Oleh: Endhika Sri Syahfitri, S.Farm, Apt
Suka tidak suka, faktanya nyaris semua hidangan yang kita konsumsi setiap hari tidak terlepas dari MSG, apalagi makanan yang dijual di rumah makan. Bahkan, produk makanan ringan anak-anakpun menggunakan MSG yang terkadang tidak mencantumkan kandungan MSG-nya. MSG di masyarakat kita sering disebut Vetsin, atau orang Jawa bilang “Micin”, penyedap rasa buatan yang sudah sangat lazim digunakan sebagai bumbu masakan. Bahkan tak sedikit yang menganggap tak akan sedap masakan itu tanpa micin.
Monosodium Glutamat (MSG) sendiri mulai dikenal sejak tahun 1960-an, tetapi sebenarnya telah memiliki sejarah panjang. Sejak tahun 1963, Jepang bersama Korea mempelopori produksi MSG masal yang kemudian berkembang ke seluruh dunia, tak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri sudah beredar bermacam-macam merek penyedap masakan. Ada Ajinomoto buatan Jepang, Miwon dari Korea, Vetsin keluaran Taiwan, Sasa dari Hongkong, dan beberapa merek lagi. Setidaknya sampai tahun 1997 sebelum krisis, setiap tahun produksi MSG Indonesia mencapai 254.900 ton/tahun dengan konsumsi mengalami rata-rata sekitar 24, 1 % per tahun.
MSG itu sendiri ditemukan pada tahun 1908 oleh seorang profesor di Universitas Tokyo yang bernama Kikunae Ikeda. Ia menemukan kunci kelezatan pada kandungan asam glutamat. Penemuan ini melengkapi 4 jenis rasa sebelumnya, yaitu asam, manis, asin, dan pahit dengan umami (dari akar kata umai yang dalam bahasa Jepang berarti lezat). Sebelumnya di Jerman pada tahun 1866, Ritthausen juga berhasil mengisolasi asam glutamat dan mengubahnya menjadi dalam bentuk monosodium glutamat (MSG), tetapi belum tau kegunaannya sebagai penyedap rasa.
Sejak penemuan itu, Jepang memproduksi asam glutamat melalui ekstraksi dari bahan alamiah. Tetapi karena permintaan pasar melonjak, tahun 1956 mulai ditemukan cara produksi L-Glutamic acid secara fermentasi. L-Glutamic acid inilah inti dari MSG, berbentuk butiran putih mirip garam.
Sebenarnya MSG sendiri tidak memiliki rasa. Tetapi bila ditambahkan ke dalam makanan, akan terbentuk asam glutamat bebas yang ditangkap oleh reseptor khusus di otak dan mempresentasikan rasa dasar dalam makanan itu menjadi jauh lebih lezat dan gurih.
Efek Terhadap Hewan Coba
Di otak memang terdapat asam amino glutamat yang berfungsi sebagai neurotransmitter untuk menjalarkan rangsang antar neuron. Bila terakumulasi di sinaps (celah antar sel syaraf) akan bersifat eksitoksik bagi otak. Meski terakumulasi di otak, asam glutamat diusahakan untuk dipertahankan dalam kadar rendah dan nontoksik.
Pada konsumsi MSG, asam glutamat bebas yang dihasilkan sebagian akan terikat di usus, dan selebihnya dilepaskan ke dalam darah. Selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh termasuk menembus sawar darah otak dan terikat oleh reseptornya. Asam glutamat bebas ini bersifat eksitotoksik sehingga akan merusak neuron otak bila sudah melebihi kemampuan otak mempertahankannya dalam kadar rendah.
Oleh karena MSG telah merebak ke seluruh dunia, para ilmuwan sudah mengadakan berbagai penelitian pada hewan percobaan. Pada awalnya yang dipakai dalam percobaan adalah anak ayam, anak bebek, kelinci dan monyet kemudian berlanjut pada tikus.
Pada 1971, Shimizu dan kawan-kawanmengadakan penelitian yang melaporkan bahwa MSG yang diberikan kepada anak ayam yang dicampurkan pada air minummya menyebabkan matinya anak ayam tersebut karena ginjalnya rusak. Kemudian tahun 1973, Greenberg, dkk juga melaporkan bahwa tikus kecil yang diberi pakan MSG ketahuan sel-sel darah putihnya berubah berupa sel-sel kanker. Di tahun yang sama pula, Snapir dan kawan-kawan, melaporkan bahwa anak ayam yang diberi MSG jumlah sel otaknya berkurang 24% dibanding anak ayam yang normal tanpa diberi MSG.
Bahkan Journal Neurochemistry Indonesia edisi Maret 2003 melaporkan pada pemberian MSG sebanyak 4 mg/g berat badan ke bayi tikus menimbulkan neurodegenerasi berupa jumlah neuron lebih sedikit dan rami dendrit (jaringan antar sel syaraf otak) lebih renggang. Sementara bila disuntikkan kepada tikus dewasa, dengan dosis yang sama menimbulkan gangguan pada neuron dan daya ingat.
Menurut Jurnal Brain Research, pemberian MSG 4 mg/g terhadap tikus hamil pada hari 17-21 menunjukkan bahwa MSG mampu menembus plasenta dan otak janin menyerap MSG dua kali lipat daripada otak induknya. Kelompok anak-anak tikus yang mendapat MSG pada penelitian di atas justru lebih gemuk. Ternyata, MSG juga meningkatkan ekskresi insulin sehingga tikus-tikus tersebut menderita obesitas.
Hal tersebut senada dengan penelitian yang saya lakukan pada Agustus 2008. Pada penelitian tersebut saya mengamati perilaku tikus yang mendapat MSG dan madu. Perilaku yang diamati antara lain nafsu makan, berat badan, gerak, dan rangsang terhadap cahaya. Pada makanan tikus ada yang dicampur MSG dan ada yang dicampur madu.
Hasilnya pada tikus yang diberi MSG awalnya nafsu makannya pada awalnya meningkat, akan tetapi lama-kelamaan menjadi menurun. Hal ini disebabkan karena kondisi tikus menjadi lemah sehingga berat badan yang awalnya meningkat menjadi menurun. Begitu juga dengan gerakannya awalnya sangat aktif lama-kelamaan menjadi pasif. Bahkan ketika diberi rangsangan cahaya awalnya sangat antusias lama-kelamaan menjauhi cahaya. yang disebabkan kerusakan pada retina. Hal ini sama dengan laporan dari Experimental Eye Reseach tahun 2002 bahwa konsumsi tinggi MSG berakibat kerusakan pada fungsi dan morfologi retina.
Sedang pada tikus yang makanannya diberi madu nafsu makannya meningkat sehingga berat badannya mengalami kenaikan setiap harinya, gerakannya sangat aktif, dan rangsang terhadap cahaya juga tidak menjauh dari cahaya.
Efek Terhadap Manusia
Pada tahun 1959, Food and Drug Administration di Amerika mengelompokkan MSG sebagai “generally recognized as safe” (GRAS), sehingga tidak perlu aturan khusus. Tahun 1968, muncul laporan di New England Journal of Medicine tentang keluhan beberapa gangguan setelah makan di restoran China sehingga disebut “Chinese Restaurant Syndrome”, diduga MSG sebagai penyebabnya.
Maka pada tahun 1970 FDA menetapkan batas aman konsumsi MSG 120 mg/kg berat badan. Akan tetapi, laporan-laporan tentang MSG dengan Chinese Restaurant Syndrome pada tahun 1980 kembali terjadi berupa sakit kepala, palpitasi (berdebar-debar), mual dan muntah, yang diketahui bahwa glutamat berperan penting dalam sistem saraf.
Pada tahun 1986, Advisory Committe to Food Constituent di FDA menyatakan pada dasarnya MSG aman dikonsumsi, tetapi bisa terjadi reaksi jangka pendek pada sekelompok orang. Hal ini dilaporkan juga oleh European Communities (EC) Scientific Committe for Foods pada tahun 1991.
Laporan FASEB (Federal of American Socities for Experimental Biology) pada tahun 1995 juga menyebukan secara umum MSG aman dikonsumsi. Namun ada 2 kelompok orang punya reaksi berbeda. Pertama, sensitif terhadap MSG sehingga muncul keluhan berupa rasa panas di leher, lengan dan dada, diikuti kaku di otot dari daerah tersebut hingga ke punggung serta diikuti nyeri dada, sakit kepala, mual dan muntah. Gejala ini disebut MSG Complex Syndrome.
Kedua, penderita asma yang meningkat serangannya pasca konsumsi MSG. Bahkan, Prof. H. Aznan Lelo seorang Farmakolog USU dalam sebuah seminar menyebutkan MSG sebagai narkoba terselubung. Seperti narkoba pada umumnya, MSG juga dapat merusak otak dan pikiran manusia serta menyebabkan kecanduan pada pemakainya.
Saran untuk Pencegahan
Sejauh ini memang belum banyak dilakukan penelitian tentang MSG terhadap manusia. Hasil penelitian dari hewan, memang diupayakan untuk dicoba pada manusia. Akan tetapi hasilnya belum signifikan dan bervariasi. Seperti penelitian terhadap hewan, efek tidak terjadi dalam jangka pendek, tetapi setelah konsumsi jangka panjang meski dalam dosis rendah.
Ada satu hal yang sangat perlu disadari bahwa seringkali makanan dalam kemasan tidak mencantumkan kandungan MSG ini secara jelas. Padahal MSG memilik banyak nama lain.
Sebut saja penyedap rasa, hydrolized protein, yeast food, natural flavoring, modified starch, textured protein, autolyzed yeast, seasoned salt, soy protein dan istilah-istilah sejenisnya. Bisa jadi makanan yang selama ini kita pikir sehat dan aman dari MSG, ternyata bertabur dengan zat ini.
Yang jelas kita harus berhati-hati dalam menggunakan MSG terutama dalam makanan berkuah yang sering kali tidak disadari penambahannya. Padahal, kalau kita sadari hampir semua bahan makanan sudah mengandung glutamat, seperti susu, telur, daging, ayam, ikan, kentang, jagung, tomat, brokoli, jamur, anggur, kecap, saus dan keju, termasuk penyedap alami seperti vanili atau daun pandan. Jadi, upayakanlah untuk menggunakan penyedap yang alami agar masakan yang dimasak tetap sehat. Sebab sungguh kesehatan itu adalah nikmat yang sangat berharga.
(Penulis adalah alumni Program Profesi Apoteker Universitas Sumatera Utara)