(Roma 15:1-7)

Empat Pilar Membangun Kerukunan

Oleh: Dr. Parluhutan Manalu, MTh., MM

Pada zaman rasul Paulus, Roma adalah pusat pemerintahan, ekonomi dan budaya. Banyak orang datang ke sini untuk mencari hidup yang lebih baik. Ketika pesta Pentakosta selesai, orang-orang Yahudi yang mendengar khotbah Petrus pulang ke Roma dan membangun komunitas Kristen di sana yang terdiri dari orang-orang Yahudi dan orang-orang Yunani. Paulus belum pernah ke Roma namun ia ingin untuk datang ke kota itu.

Sebagai bukti keinginannnya ia menulis surat ini. Pasal 1-1 berisikan theologia yang intinya “semua manusia sudah berdosa, dan memerlukan Juruselamat”. Pasal 12-16 adalah penerapan-penerapan praktis sebagai orang Kristen, yang intinya: “jangan serupa dengan dunia ini”. 

Yang akan kita bahas, bukan theologia Paulus dalam kitab Roma, tetapi penerapan praktis yang diajarkannya. Apakah itu? Untuk konteks di Indonesia sekarang ini adalah membangun kerukunan. Apakah arti kerukunan? Kerukunan artinya: adanya usaha persaudaraan dan kebersamaan antar semua orang walaupun mereka berbeda secara suku, agama, ras dan golongan. 

Bagaimana Membangun Empat Pilar Kerukunan?

Untuk membangun “rumah kerukunan” di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini diperlukan empat pilar yang akan menyangganya sehingga rumah itu bisa berdiri kokoh untuk jangka waktu yang cukup lama. Jikalau rumah kerukunan ini tidak dibangun dengan empat pilar berikut ini, cepat atau lambat maka rumah itu tidak akan tahan berdiri lama. Sebagai landasan untuk berpijak, maka saya berangkat dari tulisan Rasul Paulus Kepada Jema’at di Roma (15:1-7). Berikut ini adalah ke-empat pilar tersebut, antara lain:

1. Menanggung Orang Yang Lemah (ay. 1)

“Kita yang kuat – menanggung yang lemah”. Latar belakangnya! Pada masa itu ada banyak orang-orang Yahudi menjadi orang Kristen. Padahal soal makanan bagi orang Yahudi banyak sekali pantangannnya. Orang Yunani yang sering disebut orang kafir saat itu, tidak ada pantangannya. Ketika kedua suku dan kelompok ini bertemu dalam satu iman, sering jatuh kepada penghakiman seorang dengan yang lain. 

Orang Yahudi menghakimi orang Yunani yang makan ini, orang Yunani menghakimi orang Yahudi yang tak boleh makan itu. Mereka terjebak dalam hal-hal yang tidak terlalu penting. Kata “kita yang kuat” adalah menunjuk kepada mereka yang memiliki spiritualitas yang matang, yang berdiri di atas suku dan golongan, Yahudi dan Yunani. Kata “mereka yang lemah” menunjuk kepada orang Kristen yang masih baru bertobat yang berasal dari orang Yahudi atau Yunani, yang masih terikat dengan pola pikir mereka yang sempit. 

Mereka “yang kuat” ini diajak Paulus untuk “menanggung” yang lemah”. Kata “menanggung” dalam bahasa aslinya “bastazo” artinya: “menggotong”. Contoh: seorang yang jatuh dari sepeda motor digotong ke atas beca. Beban ada pada orang yang menggotong, bukan kepada yang digotong itu. Dalam konteks berbangsa dan bernegara, siapa yang kuat? Legislatif? Eksekutif, Judikatif? Selama “orang kuat” tidak menggotong “yang lemah”, maka pilar kerukunan sulit dibangun. Masyarakat akan tetap apatis melihat mereka. 

Dalam gereja “siapa yang kuat?” Adalah para pemimpin dan tokoh-tokoh gereja. Selama tokoh-tokoh itu dekat dengan umat yang lemah, yang tertindas – maka akan banyak orang yang mengikutinya. Ada peribahasa Jawa yang sangat saya sukai yang mengatakan: “Memayu Hayuning Bawana, Ambrasta Dur Hangkara” yang kalau diterjemahkan secara bebas artinya: Mengusahakan keselamatan, kebahagiaan dan kesejahteraan dunia dan membasmi sifat kesombongan, serakah dan tamak”. Jikalau semua unsur “pimpinan” di NKRI ini memiliki konsep Menanggung Orang Yang Lemah, memikirkan rakyat jelata, maka bangsa ini akan cepat bangkit dan berdiri kokoh sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

2. Mencari Kesenangan Sesama (ay. 2)

Orang Yahudi senang menjalankan adat istiadatnya. Bahkan seringkali mereka berfikir bahwa manusia di dunia ini hanyalah orang Yahudi, di luar itu hanya menumpang atau mengontrak. Jikalau Paskah sudah tiba, mereka secara massive pulang ke Yerusalem. Tidak boleh makan ini dan makan itu, untuk menunjukkan kepada dunia bahwa mereka bangsa yang kudus, bangsa yang saleh, bangsa yang beragama. 

Orang Yunani menghalalkan semua makanan. Semua yang terbang bisa dimakan kecuali pesawat Hercules, semua yang merayap bisa dimakan kecuali, tank baja. Tidak ada pantangan. Paulus mengatakan jangan mengusik ketenangan orang lain, apalagi menghambatnya. Cari, pikirkan apa yang menjadi keinginannya. Kesenangan orang Kristen adalah bebas mendirikan rumah ibadah, sedikit atau banyak penganutnya. Ada surat dari rekomendasi dari FKUB atau tidak. 

Keinginan masyarakat: gampang mencari kerja, beras tidak naik, mengurus KTP cepat, kalau ada penerimaan anggota TNI/Polri tidak ada pelicinnya. Jalan di aspal, diperbaiki termasuk di Medan, bukan hanya di Jawa saja yang bagus jalannya. Jikalau “orang kuat” atau penguasa memperhatikan ini, maka kerukunan akan terjadi.

3. Meneladani Kristus (ay. 3-5)

Yesus adalah orang Yahudi, tetapi Ia tidak melayani hanya orang Yahudi. Ketika perempuan Kanaan meminta pertolongan-Nya, Ia segera membantunya (Mat. 15:21-28). Ketika orang sakit berbondong-bondong datang kepada-Nya (Mat. 15:30) disembuhkannya (Mereka itu pasti ada orang Yahudi, orang Palestina, orang Arab). Ketika Yesus memberikan 5.000 orang makan dengan lima roti dan dua ikan, Ia bagikan kepada semua orang (orang Yahudi, orang Palestina, orang Arab). 

Pelayanan Yesus bagi semua orang (holistic). “Orang kuat” harus meneladani ini. Pelayananan yang menembus agama suku dan ras. Itulah pelayanan Yesus. Pendeta atau pastor bagi jemaatnya itu sudah biasa. Ustad bagi umatnya itu sudah biasa. Tetapi pendeta, pastor, ustad bagi mereka yang bukan umatnya. Ini luar biasa. Selama pelayanan kita tidak bisa menyeberang kepada yang lain, masih terkotak-kotak, maka kerukunan tidak bisa tercipta dengan baik. 

Kalau bupati Batak dan ia hanya baik untuk orang Batak, itu sudah biasa. Seorang pemimpin Batak, tetapi baik untuk semua, adil untuk semua: partai, suku, ras dan agama! Inilah pilar yang baik dan yang kokoh. Pelayanan yang holistic sepeti pelayanan Yesus! Peribahasa Jawa: “Urip Iku Urup” artinya Hidup itu memberi hidup! Memberi hidup kepada semua lapisan masyarakat! Tidak membeda-bedakan,persis seperti yang dilakukan oleh Tuhan Yesus.

4. Menerima Sesama (ay. 6-7)

Kata “menerima” berarti menerima tanpa memilih-milih. Aku di posisimu, engkau di posisiku. Seperti beli durian. Mau baik duriannya, mau jelek duriannya itu bukan tanggung-jawab penjual terima apa adanya. Jikalau baik duriannya, puji Tuhan, jika jelek jangan menggerutu. Yesus menerima semua orang dengan berbagai latar belakang, ada ahli hukum: Paulus, ada petugas beacukai: Zakeus, ada panglima: Kornelius, ada PSK wanita Samaria, ada orang kusta, ada orang sakit gila, sakit ayan. Semua mereka diterimanya. 

Ambon menangis, karena mereka tidak bisa saling menerima. Kita harus bisa menerima sesama apapun suku dan agamanya. Inilah pilar kerukunan. Tolikara berkecamuk karena kita tidak saling menerima sesama. Polisi dan TNI di Polewali, Mandar – Sulawesi Barat “berperang” karena oknum-oknum pejabat itu tidak melihat lagi bahwa TNI-Polri itu sebagai “abang-adek”, saudara kandung yang dilahirkan oleh Ibu Pertiwi. Ibu pertiwi menangis melihat si “abang adek” ini berantam. Ini semua berawal dari pilarnya tidak ada yaitu: sikap menerima sesama. Jadi membangun “Rumah Kerukunan” NKRI untuk saat ini kita perlu pilar pilar-pilar berikut: Menanggung Orang Yang Lemah, Mencari Kesenangan Sesama, Meneladani Kristus, Menerima Sesama. 

Amin.

()

Baca Juga

Rekomendasi