sama lain. Di satu sisi upaya-upaya pembangunan digenjot habis-habisan demi pertumbuhan yang tinggi. Di sisi lain kerusakan ekologis akibat eksploitasi alam yang berlebihan kian parah .

Adalah fakta bahwa tanpa investasi mustahil perkonomian sebuah daerah atau negara dapat berkembang. Namun investasi dan eksploitasi juga menjadi penyumbang terbesar terhadap kerusakan lingkungan dan sumber-sumber alam tak terbarukan. Tingginya laju kerusakan lingkungan akibat penebangan hutan (deforestation), penambangan dan penggunaan energi fosil secara berlebihan menjadi ancaman serius terhadap bumi dan keberlangsungan hidup penghuninya.

Kerusakan alam mengakibatkan keanekaragaman hayati berkurang drastis, bahkan sebagian species makhluk hidup terancam punah seiring berkurangnya habitat mereka. Proses perusakan lingkungan pun semakin cepat manakala dikaitkan dengan mengejar pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Ironisnya, paradigma pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu sejalan dengan peningkatan dan pemerataan kesejahteraan masyarakat.

Terbukanya pasar bebas global (global free market) yang seluas-luasnya, sebagai dampak dari globalisasi perekonomian, menjadi bencana bagi penduduk miskin di negara-negara berkembang. Sebab, prinsip pasar bebas yang mengadopsi ideologi ekonomi neo-liberal lebih mengutamakan kepentingan sekelompok kecil pemilik modal daripada kehidupan orang banyak. Akibatnya, terjadi pemusatan kekuatan multi segi -sosial, budaya, ekonomi dan politik- yang menciptakan kesenjangan sosial yang teramat lebar.

Sistem ekonomi kapitalisme dan neo-liberalisme yang diusung globalisasi elah menciptakan masyarakat komsumtif dan boros (wasteful society), sehingga memicu terjadinya penguasaan sumber-sumber kekayaan alam oleh sekelompok kecil manusia. Kesejahteraan hanya milik segelintir. Sementara negara yang diharapkan dapat memeratakan kesejahteraan tidak berdaya menghadapi para pemilik modal besar dan desakan negara-negara industri. Sebaliknya, negara dan pemerintah justru lebih berpihak kepada kaum neo-liberalis dengan dalih meningkatkan pertumbuhan investasi demi pertumbuhan ekonomi nasional. Alhasil, peran negara untuk mensejahterakan rakyatnya tereduksi oleh kuatnya tekanan kapitalisme neoliberal.

Di pihak lain, pemanasan global dan perubahan iklim menjadi ancaman terbesar bagi kehidupan umat manusia. Tiap tahun, ratusan ribu jiwa manusia terancam dampak perubahan iklim, seperti meningkatnya bencana banjir dan kekeringan yang menyebabkan jutaan jiwa terlantar. Di berbagai daerah, kita sering menyaksikan kekeringan parah yang mengakibatkan gagal panen.

Tingginya permintaan global atas produk kertas dan minyak sawit mendorong penghancuran hutan secara masif. Ratusan hingga jutaan hektar hutan musnah atau beralihfungsi untuk memenuhi permintaan pasar. Hutan-hutan tropis yang menjadi sumber kehidupan pun menjadi tumbal. Penghancuran hutan mengakibatkan kerusakan ekologis dan keaneka ragaman hayati. Ia juga merusak tatanan sosial dan kearifan lokal serta menurunkan populasi binatang dilindungi. Konflik hewan liar dengan manusia meningkat disebabkan areal hutan sebagai tempat mencari makanan mereka berkurang.

Green Economy

Dulu, Indonesia dikenal sebagai paru-baru bumi karena memiliki hutan-hutan tropis yang cukup luas. Hutan-hutan Indonesia berperan penting untuk meyerap konsentrasi karbondioksida yang jumlahnya semakin memprihatinkan di atmosfir. Kini, kita dihadapkan dengan masa yang krusial akibat kerusakan lingkungan yang menggiriskan hati disertai dengan penguasaan kekuatan material, ekonomi dan politik oleh segelintir penghuni bumi. “Pembangunan ekonomi” dengan penyerapan investasi sebesar-besarnya tanpa pelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat pun menjadi metode yang terus dipaksakan.

Kerusakan lingkungan bukan saja menjadi tanggungjawab pemerintah. Namun, investor-investor swasta juga bertanggungjawab atas pembantaian habis-habisan sumber-sumber kehidupan tersebut. Sebab, sebuah perusahaan selalu memiliki amdil dalam kerusakan ekologis. Penerapan praktek-praktek investasi yang bertanggungjawab menjadi keniscayaan demi kelestarian lingkungan dan keberlangsungan penduduk bumi. Keserakahan dan tabiat merusak alam sudah seharusnya menjadi masa lalu. Sebab itu, pemerintah perlu segera mendorong penerapan konsep pembangunan ekonomi hijau yang berfokus pada pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (sustainable growth).

Penerapan praktek-praktek bisnis yang bertanggungjawab terhadap lingkungan dan sosial adalah solusi untuk menyelamatkan masa depan planet ini beserta penghuninya. Mengubah konsep investasi dari menguras habis lingkungan menjadi konsep pembangunan ekonomi yang mengutamakan bumi dan masyarakat kini mendesak diterapkan. Konsep ini sering disebut sebagai konsep ekonomi hijau (green economy). Konsep ini menekankan perlunya pembangunan ekonomi, oleh investasi publik maupun swasta, dengan mengutamakan kelestarian ekologis (bumi) dan kesejahteraan masyarakat.

Perubahan iklim adalah isu keadilan. Pertumbuhan investasi idealnya dibarengi pelestarian lingkungan dan peningkatan kesejahteraan. Pembangunan ekonomi seharusnya mampu menjaga keseimbangan antara investasi dan kelestarian ekologis. Namun, konsep pembangunan ekonomi hijau tampaknya belum sampai ke tataran implementasi. Konsep ini berhenti di kalangan elit dan kurang populer di kalangan bawah.

Keprihatinan atas kehancuran lingkungan akibat penerapan pembangunan ekonomi yang tidak bertanggungjawab adalah pendorong utama konsep ekonomi hijau. Menghentikan deforestasi dan pengrusakan alam dengan mengupayakan pengurangan emisi karbon dan polusi, mendorong efisiensi energi dan sumber-sumber daya alam serta mencegah hilangnya aneka ragam habitat alam (biodiversity) dan ekosistem perlu segera dilakukan. Oleh sebab itu, pembangunan ekonomi tidak selalu harus bertentangan dengan kelestarian ekologis. Sebaliknya, keduanya boleh berjalan berbarengan demi kelangsungan hidup umat manusia sekarang dan generasi yang belum lahir.

(Penulis adalah pemerhati masalah lingkungan)

()

Baca Juga

Rekomendasi