Oleh: Heny Anggreini. Folklor Indonesia saat ini mengalami kemunduran, khususnya di Medan. Bisa dikatakan mengalami pergeseran dan penghilangan. Banyak sekali folklor tergerus, perlahan hilang dengan sendirinya karena kurang peminat dan penikmat. Pun kurangnya penutur juga penerima tuturan yang kelak akan meneruskan kepada generasi muda.
Kondisi ini membuat kalangan peneliti folklor dan peneliti kebudayaan gelisah, sekaligus gencar untuk menggali kembali folklor. Peneliti folklor saat ini, berpacu dengan kematian folklor itu sendiri. Hal demikian karena ketidakperdulian masyarakat untuk menjaga dan melestarikannya, hingga folklor tidak ada lagi di tengah-tengah masyarakat pemiliknya. Perubahan pandangan masyarakat terhadap folklor sebagai suatu yang kuno dan terbelakang, sehingga ragamnya hilang sebelum didokumentasikan atau diarsipkan.
Nani Tuloli (1991:2) mengemukakan, besar kemungkinan hilangnya kekayaan budaya seiring berubah. Hilangnya ragam sastra lisan jika tidak dilakukan penelitian dan usaha untuk melestarikannya. Pernyataan ini memperkuat anggapan, salah satu penyebab utama hilangnya budaya Indonesia adalah berubah dan hilangnya ragam sastra lisan. Karenanya perlu melakukan revitalisasi terhadap folklor yang merupakan warisan budaya dan local genius.
Folklor sebagai warisan budaya dan local genius karena foklor berisi bahasa rakyat. Teka-teki, puisi rakyat, cerita rakyat, nyanyian rakyat, arsitektur rakyat, kepercayaan rakyat, permainan rakyat, alat musik rakyat, dan sebagainya. Kesemuanya merupakan budaya yang diwariskan secara turun temurun. Selanjutnya, dalam local genius (kecerdasan lokal) terdapat pengetahuan lokal, keterampilan, sumber daya lokal, proses sosial lokal, norma-etika dan adat istiadat lokal. Semuanya dimanfaatkan untuk menata kehidupan sesuai dengan nilai luhur tradisi budaya yang sudah tertanam dan diwariskan.
Melakukan revitalisasi berarti menjaga keberadaan folklor di tengah masyarakat kolektifnya. Generasi muda pun akan mengenal sastra lisan sebagai bagian dari kebudayaannya. Harus tetap dilestarikan di zaman modern dan peradaban yang maju ini.
Revitalisasi folklor
Dalam melakukan revitalisasi terhadap folklor perlu adanya metode, agar proses revitalisasi berlangsung baik dan benar. Salah satu metode dapat digunakan untuk revitalisasi folklor, Participatory Planning dan Research (PPR). Metode ini digunakan dalam kajian lingkungan sosial-budaya dan kajian masyarakat pedesaan. Metode ini lebih menekankan pada penggalian informasi melalui penyelidikan secara seksama terhadap potensi yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Saling berbagi antar masyarakat untuk pemberdayaan mereka. Selanjutnya melaksanakan perencanaan yang bermanfaat bagi masyarakat setempat.
Dalam revitalisasi folklor menggunakan metode ini, terdapat dua kegiatan yang dilakukan. Penelitian folklor (bentuk dan isi) secara partisipatoris serta perencanaan folklor dan pendukungnya secara partisipatoris.
Penelitian terhadap bentuk dan isi folklor yang akan direvitalisasi, dilakukan dengan partisipasi observasi. Wawancara terbuka dan mendalam, diskusi secara berkelompok dan terarah, juga kepustakaan atau dokumen tertulis. Perencanaan terhadap folklor yang akan direvitalisasi dan pendukungnya. Mengikutsertakan masyarakat setempat dalam beberapa hal.
(1) Menentukan (memprioritaskan) folklor yang akan direvitalisasi. (2) merencanakan dan menyusun (memanajemen) program revitalisasi termasuk rancangan revitalisasi terhadap sebuah folklor. (3) membentuk kelompok folklor dengan program pelatihan atau pembelajaran. (4) mengelola kelompok folklor secara berkelanjutan. (5) mensosialisasikan folklor kepada pendukungnya dengan menanamkan nilai-nilai budaya dan kearifan lokal sebagai kandungan folklor. (6) merancang regenerasi pelaku dan pendukung folklor sebagai bagian dari pewarisan budaya.
Perencanaan-perencanaan tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga komponen revitalisasi, yaitu penghidupan/pengaktifan folklor yang telah punah. Pengaktifan dimaksudkan untuk folklor yang masih hidup, tetapi tidak aktif karena tidak lagi (tidak digunakan) menjadi bagian hidup masyarakat pemiliknya.
Pengelolaan terhadap folklor merupakan hal penting agar folklor menjawab kebutuhan masyarakat. Termasuk memanfaatkan folklor menjadi deposit industri budaya kreatif yang mampu menghasilkan “profit”. Bisa dibilang orang luar tertarik datang ke Indonesia untuk menikmati kebudayaan Indonesia. Mengetahui dan mempelajari kebudayaan yang tidak ada di negara mereka. Sayangnya, masyarakat Indonesia lebih tertarik menikmati, memakai dan mengakui budaya luar ketimbang budaya sendiri.
Malu memakai ataupun mengakui budaya berasal dari leluhurnya, yang sejak dahulu telah diwariskan secara turun-temurun. Selanjutnya, pewarisan diperlukan untuk menjamin keberadaan folklor di masa depan. Supaya dapat dinikmati, dipakai, dipelajari oleh generasi muda. Juga keberadaannya tetap ada di tengah-tengah masyarakat modern, walau peradaban semakin maju.
Sebagai bagian dari kebudayaan, revitalisasi folklor perlu mempertahankan paradigma revitalisasi (Sibarani, 2004: 32-34 dalam kumpulan Proceeding Congress Of Asian Folklore, 2013: 134).
(1) mendorong setiap kebudayaan termasuk folklore, yang hidup dan berkembang secara seimbang tanpa diskriminasi; (2) membuat kebudayaan termasuk folklor menjadi bagian dari kehidupan masyarakat kolektifnya; (3) seluruh kebudayaan termasuk folklor dengan berbagai transformasi dan modifikasi dihargai sebagai kebudayaan bangsa; (4) menyediakan perkampungan budaya (culture villages) atau panggung folklor sebagai wadah transfer budaya di setiap daerah; (6) melibatkan masyarakat setempat sebagai pemain, penentu prioritas, perencana, pengelola dan pendukung kebudayaan termasuk folklor; (7) melibatkan “orang-orang budaya” dalam penelitian, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan terutama dengan menerapkan kearifan lokal.
Paradigma di atas, apabila dilakukan secara berkelanjutan dan terarah, akan menghidupkan folklor sebagai warisan budaya dan local genius. Menata kehidupan masyarakat pemiliknya berdasarkan nilai-nilai dan norma yang terkandung dalam folklor. Mempertahankan kearifan lokal untuk dimanfaatkan sebagai pembentuk karakter generasi muda maupun sebagai sumber peningkatan kesejahteraan dan penciptaan kedamaian.
Warisan budaya dan local genius
Local genius diperkenalkan pertama kali oleh Wales (Sartini,2004). Istilah ini disepadankan dengan kearifan lokal. Ratna menyatakan, kearifan lokal (local genius/local wisdom) merupakan berbagai kebijakan yang dimiliki secara turun-temurun. Berfungsi untuk membantu keselarasan hubungan sosial.
Haryati Soebadio menyatakan, local genius juga cultural identity, identitas/kepribadian budaya bangsa. Menyebabkan bangsa mampu menyerap dan mengolah kebudayaan asing sesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi,1986:18-19 dalam kumpulan Proceeding Congress Of Asian Folklore, 2013: 94).
Karenanya kearifan lokal adalah pengetahuan asli (indigineous knowledge) atau kecerdasan lokal (local genius) suatu masyarakat. Berasal dari nilai luhur tradisi budaya untuk mengatur tatanan kehidupan masyarakat dalam mencapai kemajuan kolektif. Baik dalam penciptaan kedamaian ataupun peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Dikatakan, warisan budaya dan local genius sebagai sumber kemajuan, karena terdapat nilai-nilai luhur tradisi budaya. Diwariskan (dituturkan secara turun-temurun) kepada generasi penerus, yang dapat mengatur tatanan kehidupan masyarakat. Tercapai kedamaian dan meningkatnya kesejahteraan.
Dalam setiap kebudayaan terdapat kearifan. Akan menjadi acuan dalam bertingkah laku sesuai dengan norma, nilai, etika, dan adat istiadat. Masyarakat maju tidak akan meninggalkan kebudayaannya. Justru semakin membangun kebudayaannya dengan cara-cara yang lebih modern dan maju. Zaman boleh maju bahkan ‘menggila’, namun tidak mengubah peradaban manusia untuk tetap memegang kebudayaannya.
Gelitar, 2015
Penulis; mahasiswi jurusan Sastra Indonesia FBS-Unimed 2012 yang bergiat di komunitas Gelitar (Gebrakan Literasi)