Mencegah Homo Homini Lupus dalam Bernegara

Oleh: Asruddin P.

Kita sangat menyesalkan aksi pengusiran dengan kekerasan terhadap warga mantan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur beberapa waktu lalu. Tidak sepantasnya melawan teror dengan kekerasan karena hanya akan melukai HAM dan melahirkan lingkaran setan kekerasan di negeri ini. Mirip situasi homo homini lupus (manusia serigala bagi sesama)nya Thomas Hobbes.

Sebagaimana diberitakan, pada Selasa (19/1), ratusan warga eks Gafatar di Mempawah, Kalimantan Barat (Kalbar) diusir oleh warga sekitar, yang didahului aksi pembakaran rumah-rumah mereka. Dikawal aparat keamanan setempat, mereka kemudian dievakuasi di kompleks perbekalan dan angkutan (Bekangdam) Kodam XII/ Tanjungpura di Pontianak, Kalimantan Barat.

Sehari kemudian, peristiwa yang sama terjadi di Kecamatan Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur (Kaltim). Warga yang merupakan mantan ormas Gafatar juga diusir oleh warga sekitar, sehingga mereka pun terpaksa diungsikan aparat.

Kemarahan masyarakat terhadap eks anggota Gafatar ini berawal dari laporan kasus hilangnya seorang ibu bernama Rica dan anaknya di Yogyakarta, pada akhir Desember 2015 lalu. Setelah dilakukan pencarian, polisi berhasil menemukan mereka di sebuah wilayah Kalimantan Tengah. Menurut polisi, Rica dan dua orang yang membawanya diketahui bekas anggota Gafatar.

Pemicu Keresahan

Kabarnya, hingga Selasa, 12 Januari 2016 lalu, Polda DI Yogyakarta telah menerima laporan kasus kehilangan 16 orang yang ada kaitannya dengan ormas Gafatar, meskipun Gafatar terus membantah tuduhan telah melakukan penculikan. Kabid Humas Polda Kalbar, AKBP Arianto mengatakan, dirinya berjanji akan melakukan investigasi terhadap pelaku pembakaran pemukiman anggota eks Gafatar tersebut.

“Pertama kita melakukan kegiatan kemanusiaan terlebih dahulu, yaitu mengevakuasi warga (eks anggota Gafatar). Jika proses ini selesai, otomatis kita melakukan investigasi dan penegakan hukum,” katanya (BBC Indonesia 21/1)

Aksi pengusiran pengikut Gafatar tersebut tidak terlepas dari wacana pemerintah dan tokoh-tokoh masyarakat yang menyebut Gafatar sebagai aliran sesat. Pernyataan ini pun memicu keresahan dan kemarahan masyarakat setempat. Padahal pernyataan tersebut hanya bersifat informal yang bersumber dari desas-desus, bukan sebuah pernyataan resmi.

Menyimpulkan dan menetapkan sebuah ajaran digolongkan sesat dan menyimpang hanya bisa dilakukan setelah ada kajian yang sistematis dan saksama oleh pemerintah dengan menghimpun pendapat dari berbagai tokoh agama dan masyarakat. Sebelum ini dilakukan, menstigma suatu kelompok sebagai penganut ajaran sesat hanya akan memicu lahirnya lingkaran keresahan dan kekerasan baru. Dampak inilah yang tidak diantisipasi oleh pemerintah dan aparat sehingga kecurigaan terhadap warga eks Gafatar di Kalbar dan Kaltim begitu mudah dihembuskan. Lagipula sejauh ini, Tim Koordinasi Pengawasan Aliran Kepercayaan dan Keagamaan dalam Masyarakat (Pakem) Kejaksaan Agung (Kejagung) masih mendalami ajaran dan kegiatan Gafatar. Meski telah beberapa bulan melakukan pengawasan, tim ini belum memberikan pernyataan resmi tentang kelompok tersebut.

Memang berdasarkan riset Tim Pakem, keberadaan Gafatar telah meluas di seluruh wilayah Indonesia, bahkan sudah sampai ke daerah terpencil. Aliran Al Qiyadah Al Islamiyah ini didirikan dan dipimpin oleh Ahmad Moshaddeq alias Musaddeq alias Abdusalam.

Menurut Tim Pakem, Gafatar di Indonesia lahir dari gerakan Al Qiyadah Al Islamiyah yang merupakan salah satu aliran kepercayaan di Indonesia, di mana mereka memodifikasi antara ajaran Alquran, Alkitab, Injil, dan Yahudi.

Ahmad Moshaddeq pernah divonis empat tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan atas tuduhan penodaan agama. Namun setelah menghirup udara bebas, ia tetap menyebarkan ajaran Al Qiyadah Al Islamiyah dengan menggunakan nama Milah Abraham yang kemudian berubah menjadi Gafatar.

Kini Gafatar diyakini sudah memiliki perwakilan di 34 provinsi di Tanah Air, dari Aceh hingga Papua. Seorang juru bicara eks anggota Gafatar, Wisnu Windhani mengatakan, kehadiran mereka di Kalbar sejatinya hanya untuk bertani setelah aktivitas mereka ditolak di berbagai wilayah lainnya.

“Kami ingin menjadikan Borneo ini lumbung pangan nasional, lumbung pangan bagi bangsa ini, kami menanam padi, menanam sayur-mayur, melakukan kegiatan untuk kedaulatan pangan, tapi kelihatannya di Kalimantan pun kami tidak bisa diterima,” terangnya. Ia pun telah mengirim surat elektronik (email) kepada perwakilan sejumlah negara untuk meminta perlindungan, namun belum dijawab. Menurut pemerintah Kalbar, Kalbar sesungguhnya terbuka bagi siapa saja yang mau tinggal, asalkan tidak menimbulkan masalah.

Namun pernyataan tersebut di sisi lain mencerminkan adanya sebuah kesimpulan dan justifikasi prematur yang memantik kesalahpahaman dalam memandang sebuah eksistensi kelompok.  Padahal dalam Pasal 28E Ayat 3 UUD 1945 sudah tegas-tegas menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Atau dengan kata lain negara berkewajiban memberikan jaminan kebebasan untuk berserikat atau berorganisasi (freedom of association), kebebasan berkumpul (freedom of assembly), dan kebebasan menyatakan pendapat (freedom of expression) bagi seluruh warga negara dan orang asing yang tinggal di Indonesia. Jika ini tidak dijalankan maka negara dianggap telah ikut menyumbang praktek diskriminasi dan kekerasan.

Tidak Sulit

Sebenarnya tidak sulit bagi pemerintah untuk menjalankan hal-hal yang terkait dengan organisasi kemsyarakatan karena telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dimana dalam UU, fungsi ormas adalah untuk memelihara, menjaga, dan memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa (Pasal 6e).

UU tersebut pada bagian lain juga menyebutkan bahwa ormas harus memelihara nilai agama, budaya, moral, etika, dan norma kesusilaan serta memberikan manfaat untuk masyarakat; menjaga ketertiban umum dan terciptanya kedamaian dalam masyarakat; serta berpartisipasi dalam pencapaian tujuan negara.

Ormas dilarang untuk melakukan tindakan permusuhan terhadap suku, agama, ras, atau golongan; melakukan penyalahgunaan, penistaan, atau penodaan terhadap agama; melakukan kegiatan separatis yang mengancam kedaulatan NKRI; serta melakukan tindakan kekerasan, mengganggu ketenteraman dan ketertiban umum, atau merusak fasilitas umum dan fasilitas sosial. Ormas dilarang menganut, mengembangkan, serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila.

Negara ini adalah ruang bagi semua warga menjalankan eksistensi, hak dan kewajibannya. Karenanya apa pun maksud dan tujuan sebuah kelompok ada, ia perlu dilindungi sepenuhnya oleh negara. Namun sebaliknya, pemenuhan kebebasan tersebut tidak sertamerta secara mutlak menihilkan kepentingan bersama. Berdasarkan nilai demokrasi yang kita peluk, jika sebuah kelompok terbukti menyebarkan ajaran yang menimbulkkan keresahan ia harus diperhadapkan pada aparat negara untuk difasilitasi dan dicarikan upaya solusi dan remediasi, bukan menjadikan anarkisme sebagai solusi. Ini hanya akan menjadikan kita makhluk serigala bagi sesama. Padahal kita tidak sedang berada dalam situasi rimba. Negara kita memiliki kearifan, aturan, norma dan panduan etika.

Kita berharap aparat keamanan tegas dalam menyikapi ormas Gafatar ini. Pemerintah juga harus cepat memformulasi sebuah opini apakah ormas tersebut benar-benar merupakan ormas yang berkategori dilarang atau tidak agar tak menimbukan prasangka yang simpang siur. Hanya pemerintah yang berhak menilai apakah ormas tersebut layak ada di republik ini atau tidak. Kita berharap dengan ketegasan dan kebijakan pemerintah yang tepat terhadap anak kandung rakyatnya, bangsa ini dan kita semua bisa terhindar perilaku kekerasan kolektif. ***

Penulis peneliti Mahaka Insitute.

()

Baca Juga

Rekomendasi