Oleh: Erny Wirda Ningsih. Bayanganmu menyelinap dipikiranku, ingatan terus membuncah pecah hingga jari-jariku kembali membuka sebuah folder tentangmu yang lama telah kuselipkan di rerimbunan hati. Sejak pernikahanmu 6 Februari lalu, aku sengaja mengubur dalam-dalam setiap jejak yang pernah kita tapaki sama-sama. Aku masih tak bisa menyelipkan perasaan rinduku manakala malam hadir begitu dingin dan gelap mencekamku. Aku masih ingin sesekali melontarkan cerita tentang hari-hariku saat kamu tak ada disini – yah, walau sesekali memang!
Kau bermain di pelataran sawah yang dihiasi padi yang masih sangat hijau. Kau biarkan jari-jarimu memainkan dedaunnya sambil sesekali kau tatapkan matamu di depan kamera perempuan itu. Kau sunggingkan senyum paling indah di hadapannya, dan membuat hatiku cemburu – sungguh!
Daun-daun padi asyik bergoyang tertiup angin sambil menari diantara gemercik panas yang hampir menyengat hingga paru-paru kulitku. Aku melihatmu merangkulkan tangan dipinggangnya dan perempuan itu menyandarkan kepalanya dengan manja. Akh, seperti puing kurasakan remuk yang berantakan saat itu.
***
Perjalanan waktu yang menorehkan jejak bekas lintasan masalalu tampaknya sudah kabur diasamu. Kau menikmati hari-hari bersamanya, dan mungkin aku telah karam bersama waktu di benakmu.
Sebuah potret bisu yang menceritakan banyak hal tentangmu, kini kubaca satu-satu lewat gambar dirimu yang tampak nyata disimpul dua bibirmu yang mengukir senyum. Aku mencatat inilah senyum paling bahagia yang pernah kulihat rekah didirimu. Sungguh! Tiga tahun yang lalu, saat kita masih menuai asa sama-sama aku tak menemukan senyummu se-rekah ini. Mungkin engkau telah bahagia bersamanya.
Diam dan keheningan pegi membawaku larut dalam keinginan untuk kembali ke jejak silam. Ada degub yang semakin mendebar saat kuingat kau pegang erat jemariku, melekatkannya di dadamu sembari melepasku pergi bersama kereta yang mulai melaju.
Masih begitu nyata di ingatanku saat dua tanganku mendekap erat dipinggangmu, saat malam menerpa dingin diatas laju kereta yang engkau kemudi. Kita membiarkan langkah mengusung jejak di antara malam, tak perduli petang yang semakin membayang.
Akh, aku tak pernah lagi serindu ini padamu sejak engkau memutuskan untuk bersanding dengannya. Aku tak pernah lagi serindu ini padamu sejak Februari yang menuai gerimis di hatiku. Entahlah….
Dalam diam aku termangu, menatap hampa kegalauanku. Pandanganku masih menatap potret bisu dihadapanku. Disana aku melihatmu tersenyum – bermain di antara kemuning padi yang sebagian masih sangat hijau. Kau memainkan pucuknya sambil membiarkan angin yang sesekali menerpa-nerpa rambutmu. Dan aku semakin cemburu saat kau merangkul dia.
***
Gerimis mengetuk-ngetuk kaca jendela kamarku. Dingin menusuk hingga ke sum-sum dan aku semakin menggigil. Kerinduanku pecah saat telpon genggamku berdering. Tertulis sebuah nama disana keong Jelek. Aku bergegas mengambilnya dan menekan tombol OK. Sebait obrolan mulai menghapus airmata kerinduanku. Kami berbincang hingga aku terlelap dalam tidur.
***
Mencintai terlalu mudah bagiku, tetapi ketika cinta itu benar- benar mengetukku aku kehilangan cara untuk berlari.
Tiga tahun yang lalu, saat putus dari Angga aku memilih untuk membuka lembaran baru bersama Reza. Kujalani kisah-kasih kami jauh berbeda dengan apa yang pernah kujalani bersama Angga. Awalnya aku hanya ingin mencari pelarian atas lukaku, tetapi akhirnya aku benar-benar jatuh hati padanya.
***
Satu dua kali, aku dan Reza memang terlihat sangat romantis. Kami sering jalan bareng, makan dan minum bersama, menikmati santapan malam bersama dan menyelusuri malam perkotaan sembari bergandengan tangan. Tapi aku dan Reza juga tak jarang selisih paham. Kesalahan-kesalahan kecil saja bisa membuatku sangat terluka. Keegoanku terkadang harus membuat kami tak bercakap-cakap untuk beberapa waktu.
Cinta memang tak dapat memilih pada siapa akan dititipkan. Cinta tak bisa menyeru pada siapa akan dikemudi. Kecemburuanku yang seringkali tak beralasan membuatku sangat tersiksa. Aku harus memendam rasa sebab Reza seringkali tak mengerti luka yang kusembunyikan. Seringkali aku serasa pengemis cinta, padahal sungguh! Aku masih bisa menahan kerinduanku barang sepekan dua pekan pun.
Saat rindu mengantarkanku ingin bertemu, aku mencoba menepisnya pelan-pelan. Saat rindu mengajakku bergurau, aku mengurungnya sampai engkau paham bahwa aku ingin bertemu. Aku mencintaimu dengan sederhana – sesederhana pemikiranku, tanpa ada alasan mengapa aku harus mencintaimu.
Tahukah engkau, wahai kekasihku – ada disampingmu, merasakan dekapanmu itu saja sudah cukup bagiku. Aku tak pernah merasa waktu berjalan terlalu lama saat kita sama-sama. Aku tidak pernah merasa jenuh saat kita sama-sama, dan tahukah engkau kekasihku bahwa rinduku membuncah – ingin pecah. Apa engkau tahu saat malam membawamu jauh aku selalu meragukanmu, saat siang engkau memahat hati tak disampingku – aku rindu!
Ini cinta tak ku ukir sendiri. Aku tak pernah memahatnya hingga serupa ini. Sungguh! Aku ingin kau tahu. *end.
Serambi Kompak, 2011