Oleh: M. Arif Suhada
Semangat yang mulai luntur dalam kegiatan belajar dewasa ini adalah budaya diskusi. Padahal budaya diskusi sudah menjadi bagian ciri khas bangsa Indonesia sejak zaman dahulu. Tak bisa dipungkiri, para pahlawan bangsa ini, membangun negara Indonesia atas dasar rumusan-rumusan yang dihasilkan melalui proses diskusi (musyawarah) dan semangat gotong royong. Mengapa kita harus meninggalkan semangat itu, dan mengarah pada kehidupan individualistis yang mementingkan diri-sendiri.
Diskusi adalah suatu kegiatan bertukar pikiran dengan orang lain dalam membincangkan suatu permasalahan. Tentu saja diskusi tidak bisa dilakukan seorang diri tanpa ada lawan bicara. Karena yang ditonjolkan dalam diskusi adalah komunikasi verbal secara timbal balik. Pentingnya diskusi membuka cakrawala berpikir seseorang menjadi lebih luas. Karena di dalamnya, kita akan mendapat berbagai informasi dari setiap orang melalui pemahaman yang berbeda-beda. Dari situlah, wawasan ilmu kita akan semakin bertambah, cara pandang berpikir yang semakin luas, dan yang paling penting kita belajar untuk tetap menghargai setiap perbedaan yang ada tanpa harus selalu menggangap diri yang paling benar.
Pudarnya budaya diskusi di tengah masyarakat, hemat penulis tidak terlepas karena dalam ranah pendidikan, proses belajar itu selalu dimaknai dalam pengertian yang sempit, yaitu kegiatan membaca dan menulis. Sangat jarang ada guru yang menekankan pada siswanya untuk rajin berdiskusi, disamping rajin membaca dan menulis. Orangtua juga demikian, selalu saja menyandarkan penilaian rajin belajar terhadap anaknya pada kegiatan membaca dan menulis. Anak pun akhirnya termotivasi untuk melakukan dua hal itu saja, tanpa mengembangkan proses belajar dengan cara yang lain. Padahal, salah satu seninya belajar yang paling menarik adalah diskusi.
Namun anehnya, kegiatan diskusi masih dianggap tidak terafiliasi dalam proses belajar. Bukankah tidak pernah kita mendengar ada orang yang rajin berdiskusi, lantas dikatakan ia rajin belajar. Sebaliknya, ketika seorang anak sudah rajin membaca buku (sekalipun itu buku novel) maka termasuklah ia golongan anak-anak yang rajin belajar. Padahal, seseorang yang mampu tampil dominan dalam diskusi, tentu saja apa-apa yang diutarakannya itu juga melalui proses belajar-termasuklah di dalamnya membaca dan menulis. Paradigma inilah yang berkembang di tengah masyarakat kita, sekaligus menjadi jawaban mengapa para generasi sekarang enggan menghidupkan budaya diskusi.
Akibatnya, banyak orang yang kemudian menjadi terbiasa untuk menerima informasi dari sumber yang satu arah, yaitu lewat buku, internet, televisi, atau informasi lain yang sifatnya pasif. Kecenderungan informasi itu pun diterima secara mentah-mentah dan menjadi rujukan dalam pemikirannya. Mereka menjadi tidak terbiasa untuk bersikap kritis dalam mempertanyakan atas kebenaran setiap informasi yang mereka terima. Sebab, sedari dini mereka telah dilatih untuk menjadi manusia-manusia yang berpikir secara "monoton".
Cermin Diskusi yang Buruk
Kadang kita kagum menyaksikan kelihaian para politisi di negeri ini saat beretorika mempertahankan setiap argumennya dalam kegiatan diskusi yang diselenggarakan. Akan tetapi, yang kerap disayangkan adalah jika pihak-pihak yang ikut serta dalam diskusi itu tidak bisa mengontrol emosinya sehingga menimbulkan suasana diskusi yang tidak kondusif. Diskusi yang semula bisa diikuti dengan kepala dingin dan hati yang tenang, kemudian berubah menjadi ricuh dan diwarnai dengan tindakan-tindakan yang kurang etis, bahkan terkadang anarkis. Seperti berkata kasar, saling memaki, dan ada pula yang sampai melempar kursi serta membanting meja.
Diskusi pun tak lagi menjadi ajang intelektual untuk mencari solusi atas pemecahan masalah, melainkan menjadi arena untuk saling menjatuhkan dan "berperang" satu sama lain. Stigma inilah yang muncul dan melekat di benak masyarakat kita sehingga kebanyakan diantaranya alergi untuk berdiskusi.
Dengan pudarnya budaya diskusi maka memudar pula kepedulian masyarakat untuk membahas persoalan-persoalan terkait kemajuan bangsa. Sebab tidak ada dorongan yang membangkitkan semangat untuk peduli dalam memecahkan problem bangsa. Orang-orang telah terlenakan dengan dunianya sendiri, dunia yang kadang membentuk mereka menjadi orang-orang yang apatis terhadap lingkungannya. Wujud dari kepedulian yang kerap ditampilkan atas setiap permasalahan terkait kondisi bangsa tidak lain hanyalah sebatas komentar keprihatinan.
Menumbuhkan Semangat Diskusi Sejak Dini
Menghidupkan kembali semangat diskusi dalam keseharian adalah sebuah kesadaran bahwa terjerembap dalam pemikiran yang sempit adalah bentuk kebodohan. Kita harus akui, setiap individu punya kelebihan dan kekurangan atas wawasan pengetahuan yang dimiliki. Lewat diskusi dimaksudkan masing-masing individu bisa saling berbagi wawasan pengetahuan itu guna mengisi atas kekosongan atau ketidaktahuan yang ada.
Dalam menumbuhkan budaya diskusi, maka semangat diskusi penting ditanamkan sejak dini. Dari mulai lingkungan keluarga, sekolah, dan tentu saja lingkungan sekitar. Di lingkungan keluarga, orangtua hendaknya membuka diri untuk senantiasa memberi pemahaman yang baik atas rasa ingin tahu anak. Masih banyak orangtua yang enggan meladeni dan mengenyahkan begitu saja atas pertanyaan-pertanyaan dari seorang anak. Hal itu tentu saja membuat rasa ingin tahu anak menjadi padam. Padahal, rasa ingin tahu anak yang tinggi adalah modal untuk menciptakan daya kritis di masa depan nanti.
Di lingkungan sekolah, guru mesti lebih intens menggelorakan semangat diskusi di ruang kelas. Pembelajaran bukan hanya sebatas guru menyampaikan materi dan siswa mendengar, mencatat, dan lalu membaca-bacanya sampai hapal. Lebih dari itu, siswa juga harus diajak berdiskusi guna meningkatkan pemahaman berpikir dan keberanian mengutarakan pendapat. Tujuannya agar kelak di masa depan mereka tidak menjadi orang-orang yang pasif.
Di lingkungan sekitar, semua pihak, baik itu ormas, cendikiawan, aparat pemerintah, maupun para politisi, diharapkan mampu mencerminkan dan menciptakan iklim diskusi yang kondusif. Mengapa setiap kali penyelenggaraan suatu acara, rapat, atau kegiatan apapun yang konsen pada kegiatan diskusi atau musyawarah untuk mencapai mufakat, seringkali berakhir dengan kondisi yang ricuh dan bentrok. Inilah yang menjadi pekerjaan rumah bagi semua pihak untuk bagaimana kegiatan diskusi itu menjadi suatu kegiatan yang menarik, serta jauh dari tindakan-tindakan tidak etis dan anarkis.
Melalui pelaksanaan langkah-langkah diatas, diharapkan para generasi bangsa bisa mencintai budaya diskusi, dan masyarakat kita dapat kembali menjadikan diskusi sebagai bagian dari wadah pemersatu bangsa dan alat untuk menemukan solusi bersama. Semoga bermanfaat.***
Penulis adalah mahasiswa UIN-Sumatera Utara, Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, Semester VII