Oleh: Anthony Limtan & Iranda Novandi.
Mimpi menelusuri objek wisata di Aceh Selatan, akhirnya tuntas sudah. Rombongan kami 28 peserta dengan iring-iringan 5 mobil menyatakan kekagumannya. Tapaktuan negeri yang penuh jejak legenda dengan letak geografis berhadapan dengan Samudera Hindia memang layak dikunjungi.
Aceh Selatan berada di ketinggian 500 meter di atas permukaan laut yang membuatnya beriklim tropis basah. Kota Tapaktuan dengan luas 92,68 km² berpenduduk sekitar 250 ribu jiwa, selain memiliki panorama alam yang indah, seperti pantai, gunung, air terjun, pemandian alam, kuliner, juga memiliki wisata sejarah jejak legenda yang sangat terkenal.
Legenda dimaksud adalah jejak kaki Tuan Tapa, tokoh dalam cerita legenda Aceh Selatan. Keberadaan tapak yang terletak di kaki Gunung Lampu, Tapaktuan ini menjadi daya tarik wisatawan yang berkunjung di kota yang dijuluki Negeri Naga ini.
***
Perjalanan secara berantai mulai Medan-Berastagi-Tongging-Silalahi-Sidikalang-Subulussalam-Tapaktuan yang kami sebut Tour de Tapaktuan sungguh mengundang decak kagum rombongan. Perjalanan ke Tapaktuan memang harus melalui jalur Sidikalang yang berjarak 157 km dari Medan ditempuh sekitar 3,5 jam.
Sebelum tiba Sidikalang, kami menyinggahi pantai di Tongging sekadar melepas penat dan makan siang dengan menu ikan bakar. Kebetulan di desa ini sudah musim mangga udang dan saya melihat beberapa penduduk setempat memanennya di tepi Danau Toba. Saya pun menghentikan kendaraan dan membelinya 10 kg untuk kami nikmati seusai makan siang.
Setelah menginap satu malam Hotel Cenderawasih Sidikalang, sekitar pukul 10.00 WIB, usai sarapan pagi dengan menu khas “Spagetty” Sidikalang alias mie gomak, kami pun siap meluncur ke Tapaktuan yang butuh waktu sekitar 6 jam perjalanan dari kota Sidikalang.
Perbatasan Sumatera Utara dengan wilayah Aceh sangat kontras. Si bungsu Alvin berkali kali bertanya, apakah kami sudah memasuki wilayah Aceh? Saya menjawab dengan setengah bercanda, “Kalau jalannya masih bopeng-bopeng dan berlubang-lubang, itu berarti kita masih berada di wilayah Sumatera Utara,” kataku.
Memang begitu kenyataannya. Begitu melewati perbatasan Pakpak Barat dan menuju Subulussalam, kondisi jalan mulus sudah kami nikmati. Itu artinya kami sudah memasuki wilayah Aceh. Di kawasan ini mobil tidak dapat kami pacu dalam kecepatan maksimal karena jalan berliku-liku dan sangat menyita konsentrasi.
Iring-iringan mobil kami melaju menembus jalan sepi di antarai hamparan hutan sawit yang memanjang di sisi kiri dan kanan jalan.
Setelah menempuh waktu 2 jam kami pun sampai di Subulussalam. Rekan saya Sudirman, wartawan di kota yang baru dimekarkan ini menyambut kami dengan penuh antusias. Kami dibawa makan siang di tempat yang cukup nyaman di Cafe Kasman. Sambil beristirahat di pondok menunggu hidangan makan siang disajikan, beberapa rekan kami terhibur melihat ikan mas ukuran besar meliuk-liuk di kolam depan pondok sembari menebarkan makanan.
Usai makan siang, kami pun bersiap melanjutkan perjalanan. Normalnya waktu yang harus kami tempuh sampai ke Tapaktuan 4 jam lagi. Kondisi medan yang kami lalui di Kecamatan Trumon sungguh tidak biasa kami lintasi. Jalan tidak berkelok seperti Sidikalang-Subulussalam, tapi mendaki dan menurun sampai kemiringan kurang lebih 90 derajat membuat saya dan rekan rekan yang mengemudi ekstra hati-hati. Pada posisi kemiringan 90 derajat dari bawah kami hanya melihat awan di balik mulusnya aspal hotmix. Di saat mobil berada di ketinggian dan siap meluncur ke bawah, kami harus memacunya dengan kecepatan tinggi agar tidak membebani tarikan mesin.
Saya melihat sebuah truk bermuatan sarat melaju lamban dengan kondisi yang mengkhawatirkan. Karena tarikannya begitu berat, truk sempat mundur beberapa langkah membuat saya ekstra hati-hati menjaga jarak di belakangnya.
Setelah melalui jalan curam dan menanjak, kami pun mulai menikmati jalan mulus yang datar dan lebar. Bayangan kami di sepanjang tepi jalan, pohon kelapa melambai dan jalan mulus pun menjadi kenyataan.
Hmm..., aspal hotmix mulus. Jalan desa kami lalui dalam kondisi sepi. Jarang sekali kami berpapasan dengan mobil yang datang berlawanan arah.
Dari Kecamatan Bakongan Timur setelah istirahat menyeruput air kepala muda di sebuah warung, perjalanan kami semakin asyik. Rombongan kami mulai disuguhi panorama eksotis, bayangan pohon-pohon kelapa terhampar di permukaan pantai berwarna hijau tosca. Panorama yang mengundang decak kagum ditingkahi matahari sore mulai beranjak ke peraduan membuat warna langit begitu indah saat itu.
Kenikmatan Bermobil Ria
Kenikmatan bermobil ria dengan kecepatan tinggi sangat kami rasakan setelah rombongan kami meninggalkan Kecamatan Bakongan Timur. Wartawan Analisa Masyudin di Tapaktuan mengatakan, pasca Tsunami di Aceh 26 Desember 2004 ternyata juga memberikan berkat bagi masyarakat setempat. Sejak peristiwa yang memilukan itu, infrastruktur jalan menjadi semakin bagus.
Sekitar pukul 18.30 WIB kami pun tiba di kota Tapaktuan yang berpenduduk sekitar 250 ribu jiwa itu. T. Maulizar guide dari Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) Aceh Selatan sudah menunggu kami di Hotel Dian Rana tempat kami menginap. Hotel yang berusia uzur namun memiliki pesona karena persis berada di tepi laut.
Sembari menurunkan barang dari bagasi mobil, kami disambut deburan ombak yang memecah di tepi pantai. Menurut Masyudin, hotel tersebut termasuk yang terbaik di Tapaktuan. Tarifnya per malam juga sangat ekonomis. Tipe standar sudah termasuk sarapan pagi untuk 2 orang hanya Rp220 ribu per malam. Sedangkan tipe deluxe yang kami boking Rp350 ribu per malam.
Malam pertama menginap di sini, kami disuguhi musik alam, deburan ombak tak henti hentinya memecah di pantai. Meski di tepi laut, namun udara tidak terlalu panas. Setiap kamar juga terpasang mesin pendingin.
Keesok pagi setelah sarapan pagi kami melihat wajah kota Tapaktuan yang bersahabat. Kota kecil tertata rapi dan penduduknya sangat ramah dengan pendatang. Taman-taman kotanya tertata rapi, kebersihan juga terjaga. Sepanjang tepi jalan yang berhadapan dengan laut lepas kami menemukan banyak pohon mangga.
Mengawali petualangan wisata kami di “Negeri Naga” ini, Maulizar guide kami membawa kami menelusuri misteri tapak Tuan Tapa, jejak kaki raksasa di tepi pantai kaki Gunung Lampu.
Jejak Tuan Tapa
Konon, dari cerita yang telah turun temurun, Tuan Tapa memiliki tinggi badan mencapai 7 meter. Hal ini kiranya bisa dibuktikan dengan kuburan Tuan Tapa yang sampai saat ini masih dirawat dengan baik oleh masyarakat setempat.
Tuan Tapa yang bergelar Syech ini, di makamkan di Gampong (Desa) Hilir Kecamatan Tapaktuan, persisnya di depan Kantor Keuchik (Kades-red) di Jalan Abdullah Sani. Panjang makam ini kurang lebih 7 meter dengan lebar 1,5 meter. Makam ini dikelilingi dengan cangkang kerang yang berukuran besar. Tuan Tapa diceritakan meninggal pada Ramadan tahun 4 Hijriyah.
Makam Tuan Tapa ini selalu dikunjungi para peziarah. Rasanya memang tidak lengkap jika saat berkunjung ke Aceh Selatan, khususnya ke kota Tapaktuan bila tidak melakukan ziarah dan napaktilas dari jejak Tuan Tapa.
Dalam komplek makam Tuan Tapa ini terdapat juga satu makam Datok Radja Amat Djintan yang pernah memerintah di Tapaktuan tahun 1874 masehi dan meninggal tahun 1928 masehi. Sayangnya, penulis tidak bisa mengetahui lebih banyak tentang Datok Radja Amat Djintan ini. Karena, tidak ada satu wargapun yang bisa ditanya menyangkut siapa penguasa yang memerintah masa Hindia Belanda ini.
Dari makam Tuan Tapa ini, hanya berjarak sekitar satu kilometer, dari jejak Tuan Tapa, kami menyusuri jalan setapak yang dibuat pemerintah setempat Sedikitnya ada 59 anak tangga. Setelah sampai di ujung perjalanan, dilanjutkan dengan melintasi bebatuan yang berserakan di tepi pantai.
Konon, bebatuan itu merupakan ceceran tubuh naga jantan yang berhasil ditaklukan Tuan Tapa. Pertarungan Tuan Tapa dengan dua naga (jantan dan betina) ini terjadi, karena naga jantan tidak bersedia mengembalikan anak perempuan yang sudah dirawatnya dari sejak bayi. Bayi perempuan itu ditemukan hanya oleh kedua naga tersebut di lautan. Dari berbagai catatan sejarah dan legenda, anak perempuan yang diberi nama Putri Bungsu itu merupakan anak dari raja kerajaan Kerajaan Asralanoka di India Selatan.
Dari cerita turun temurun masyarakat setempat, dua naga yang berdiam di kawasan tersebut berasal dari China (Tiongkok). Mereka diusir dari negerinya karena tidak memiliki anak. Namun, saat ke dua naga tersebut hendak kembali dengan membawa Putri Bungsu, di halangi Tuan Tapa hingga terjadi perkelahian hebat, yang konon sempat menghancurkan sebuah pulau besar hingga berkeping-keping berjumlah 99 pulau yang kini terdapat di kawasan Aceh Singkil. (Dulu, Aceh Singkil sebelum pemekaran merupakan bagian dari pemerintahan Aceh Selatan).
Jejak kaki raksasa Tuan Tapa yang sudah dipoles pemerintah setempat berada di tepi laut ini kini menjadi ikon pariwisata Tapaktuan. Rekan-rekan kami menghabiskan waktu lama berfoto ria di depan tapak ini.
Usai berkunjung ke Tapak Tuan Tapa, anda bisa melanjutkan pertualangan ke Kolam Pemandian Naga yang terletak di tengah kota Tapaktuan atau dengan dengan pendopo bupati Aceh Selatan yang jaraknya sekitar 2 kilometer dari lokasi Tapak Tuan Tapa tadi.
Konon, menurut cerita, kolam pemandian ini merupakan tempat penjemputan Putri Bungsu oleh orang tuanya. Oleh pemerintah setempat kolam ini dipugar dengan membuat reflika naga naga dengan mulut yang terbuka lebar. Menurut warga setempat kolam kecil tersebut airnya tidak penah kering, meski musim kemarau sekalipun.
Air Terjun Tujuh Tingkat
Untuk melengkapi cerita legenda Kota Naga, yang menjadi julukan Kota Tapaktuan, tidak salahnya jika berkunjung ke Air Terjun Tujuh Tingkat, yang terletak di Gampong Batu Itam berjarak 5 Km dari Tapaktuan ke arah Kota Subulussalam – Medan, Sumatera Utara.
Konon katanya dulu di sini adalah tempat pemandian Sang Putri Naga (Putri Bungsu) yang merupakan sebuah Mahakarya Naga Jantan. Suasana alamnya sangat asri dengan air yang sejuk dan dikelilingi hutan yang lebat dan terjaga baik.
Menuju ke lokasi air terjun tersebut, kita harus melalui perkampungan masyarakat dan melakukan pendakian sekitar 1 km. Namun, jangan khawatir. Saat ini pemerintah setempat sudah membangun jalan dengan aspal semen hingga ke lokasi tujuan. Sehingga bisa membawa kenderaan roda empat dan cukup membayar biaya parkir sebesar Rp5000,-.
Dari atas pergunungan Batu Itam tersebut, mata kita bisa segarkan dengan pemandangan yang indah Teluk Katuang dengan laut yang biru. Katuan dalam bahasa daerah Jamee (Aceh Selatan) berarti Penyu. Sebab, daerah ini dulunya menjadi tempat bertelurnya para Penyu. Sayang, sekarang sudah teramat jarang ditemukan.
Sedangkan air terjun tujuh tingkat ini kita bisa melepaskan lelah dengan mandi dikolam. Dimana, di setiap tingkatnya terdapat kolam yang bisa untuk mandi. Mandi dibawah air terjun ini badan kita serasa di urut atau dipijit. Sehingga bisa melepas penat atau kelelahan setelah capek berkeliling Tapaktuan.
Hanya saja, bagi setiap pengunjung hanya bisa menikmati keindahan air terjun ini hingga tingkat ke lima saja. Untuk menuju tingkat ke enam, harus dilakukan dengan ekstra hati-hati karena harus mendaki perbukitan yang curam dan cadas. Sedangkan jika ingin ke tingkat ke – tujuh, harus menyusuri sungai jauh ke dalam hutan, setelah itu baru menemukan air terjun yang paling tinggi dari pada yang ada sebelumnya.
Pemandian Ie Sijuk
Belum puas bermandi ria di air terjun tujuh tingkat, silahkan menuju tempat pemandian Ie Sijuk (air dingin) Panjupian. Pemandian ini terletak di Gampong Panjupian yang berjarak 7 Kilometer dari Tapaktuan ke arah Subulussalam - Medan. Pemandian ini merupakan pemandian air pegunungan asli yang langsung keluar dari mata airnya.
Dari informasi yang diterima, air dari pemandian Panjupian ini mengandung Kalsium Karbonat (CaCO3) tapi aman bagi tubuh. Suhu airnya dingin sekali sekitar 15 drajat celsius. Di kolam ini yang berlima yang menyetir mobil merendam melepaskan penat.
Setelah puas menyusuri jejak Tuan Tapa dengan legenda Naga, mari sempatkan waktu memanjakan mata dengan menikmati keindahan pantai di Lhok Reukam. Lhok Reukam merupakan Kampung wisata di Aceh Selatan.
Di pantai ini anda bisa melepas penat dan lelah. Pasalnya, pantai ini sangat alami dan masih perawan, pasirnya putih dan sangat lembut, dan banyak dijumpai cangkang keong laut yang cantik. Kita juga bisa melihat aktivitas nelayan.
Di puncak Gunung Lhok Reukam terdapat rumah peristirahatan/ persinggahan Bung Hatta. Dari prasasti yang tercatat di lokasi tersebut, Wakil Presiden pertama Indonesia, Drs. Moh. Hatta sempat singgah ke pondok di kawasan itu dalam perjalanannya mengelilingi Aceh pada tahun 1956. Saat itu Jambo (pondok) tersebut hanya berupa pondok kayu kecil sederhana, tapi pada tahun 1996, LNG Arun memugar bangunan tersebut.
Dari puncak panorama Hatta, kita dapat melihat jalan hotmix mulus melingkar di punggung bukit. Menurut Maurizar, jalan yang dibangun 2,5 tahun lalu oleh kontraktor nasional PT INTI sepanjang 10 kilometer ini menggunakan teknologi tinggi mengambang di punggung bukit seperti fly over. Dikabarkan, kontraktor memberikan garansi daya tahan bangunan ini selama 25 tahun.
Saya amati dari lokasi ini sangat cocok untuk lomba sepeda seperti tour de Singkarak seperti di Sumbar.
Mengakhiri petualangan kami di Negeri Naga ini, kami berkesempatan mengunjungi pabrik penyulingan minyak pala dan manisan. Demikian juga pengolahan kopi khas Tapaktuan yang digongseng dicampur coklat. Rombongan kami memborong produk masyarakat setempat dengan jumlah yang banyak sebagai oleh-oleh.
Hmmm, sungguh mengasyikkan. Ayo..., jelajahi nusantara. ***