Idul Kurban dan Simbol Pengorbanan

Oleh: Mohammad Takdir Ilahi. Peringatan dan perayaan hari-hari besar kea­gamaan ya­­ng­ ber­sejarah, seharusnya tidak sekedar di­aktualisasi­kan melalui aca­ra seremo­nial yang berbentuk ruti­nitas belaka, melainkan lebih dari­­ pada itu beru­paya meng­gali kembali dan mere­kons­truksi hakikat se­jarah ya­ng monumental itu dalam kehidupan kita sehari-hari. Da­­lam Islam, misal­nya, makna dan nilai sejarah ke­agamaan yang meng­andung hikmah dan‘ibrah (pelajaran dan pesan moral bagi um­at manusia) pada gilirannya da­pat dijadikan pedoman dalam me­napaki kehidupan ya­ng penuh tanta­ngan ini.

Sejalan dengan pemikiran di atas, maka peringatan da­n perayaan Idu­l Kurban pun memiliki relevansi signifi­kan dengan sebuah ke­telada­nan dan pesan-pesan moral da­lam sejarah kemanusiaan kita. Pe­ringatan ini tidak ha­nya bermakna sebagai manifestasi dari peng­or­banan bi­asa, melainkan mengandung nilai-nilai kemanusiaan yang da­pat diwujudkan melalui keteguhan iman se­seorang dalam meng­hadapi ujian.

Sebagaimana diketahui bahwa Idul Kurban yang di­laksanakan ol­eh umat Islam pada setiap 10 Dhulhijjah itu, berkaitan langsung de­ngan sejarah kehidupan Nabi Ib­rahim yang diliputi oleh suatu ke­teguhan hati untuk pas­rah dan tawakkal kepada Tuhan. Keteguhan hati dan ke­imanan Ibrahim ini, barangkali menjadi teladan bagi umat Muham­mad untuk berpegang teguh pada perintah Tu­han se­cara langsung. Keteguhan hati dan iman se­orang muslim pula dapat di­katakan berhasil bila telah me­lewati suatu ujian yang sangat berat, bah­kan mengor­ban­kan orang yang kita cintai sekalipun.

Potret keteguhan dan iman ini, barangkali hanya di­miliki oleh Na­bi Ibrahim ketika ia memperolah perin­tah da­ri Tuhan untuk men­yem­­belih putra tercintanya sendiri. Pe­rintah ini bagi Nabi Ibrahim ada­lah suatu pilihan yang di­lematis: antara menu­ruti perasaan hati yan­g sangat men­cintai dan menyayangi Ismail dengan perasaan ha­ti me­naati perintah Tuhan untuk menyembelih putranya ter­sebut. Na­mun, pada akhirnya Nabi Ibrahim dengan bu­lat melakukan pilihan ya­ng kedua dan berhasil me­lewati ujian berat itu.

Pilihan untuk bersikap tawakkal terhadap putranya yang akan di­sembelih, ternyata membuahkan hasil yang lu­ar biasa dalam se­jarah kehidupan Nabi Ibrahim. Ini ka­rena, Ismail sendiri tidak jadi di­sembelih sebagai kur­ban karena Tuhan meng­gantikannya dengan se­­ekor domba yang sangat besar. Buah dari kete­guhan iman yang di­­tunjukkan Nabi Ibrahim tersebut adalah suatu pe­lajaran berharga ba­­gi umat manu­sia untuk bersikap ik­hlas dan tawak­kal menerima ap­­a saja yang menjadi per­intah Tuhan.

Sikap tawakkal Nabi Ibrahim ini menunjukkan suatu ke­teladanan dari seorang Nabi yang memang benar-be­nar diutus oleh Tuhan un­tuk me­nyampaikan risalah-ri­salah­ yang berlandaskan pada ke­masalahan umat. Sikap ini bukan saja karena Nabi Ibrahim, dengan me­ngutip ba­hasanya Olaf Schumman (1993) adalah “Bapak ora­n­g be­riman”, tapi juga karena pesan al-Qur’an yang men­yata­kan “Se­sungguh­nya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim” (Q­S, al- Mumta­hanah, 60: 4). Ayat ini menjadi landasan untuk me­neladani sikap dan perilaku Nabi Ibrahim yang sangat arif dalam me­nerima setiap perintah yang datang langsung dari Tuhan.

Simbol Pengorbanan Suci

James W. Heisig mengatakan bahwa setiap perasaan, cita-cita, d­an institusi yang disatukan bersama fenomena ag­ama akan men­jadi mulia bila disinergikan dalam suatu at­mosfir simbol-simbol. Me­lalui sim­bol-simbol, kita akan memperoleh akses terhadap ke­hidupan religius ma­sa lalu yang memiliki sejarah monumental bagi pe­ra­daban manusia itu sendiri. Dalam wacana keaga­maan, sim­bol se­ringkali direlevan­sikan dengan aspek esoteris yang bersifat ruhani­yah dan transendental. Namun bukan be­rarti, simbol tidak mem­punyai daya imperatif bagi ke­hidupan umat beragama. Maka hik­mah yang dapat di­petik dari adanya simbol adalah agar agama tidak men­jadi kering atau hampa sebagai sumber inspirasi bagi si­kap kebera­gaman kita.

Saya memahami bahwa simbol agama juga terdapat da­lam pe­rayaan Idul Kurban sebagai hari raya ke­agamaan bagi umat Islam. Da­­lam perayaan Idul Kur­ban, kita tidak hanya merayakan dalam be­ntuk sere­monial, tapi yang lebih penting adalah refleksi kritis ter­hadap pem­bebasan umat manusia dari angkara murka dan ke­sombon­gan yang se­ring­kali tampak dalam ke­hidupan kita sehari-ha­ri.

Idul Kurban tidak sekadar menjadi simbol pengor­banan fisik den­gan menyembelih hewan, melainkan se­bagai simbol peng­orbanan suci untuk meneguhkan ke­imanan autentik yang lebih holis­tik. Simbol Idul Kurban juga tidak bisa dipisahkan dari fungsi pe­wahyuan yang men­cerminkan pesan-pesan kenabian dari Tuhan.

Tidak heran bila Ibrahim Moesa menga­takan bahwa pra­ktek ri­tual atau simbolik Kurban tidak sekadar mengan­dung unsur-unsur teo­logis yang berupaya mem­berikan pelajaran berharga bagi umat ma­nusia untuk ber­sikap tawakkal dan teguh pendirian dalam meng­hadapi pilihan dilematis dari Tuhan. Secara lebih tepat, Kurban ju­ga berkonotasi dengan sosio-ekonomi dan politik yang me­negas­kan bahwa simbol yang terdapat dalam ritual Kur­ban adalah sebagai anti-de­hum­a­nisme.

Sebagai bagian dari sejarah kemanusiaan dan ke­agamaan, Idul Kur­ban merupakan simbol pengorbanan se­orang manusia suci yang me­relakan putra tercinta un­tuk diper­sembahkan kepada sang pen­cipta. Simbol itu men­cerminkan keikhlasan secara holistik dari Nabi Ib­ra­him untuk mematuhi perintah Tuhan sehingga ritual Kur­ban pu­n menjadi simbol bagi ummat Islam guna mem­peroleh ke­berkatan dan keselamatan di dunia dan akhirat.

Momentum Idul Kurban dapat menjadi pelajaran ber­harga bagi uma­t Islam untuk memetik hikmah dan pesan mo­ral yang terdapat da­lam ritual pengorbanan suci se­bagaimana yang pernah dilakukan Na­bi Ibrahim. Melalui pesan-pesan tersebut, manusia diberikan ke­sadaran agar ber­prilaku seperti Nabi Ibrahim yang lebih mencintai Tu­han daripada putranya sendiri. Dengan kata lain, ke­imanan se­orang Nabi kepada Tuhan ternyata tidak bisa di­tukar dengan ke­cintaan kita kepada anak atau istri kita sekalipun.

Mala, pesan moral dalam Idul Kurban bisa kita lacak me­lalui sp­irit dan substansi pengor­ba­nan itu sendiri. Di­gantinya Ismail de­nga­n see­kor domba besar mencermin­kan bahwa Tuhan sangat meng­hargai dan meng­hormati ma­nusia yang diberikan wewenang un­tuk mengatur ke­hidupan di bumi. Peng­hormatan terhadap manusia itu­, mem­berikan bukti bahwa Tuhan mengajarkan kita untuk te­rus me­mupuk rasa persaudaraan dan solidaritas antar sesama. ***

Penulis adalah Dosen Fakultas Ushuluddin, Institut Ilmu Keislaman Annuqayah (INSTIKA) Guluk-Guluk Sumenep.

()

Baca Juga

Rekomendasi