Oleh: Dr. Agus Priyatno, M.Sn. Sanggar seni merupakan tempat atau wadah aktivitas berbagai macam seni, seperti senilukis, tari, musik dan teater. Aktivitasnya berupa proses belajar-mengajar secara nonformal.
Ada diskusi, latihan, praktek, pameran atau pertunjukan. Sanggar seni biasanya didirikan serta diasuh oleh seniman, atau orang yang memiliki keahlian seni. Tujuan orang belajar di sanggar untuk mendapatkan pengetahuan atau ketrampilan, bukan ijasah.
Metode pengajarannya praktis. Sanggar seni lukis umpamanya, bertujuan agar anggotanya dapat melukis. Materi pelajaran yang diberikan berkaitan langsung dengan peningkatan kemampuan melukis. Di antaranya pengenalan bahan dan alat, membuat karya sketsa, drawing dan teknik melukis.
Korelasi antara pengasuh sanggar dengan murid berdasarkan asah, asih dan asuh. Asah artinya mencerdaskan, asih artinya mengayomi dan asuh artinya membimbing. Pengasuh sanggar berperanan mencerdaskan, membimbing, dan mengayomi murid-muridnya.
Pendirian sanggar biasanya dimotivasi oleh jiwa pengabdian pendirinya. Seseorang ingin membagikan keahlianya untuk orang lain secara sukarela. Tujuannya semata untuk melestarikan seni di masyarakat. Belakangan, ada juga sanggar seni yang dikelola secara komersial.
Sanggar senilukis merupakan tempat belajar melukis bagi orang-orang muda berbakat. Pengasuhnya pelukis senior, yang telah diakui kualitas kesenimanannya oleh masyarakat luas. Pelukis senior berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam berkarya kepada generasi lebih muda.
Ada juga sanggar senilukis bagi anak-anak, tujuannya pengembangan kreativitas. Bukan untuk menjadikan mereka sebagai seniman. Proses belajarnya berbeda, yaitu memotivasi anak agar gembira dan kreatif.
Pada masa awal kemerdekaan Indonesia, sanggar menadi wadah bagi para seniman dan calon seniman meningkatkan kemampuan seninya. Pusat aktivitas para seniman dan calon seniman untuk saling peduli dan berbagi pengetahuan seni. Pada masa itu pendidikan formal untuk belajar melukis belum didirikan oleh pemerintah. Belum ada sekolah tinggi seni. Sanggar menjadi tempat belajar.
Di Yogyakarta ada sanggar Bambu, didirikan oleh Soenarto PR dan kawan-kawan. Di Magelang ada sanggar Sungging Prabangkara, didirikan oleh pelukis Barkah Suripto. Di Jakarta ada sanggar seni Pandan Wangi didirikan oleh Sudjojono. Sanggar-sanggar dikelola oleh para seniman dengan biaya mandiri. Mereka membiayai kelangsungan sanggar dengan biaya sendiri.
Era 1950an mulai didirikan akademi senirupa atau sekolah tinggi senirupa di Indonesia. Di Yogyakarta didirikan Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), di Bandung didirikan Departemen Seni Rupa ITB. Sejumlah senggar senilukis tetap didirikan oleh sejumlah seniman sebagai tempat atau wadah belajar-mengajar nonformal. Banyak orang muda berbakat memilih sanggar untuk menimba ilmu, bukan di sekolah seni formal.
Sanggar seni yang muncul di antaranya Sanggar Pejeng di Bali, didirikan tahun 1974 di Puri Pejeng. Terkenal sebagai tempat belajar senilukis bagi seniman muda berbakat. Pengasuhnya pelukis maestro Dullah, pelukis istana kepresidenan di zaman Soekarno. Murid-murid asuhannya menjadi pelukis handal. Ada lebih 40 muridnya. Diantaranya pelukis Kok Poo, Hok Lay, Inanta, Tjwan Tik, Ping Dang, Yuwono, Herry, Zainal dan Usman Munandar.
Kejayaan sanggar Pejang surut setelah sang maestro kembali ke kampung halamannya di Surakarta. Tahun 1988 sang maestro mendirikan museum Dullah. Sebagian besar karya sang maesro tersimpan di museum itu. Tidak seperti sanggar yang kian surut, museum Dullah masih eksis hingga sekarang.
Salah satu murid Dullah yang belajar di sanggar Pejeng adalah Yatim Mustofa. Pemuda berbakat melukis dari Sumatera Utara. Putera seorang tentara yang pandai main musik. Yatim belajar di sanggar Pejeng antara tahun 1978-1984. Selesai belajar di sanggar itu, Linda Galeri Jakarta mengontraknya menjadi pelukis galeri selama dua tahun, sekitar tahun 1993.
Yatim memperdalam pengetahuannya tentang senilukis dengan study tour ke berbagai negara. Thailand, Singapura, Malaysia, bahkan ke Prancis dan sejumlah negara Eropa. Tahun 1998 Yatim kembali ke Tanjung Morawa menjalani hidupnya sebagai pelukis secara mandiri.
Tahun 1980an sanggar Rowo didirikan oleh Yatim. Sanggar ini menjadi tempat belajar melukis orang-orang muda berbakat di Sumatera Utara, ada juga yang datang dari Sulawesi. Ada sekitar 30 orang belajar di Sanggar ini. Belajar di sanggar itu tidak dipungut biaya, bahkan sebagian muridnya ada yang tinggal di sanggar selama beberapa tahun.
Semua aktivitas sanggar didanai oleh uang prihadi pelukis Yatim, diperoleh dari penjualan lukisan. Pembeli lukisan yang sering mengoleksi lukisan-lukisan karya pelukis sanggar Rowo di antaranya pengusaha DL Sitorus dan Armen.
Para pelukis profesional di Sumatera Utara, dahulu pernah belajar di sanggar Rowo beragam latar belakang pendidikannya.
Sekolah Dasar, hingga Perguruan Tinggi. Mereka antara lain Cecep Priyono, Wan Saad, Hardiman Wisesa, Bambang Triyogo, Didi Prihadi, Budiami, Dai, dan Adril Husni.
Selama di sanggar, mereka belajar teknik melukis dengan media cat minyak.
Mereka belajar teknik melukis lukisan naturalis dan realis. Metode belajar lainnya dengan berlatih membuat sketsa secara langsung di alam terbuka, membuat drawing secara langsung, melukis di studio, dan luar studio. Setelah belajar beberapa tahun di sanggar, mereka belajar mandiri, seterusnya menjadikan pelukis sebagai profesinya.
Penulis dosen pendidikan FBS Unimed dan Pengelola pusat dokumentasi seni rupa Sumatera Utara