Kaset Pita di Era Multimedia

Oleh: Rhinto Sustono. HINGGA kini, belum ada band di Tanah Air yang bisa menyamai rekor Koes Plus dalam hal jumlah lagu ciptaan. Jangankan di Indonesia, di negara mana pun belum ada band yang bisa sepadan. Apalagi jika menilik jumlah albumnya yang hampir menapaki angka 100.

Bagi Anda yang sekarang berusia lebih 30-an tahun, tentu nama band yang berdiri sejak 1960 ini sudah tidak asing lagi. Musiknya yang mudah dicerna dengan lirik-lirik sederhana, selalu membuat kita tidak bisa menahan goyangan kaki.

Berawal dari Koes Bersaudara, Djon (Koesdjono), Tony  (Koestono), Nomo (Koesnomo), Yon (Koesyono) dan Yok  (Koesroyo) Koeswoyo (1960- 1976), mereka pun mencapai puncak kejayaan saat muncul ‘the plus’, Murry (Kasmuri) sebagai  drummer yang mengubah nama  band mereka menjadi Koes Plus pada 1969 hingga sekarang.

Lagu-lagu mereka seperti, ‘Bujangan’, ‘Pelangi’, ‘Cubit-cubitan’, hingga ‘Andai Kau Datang’, dan lainnya seakan abadi dan melegenda. Tidak hanya dipopulerlan Koes Plus, tetapi banyak juga dirilis ulang untuk menaikkan popularitas penyanyi pada generasi berikutnya.

Selain Koes Plus, satu dekade berikutnya muncul God Bless turut meramaikan blantika musik Indonesia. Namun God Bless menjamahi genre musik berbeda, yakni rock. Bahkan membalikkan selera penikmat musik pada masa itu. Selain grup band, banyak musisi di negeri kepulauan ini yang berkibar pada era ’70 hingga ’80-an. Sebut saja Rinto Harahap, Obie Mesakh, Deddy Dores, dan lainnya. Tapi sadarkah kita, menikmati musik pada masa-masa itu sunghuh berbeda jauh dengan sekarang.

Hingga awal 2000-an sebelum akhirnya digantikan format digital album rekaman di Indonesia masih menggunakan kaset pita. Bahkan Peterpan sebelum berganti menjadi Noah,  pada album kedua ‘Bintang di Surga’ yang mengusung hits ‘Ada Apa Denganmu’ masih menggunakan piranti berwadah plastik dengan pita magnetik yang berputar dari satu gelondong ke satu gelondong lainnya.

Keterbatasan  pita magnetik pada sebuah kaset ini pula, yang membatasi jumlah lagu yang direkam. Paling banyak 15 lagu, biasanya rata-rata hanya 10 lagu dalam satu kaset masing-masing 5 lagu pada side A dan side B. Kondisi ini sering membuat kita repot, jika hanya beberapa lagu saja yang menjadi favorit, maka kaset harus diputar-ulang pada lagu yang diinginkan.

Sedikit repot, di situ memang seninya. Untuk bisa mendengarkan lagu dari kaset, tape recorder menjadi piranti lain yang harus dimiliki. Kapan terakhir kali Anda memutar kaset? Atau masihkah Anda menyimpan koleksi kaset di rumah?

Koleksi Kaset

Asik mendengarkan Utha Likumahua yang melantunkan ‘Sesaat Kau hadir’, tiba-tiba lagunya terpotong dan melompat ke lagu ‘Esok Kan Masih Ada’. Belum tuntas lagu kedua, terdengar suara tercekik yang mengingatkan saya pada 15 tahun silam. Yah, kaset dan tape. Sesaat saya baru tersadar, jika lagu yang saya dengarkan (bersama seorang teman yang duduk di bangku kemudi) tadi, bersumber dari sebuah tape kecil di mobil tersebut.

Tertawa kami pun pecah. Zaman secanggih ini, teman saya, Hutagalung masih menempatkan tape recorder di mobilnya yang tergolong kelas menengah. Penasaran saya muncul. Laci dasbor pun saya buka, ternyata ada lebih 15-an kaset di dalamnya. Luar biasa, album Indra Lesmana, Deddy Dhukun, Dian Pramanaputra, Iwan Fals, Ebiet G Ade, Fariz RM, KLA Project, Trio Libes, Keenan Nasution, dan album beberapa musisi lainnya tersimpan di dasbor itu.

Yang membuat saya semakin penasaran, Hutagalung yang selama ini saya kenal kesehariannya tidak lepas dari dunia multimedia, ternyata memiliki hobi yang unik, mengoleksi kaset pita. Bahkan beberapa album (kaset) musisi dan band kelas dunia masih dikoleksinya. Sebut saja The Beatles, Rolling Stone, Scorpions, Bee Gees, Queen, dan lainnya.

“Slow-lah, Mas. Jangan negejek selera jadul (jaman dulu-red),” katanya sambil senyum lebar menjawab rasa penasaranku. Menurutnya, kegemaran itu sebagai keseimbangan hidup. Meski zaman semakin canggih, selera lama harus tetap dijaga. Untuk mendapatkan koleksi kaset, ia banyak membeli di toko yang masih menyisakan penjualan kaset, di Medan. Tidak jarang, Hutagalung juga mengumpulkan dari teman-teman yang sudah tidak lagi mau berurusan dengan benda bernama kaset.

Sebelum Deli Plaza dinonoperasikan beberapa tahun lalu, imuh Hutagalung, masih ada outlet kaset di lantai satu. Koleksi kaset juga sebelumnya masih dijual di dekat pintu masuk sebuah plaza dekat rel Jalan Sisingamangaraja Medan. Bahkan di dekat Sambu, Jalan Sutomo, sebelumnya banyak penjual kaset bekas yang masih layak pakai. Kini hanya beberapa toko kaset lama saja yang masih tersisa atau di toko buku yang belum mengusung konsep modern.

Meski sedikit ribet, Hutagalung tidak khawatir jika tape di mobilnya membutuhkan servis berkala. Sebab masih ada tukang servis yang menjual jasa perbaikan tape. Ia juga mennjukkan sebuah senjata rahasia untuk mengatasi kasetnya yang merajuk. “Ini,” katanya singkat sambil menunjukkan sebuah pensil bekas. Jika Anda pernah akrab dengan kaset, pastilah Anda juga paham dengan fungsi pensil tersebut.

Sampul Artistik

Sejatinya kaset pita banyak ditinggalkan karena dianggap jadul, ketinggalan zaman, dan tidak praktis lagi. Sebab menikmati lagu dari kaset harus melalui tape deck dan radio tape di rumah ataupun di dasboar mobil. Selain perangkat pemutarnya yang menyita tempat, efisiensi tempat seperti langit dan bumi jika membandingkan antara kaset pita dengan sebuah alat penyimpan digital seperti flashdisck maupun kartu memori.

Namun terpulang pada pribadi masing-masing. Sebab hobi seseorang tidak bisa dikalahkan dengan alasan apapun, termasuk soal efisiensi. Apalagi persoalan mengoleksi kaset pita tidak sebatas pada mengoleksi lagu dari album yang digemari, di dalamnya turut terpaut mengoleksi sampul (cover) album yang memang didesain menarik dan bernilai artistik.

Jauh sebelum perangkat digital membumi, desain grafis yang kaya kreativitas pada sampul album kaset memang orisinal sentuhan tangan. Jika ditelaah, nilai seninya pun tidak kalah dengan digital grafis, bahkan kadang bisa lebih unggul.

Simak saja album kedua Slank, ‘Kampungan’  yang dirilis pada 1991. Kecuali ada suara dengkuran (asli dengkuran) yang direkam pada lagu ‘Nina Bobok’,  album Slank formasi 13 yang mengandalkan ‘Mawar Merah’ dan ‘Terlalu Manis’ ini sampul albumnya berbahan dasar kain yang bisa disetrika. Hasilnya, selain laku keras, album ini meraih penghargaan penjualan album terbaik 1991-1992 kategori Pop Rock dari BASF Awards.

Pada masa kejayaan rekaman dengan kaset pita, juga bukan sekadar lagu yang direkam. Ketenaran KH Zainuddin MZ dengan ceramah agamanya, juga direkam dengan perangkat yang sama. Jauh sebelum ketenaran kyai sejuta umat ini, bahkan serial sandiwara radio yang kelak diangkat dalam layar lebar, sebut saja ‘Butir-butir Pasir di Laut’, ‘Saur Sepuh’, ‘Tutur Tinular’, ‘Misteri Gunung Merapi’, ‘Ibuku Sayang Ibuku Malang’ juga menggunakan teknologi rekaman kaset pita.

Pun dulunya untuk bisa berkomunikasi dalam bahasa Inggris, cara belajar paling efektif di rumah, hanya bisa dilakukan dengan memahami percakapan yang direkam dalam kaset. Sekoper kaset dan bukunya hingga kini masih saya simpan rapi di rak buku.

Zaman boleh berubah, era digital pada industri rekaman kian menapaki puncaknya. Meski kaset semaki langka, namun kolektor kaset tak pernah lelah. Perburuan terus dilakukan. Uniknya, kolektor kaset-kaset lawas cenderung memburu album Indonesia. Sehingga harganya melangit hingga Rp.400-an ribu perkaset.  

Layaknya koleksi benda-benda langka lainnya, pasar kaset bekas juga dipengaruhi tiga faktor utama: tingkat kelangkaan, kondisi fisik, dan minat kolektor. Khusus untuk kaset, bahkan ketiga factor itu masih diperkuat dengan kreteria ketenaran musisi dan usia labumnya. Lima hal itulah yang menjadikan harga kaset bekas semakin tidak terbendung.

Nah, masihkan Anda memiliki koleksi kaset yang berkreteria tersebut? Jika Anda tidak sempat merawatnya, sangat bijak koleksi Anda segera dipindahtangankan kepada orang yang tepat.

()

Baca Juga

Rekomendasi