Lupa Waktu

LUPA WAKTU

Rifan Nazhif

Bersamamu aku merasa lupa

waktu, pada arloji yang menjerit

kupaksa senja lambat merapat

tapi, itu dulu

bersamamu aku merasa ingat 

waktu, yang lambat bergerak

seperti enggan maju dan, itu kini

seharusnya aku sadar

menikmati senja di atas meja

menuangkan cerita dalam hatimu

hatimu, agar segala yang nyesak

melapang

dan kita akan merasa lupa waktu

sampai tua melepas usia

(Palembang, 08 April 2014)

 

MENULIS USIA

Rifan Nazhif

Menulis usia di selembar waktu

seolah menghitung uban menyemak

dan tak lagi bisa melahap kretek

seperti sudah

kita telah alpa menyulam masa depan

terlalu sering merenangi kehidupan

mencari sedemikan kesalahan

menghambur dan menjadikan

kebanggaan

menulis usia di selembar waktu

sungguh tak sebait puisi hidup

yang bisa kita persembahkan 

kepada Tuhan

(Palembang, 08 April 2015)

 

ORANG-ORANG TURUN ke JALAN 

Rifan Nazhif

Orang-orang turun ke jalan

mengelukannya

paling mulia di atas segala

paling sederhana tak sudi harta

paling jujur dan sepuluh betul

kami tersenyum

menatap tuju tanpa ragu

orang-orang turun ke jalan

memaki-makinya

paling hina di atas segala

paling mewah mengaut harta

paling khianat dan semprul

kami meringis

menatap tuju, menggelepur

(Palembang, 08 April 2015)

 

HARGA NAIK

Rifan Nazhif

Bercerita tentang negeri

yang selalu tak berperi

harga-harga mereka naiki tinggi

rakyat dibiarkan makan daki

kami di sini hanya bisa mencaci maki

membakar suara di jalanan

keringat membanjir badan

kami di sini hanya bisa menanti mati

berkalang tanah karena kemiskinan

kemiskinan yang menghangus badan

(Palembang, 13 April 2015)

 

KETIKA JAUH

Rudiyanto Tanwijaya

Baru kumengerti rindu

ketika kaki melangkah jauh

sejenak luka menjadi tawar

seolah termaafkan begitu saja

mengapa setelah berpisah

baru tahu makna bersama?

apakah hanya bentang jarak

yang bisa mengajar

betapa bersama itu sebuah berkah ?

(Just Sleep Hotel, Tainan, 17 November 2015)

 

KEMBANG-KEMBANG

Rudiyanto Tanwijaya

Ambisi ...

tanpa melupakan adab

modernisasi...

tapi tetap menjunjung jati diri

semangat ...

dalam kemuliaan martabat.

ini memang kembang-kembang indah

yang kupetik di negeri orang

tapi bukan berarti aku

melupakan kuntum kembang

di negeri sendiri, yang mungkin

akan mekar dan mewangi

sebentar lagi ...

(Just Sleep Hotel, Tainan, 17 November 2015)

 

PUISI DARI NEGERI ORANG

Rudiyanto Tanwijaya

Dari jendela kaca bus

aku melongok ke atas,

seolah menyapu bentang langit malam

ada satu bulan dan seribu bintang

harusnya indah tapi terasa hampa

bayang rumah di nun jauh di sana,

mungkin penyebabnya

riuhnya kenikmatan di negeri orang

ternyata belum bisa membujuk rayu

untuk memalingkan rindu pada negeri sendiri,

negeri dengan sejuta kegaduhan yang belum usai

apakah dikarenakan cinta

atau kemelekatan

atau pula sikap enggan pada perubahan ?

entahlah ...!!!

rindu masih bergejolak

bersama laju bus yang menderu.

(Perjalanan Taichung-Taipei, 19 November 2015)

 

ELEGI CINTA

Rudiyanto Tanwijaya

Mungkin aku gagal

menafsirkan puisi cinta

yang kau guratkan di hatiku

dan aku kehilanganmu

tanpa perlu mengumbar air mata

sebab itu terlalu mahal

untuk menebus sebuah

kepedihan yang memang

tak pernah langgeng

biarlah yang disebut cinta

kita anggap seperti perahu

berlayar apa adanya

untuk menemukan dermaga sejatinya

sebab bagiku, cinta bukan hanya untuk memiliki

tapo juga untuk mampu menjelaskan

apa itu kehilangan dan sedih ....

(Medan, 08 Januari 2016)

 

MENUNGGUMU

Azizah Nur Fitriana

Di rindang sepohon rindu

menghitung helai dedaun waktu

di sela rinai harap turun satu-satu

mengusap bening kalbu

pucuk-pucuk harap

tentang sekuntum temu

dalam teduh pesona sukma

setangkai kasih paripurna

Medan, Sketsa Kontan April 2015

 

JURANG SUNYI AKHIR APRIL I

Azizah Nur Fitriana

Kesunyian membenamkanku dalam jurang teramat kelam

hingga tak dapat kuhidu wewangi matahari

juga tak ada kecupan lembut embun di bibir daun

berkisah tentang riang sepenggal hari

yang padanya tumbuh pucuk harap dan mimpi

Medan, Sketsa Kontan April 2015

 

JURANG SUNYI AKHIR APRIL II

Azizah Nur Fitriana

Kesunyian mengajarkanku tentang duri di belukar hati

tanpa sadar mencabik lembar demi lembar imaji

membawaku melesat ke langit tinggi

melupa bumi tempat mencium tanah

aroma lembut kini berubah jadi sesaji

tumbal dari sebentuk rindu yang mati

mengering dalam rintih hening lembah sunyi

Medan, Sketsa Kontan April 2015

 

JURANG SUNYI AKHIR APRIL III

Azizah Nur Fitriana

Sunyi dan aku kini menepi

menggelar untai renung dalam sepi

memetik gitar rindu tak berdawai

hingga hanya bisikan sunyi berapi

mengidung balada nyeri

: bilik rindu separuh denyut mimpi

Medan, Sketsa Kontan April 2015.

 

PURNAMA KE SERATUS

Boegies O Sonhador

Seperti biasa, aku datang berhadiah senyum

purnama temani malam

di bawah pohon jambu depan rumahmu

kita duduk tak kurang dua meter

sesekali berpandang, tersenyum

kembali memandang purnama mengemas

tepat empatlima derajat cahaya 

aku pulang bertukar senyum

orang-orang bertanya

percintaan macam apa yang kita ingini

namun senyummu adalah senggama terindah

nada cinta sekadar senjata bermata janji

ini purnama keseratus, sayang

kusibak kata pertama

sudikah engkau berpindah

ke rumah bernama keluarga

Medan, 2015

 

RINDU

Boegies O Sonhador

Kepada siapa buncah rindu ini kualamatkan

jika bukan padamu

pertemuan tiada kunjung terlaksana

mengabukan hati

pikir melayang berspekulasi

adakah aku masih bertahta

mendapat tempat teristimewa

aku mulai meringkuk 

mengutip rindu

menikmatinya sendiri

Medan, 2015

 

RINDU 2

Boegies O Sonhador

Ada kala hujan enggan turun

berkata, rindukah engkau padaku

kita tertanya apa maksud hujan 

mengundurkan hadirnya

maka rindu adalah sepi

begitu pun buncah nafsu

ikhwalkan enggan

nikmati aroma terindah sepi; rindu

Medan, 2015

 

KABAR DARI ANGIN 

Boegies O Sonhador

Kemarin angin sendu 

mendayu searah pilu 

kala kau mengungkap kejanggalan-kejanggalan 

matikan rasa 

lantas berlalu 

tapi setelah kepergianmu 

tanpa sadar 

angin menggiring sebuah daun rapuh 

bertuliskan 'kau' ke tapak kananku 

entah aku dirimu atau kita 

perihal ini kuserahkan padaNya

 

MIMPI DI JERUJI BESI

Ipat Ali Pian

Seperti malam bisu

senyum dan ceriamu tak menyapa

pekatnya merongrong dinding jiwa

dalam isak dan sesal membuncah

mencabik hati sanubari

tepatnya sepuluh tahun lagi

jeruji besi ini akan terbuka

membiarkanku pergi menyapamu

merajut kisah baru

yang hari ini masih mimpi

Medan, 2015

 

HUJAN DI TENGAH ASAP

Ipat Ali Pian

Ia datang bergumul-gumul

merebak sesuka hati

bak pasukan perang 

merenggut dinding kehidupan

sebait doa terus menjadi mimpi

harap hujan datang silih berganti

menebar kesejukan

mematikan titip api

mengusir asap jauh pergi

selamanya jangan kembali

Medan, 2015

 

PANGGILAN SUBUH

Ipat Ali Pian

Masih terbuai empuk kasur

tenggelamkan diri dalam mimpi pekat

seakan terbujur kaku di pembaringan

tapi bukan kematian

mungkin sebagian

lantas seruan itu memekik

saling bersahut memanggil

bagai percik air menitis

Allahu Akbar... Allahu Akbar

Subuh itu menggugah

Medan, 2015

 

ANGIN BICARA

Ipat Ali Pian

Larut di awang-awang

memutar dalam kekuatan penuh

hantamannya kuat

bak dua tembok membentur keras

penghuni saling berlari

selamatkan diri

semua hampir rata

seketika porak-poranda

sampai angin selesai bicara

Medan, 2015

 

DI JALAN-JALAN

Wenti Juliana 

Di jalan-jalan telah kutemu perayu ulung 

tersangkut-sangkut di reranting pohon meranggas 

bila setiap berjalan aku merunduk 

bukan takut termakan rayuannya 

matahari di kota ini aduhai panasnya 

menusuk hingga ke kaki 

perayu ulung tersebar di mana-mana 

pandai benar mengambil simpati 

dadanya seluas samudera 

bersiap menampung air mata para jelata

apis benar bila bertemu dengannya di jejalanan 

siaplah kau tersesat 

tak mengerti jalan pulang

 

DIMANA KEKASIHKU

Wenti Juliana 

Kekasihku bermata kabut 

di mana kau sekarang 

aku gamang selalu tanpamu 

taukah kau setiap senja angin mengamuk di kota ini 

terbang-terbangkan debu jalanan 

hingga atap-atap rumah 

kekasihku bersenyum lembah 

sesekali datanglah ke kota ini 

tak usah risau mencariku 

setiap senja aku pasti terpuruk di sudut kota 

angin kencang laksana hantu bagiku 

aku merasa aman di sudut kota yang pesing

()

Baca Juga

Rekomendasi