Akulturasi Budaya pada Gapura

Oleh: Rhinto Sustono. SETIAP kali sampai di satu kota, kita akan mencari sesuatu yang khas, yang bisa dijadikan bahan ingatan untuk mengenali wilayah tersebut. Hal paling mudah dilakukan, yakni menandai sebuah bangunan beridentitas.

Lazimnya kota-kota besar di Tanah Air, suguhan pertama sebagai etalase sebuah kota untuk kali pertama dilihat para pendatang (tamu), biasanya dimulai dari sebuah bangunan gapura. Sebagai suatu struktur yang merupakan pintu masuk atau gerbang, gapura memiliki peran penting untuk memperkenalkan wajah kota.

Pada disiplin bidang arsitektur, gapura kerap disamakan dengan ‘entrance’. Meskipun ‘entrance’  sendiri tidak bisa dimaknai sebagai gapura. Karena menjadi komponen pertama untuk dilihat, sudah semestinya bangunan sebuah gapura lebih menonjol dari bangunan yang ada di sekitarnya.

Kekhasan struktur gapura menjadi hal mutlak. Sebab selain berfungsi sebagai gerbang, gapura juga ditata mewakili ekspresi budaya, adat-istiadat, kebhinnekaan etnis, hingga perpaduan simbol-simbol yang memiliki makna dari bangunan itu sendiri. Kesepakatan akan fungsi gapura, juga menyentuh pada bangunan gapura Kota Medan.

Sebagai ibukota Provinsi Sumatera Utara, Kota Medan memiliki sejarah yang panjang. Kota yang berdiri sejak 1590 ini, dulunya merupakan pusat dari pemerintahan Kesultanan Melayu Deli. Karena itu, keberadaan gapura di tiga sisi Kota Medan yang dikelilingi wilayah Deli Serdang, khas bercirikan arsitektur Melayu Deli yang identik dengan bangunan utama Istana Maimun.

Pada banyak literatur, istana kesultanan itu sendiri diperkaya dari perpaduan arsitektur khas Melayu, Moghul, Timur Tengah, Spanyol, India, dan Belanda. Dominasi kuning keemasan dan hijau melambangkan kemakmuran sebuah negeri yang kental keislaman.

Aspek Budaya

Dalam wacana arsitektur, banyak mendiskusikan peranan arsitektur dalam pembentukan citra kawasan (perkotaan). Terlepas dari munculnya sederet preseden, arsitektur gapura Kota Medan yang mustahil bisa melepaskan diri dari aspek budaya masyarakatnya semestinya juga tidak mengabaikan hal tersebut.

Karenanya, gapura Kota Medan yang menyimbolkan akulturasi budaya setempat, semestinya tampil menjadi bagian pencitraan keindahan kota. Sebagai monument kota, rancangan arsitektur gapura juga bersentuhan langsung dengan memori masyarakat. Dengan harapan arsitektur gapura bisa mengikat tujuan masa depan sebuah kota yang diidentivikasikan melalui gambaran simbolik, khususnya pada logo yang ada di gapura.

Sebagai kawasan strategis dalam era pasar bebas Asean (Masyarakat Ekonomi Asean/MEA), semestinya Medan harus berbenah. Etalase paling depan dalam menyambut kedatangan tamu setelah mendarat di Bandara Kualanamu, gapura di kilometer 11 perbatasan antara Medan - Tanjung Morawa hendaknya lebih diperhatikan. Apalagi Medan merupakan kota terbesar ketiga di Tanah Air.

Ibukota sejumlah provinsi bertetangga dengan Sumut, sudah lama berbenah, khususnya untuk menjadikan gapura kotanya sebagai sebuah ikon. 

Gapura Kota Pekanbaru demikian indah, begitu halnya gapura yang menyambut kedatangan siapa pun di Kota Palembang. Pun gapura yang menonjolkan identitas akulturasi di gerbang Kota Bandar Lampung.

Secara keseluruhan struktur bangunan gapura Kota Medan memang tidak kalah indah. Bahkan sudah cukup untuk dijadikan ikon dan identitas Kota Medan.  Hanya saja bangunan yang terpisah di sisi kanan-kiri jalan ini kurang mendapat perawatan.

Ikon Kota

Ornamen Melayu yang mendominasi bangunan gapura Kota Medan mengusung makna simbolis dari dasar hingga bagian atapnya. Sejumlah simbol yang disematkan pada gapura itu, tentu tidak terlepas dari pemaknaan simbolik yang ada di lingkungan istana.  Sehingga kelak, gapura kota menjadi lazim jika berfungsi pula sebagai ikon sebuah kota.

Sudahkah gapura Kota Medan menjadi salah satu ikon yang patut dibanggakan? Atau adakah warga Medan peduli dan membanggakan gapura yang dibangun kokoh di setiap batas kotanya?

Sejatinya gapura Kota Medan menuju lintas timur luar kota itu, secara arsitektur tidak kalah artistik. Hanya saja kedua bangunan yang seolah bersayap ini butuh penataan lebih. Kontinuitas pemangkasan pohon pelindung yag menutupi sebagian besar bangunan di sisi kiri menuju Medan perlu dilakukan.  Begitu juga dengan upaya pembersihan tumbuhan liar yang menyemaki sekitar pembatas pagar gapura.

Bagaimana mungkin tetamu akan mendapat sambutan hangat gapura yang berada di tepi anak sungai ini, jika pandangan terhalang oleh rerimbun pohon pelindung. Jangankan berharap membanggakan gapura dengan ber-selfi-ria, mendekat saja pun kita merasa khawatir. Sebab bukan tidak mungkin ada binatang melata di semak tumbuhan liarnya.

Dibanding sejumlah arsitektur bangunan tua yang ada di inti Kota Medan, gapura kota ini memang terbilang masih baru. Kemajuan teknologi sangat memungkinkan adanya pembaruan arsitektur gapura kota dengan tidak meninggalkan nilai-nilai budayapada masyarakatnya.

Kita sepakat, setiap rancangan arsitektur selalu mengandung makna atau simbol yang menggambarkan kekuatan dari bangunan maupun budaya masyarakatnya. Karena alasan itulah, arsitektur gapura tidak sekadar berfungsi sebagai pintu masuk, namun sangat strategis jika mampu difungsikan sebagai alat komunikasi verbal.

()

Baca Juga

Rekomendasi