Oleh: Meyani.
Bagi orang Batak Toba, martarombo atau menjelaskan silsilah, adalah hal yang harus diketahui dan penting dalam kehidupan keseharian mereka. Begitu pentingnya hal ini, sehingga setiap orang Batak Toba dituntut harus mampu menjelaskan silsilah diri dan keluarganya. Hal paling dasar misalnya, wajib mengetahui klasifikasi marga, no urut, asal muasal serta kampung asal dia dan kedua orangtuanya.
Jika silsilah ini saja tidak diketahui, alamat seorang Batak Toba sudah pasti akan kehilangan jati diri. Karena kesulitan berinteraksi dengan sesama, khususnya di dalam kegiatan adat. Apalagi jika dia sudah menikah, pengetahuan itu tidak berhenti sampai di silsilah saja. Dituntut pengetahuan yang lebih mendalam lagi. Contohnya harus tahu silsilah marga dari pihak istrinya, termasuk silsilah keluarga orangtua istrinya itu.
Bagi orang Batak Toba yang sudah berkeluarga, hal ini wajib diketahui. Mengingat mau tidak mau dia akan berhadapan dengan peristiwa adat yang menuntut pemahamannya itu. Tidak sekedar tahu, seorang Batak Toba dituntut menunjukkan pengetahuannya itu melalui sikapnya, terutama di dalam kegiatan adat.
Misalnya ketika posisinya sebagai boru. Sekalipun dia juga adalah undangan dalam pesta adat itu, tentu dia akan mengambil tugas dan posisi sebagai boru. Melayani para undangan yang hadir. Jangan sampai sebaliknya. Ketika pihak yang berpesta adalah hula-hulanya (marga dari pihak istrinya), sekalipun bukan termasuk kerabat dekat keluarga istrinya itu, malah duduk di barisan paranak.
Sebagai contoh jika marga Pasaribu berpesta, kebetulan istri kita boru pasaribu, dalam posisi di pesta itu, kita adalah boru. Salah satu tugas kita adalah membantu penyelenggara pesta. Sekalipun kehadiran kita pada pesta itu, mungkin saja sebagai undangan biasa. Bilapun tidak diminta oleh penyelenggara pesta atau raja parhata (yang memimpin jalannya kegiatan adat itu). Seorang Batak Toba yang melek adat, akan langsung mengambil perannya.
Dari posisi dan fungsi kitalah, terlihat hubungan kekerabatan adat dengan pihak yang menggelar pesta. Syukurlah di gedung-gedung pesta adat seperti wisma, telah mengatur posisi masing-masing undangan. Antara lain posisi pihak paranak dan parboru. Undangan tidak salah memilih tempat duduknya.
Adat dalam budaya Batak khususnya Toba, memang terbilang kompleks. Secara teori, dia akan sangat sulit dipelajari. Untuk memahaminya seseorang harus terlibat langsung dalam praktik. yakni dengan mengikuti pesta-pesta adat. Baik pernikahan, kematian, sulang-sulang pahompu dan sebagainya.
Tidak cukup sekali atau dua kali, melainkan harus berkali-kali sehingga menjadi pengalaman sehari-hari. Untuk mengetahui seluk beluk paradatan di Batak Toba, dasar paling utama adalah mengetahui tarombo atau silsilah marga serta paham dengan konsep Dalihan Natolu.
Konsep kekeraban Dalihan Natolu, hingga kini masih menjadi panduan bagi orang Batak Toba dalam menjalankan kegiatan adatnya. Aturan tidak tertulis, merupakan panduan bagi orang Batak Toba ketika menggelar pesta adat.
Seiring memudarnya keyakinan dan pemahaman masyarakat terhadap nilai-nilai termuat dalam Dalihan Natolu, sering kita lihat fakta di lapangan. Kondisinya tidak sesuai dengan falsafah. Banyak orang Batak yang tak mau lagi menempatkan dirinya sesuai dengan aturan kekerabatan itu.
Sebagai contoh, pihak parboru mungkin karena kekayaan yang dimilikinya, tidak mau mengambil peran sebagai pelayan di pesta marga hula-hulanya. Bukan karena ketidaktahuan, melainkan karena merasa dia lebih hebat. Fakta-fakta ini banyak ditemukan dalam berbagai pesta adat, baik di kota maupun di kampung.
Padahal prinsip Dalihan Natolu yang dianut oleh orang Batak Toba, serupa tiga tungku perapian. Jika satu tungku perapian itu oleng akan mengganggu keseimbangan. Ketiga pilar Dailhan Natolu (somba marhula-hulu, manat mardongan tubu, elek marboru) harus dipraktikkan. Baik dalam adat maupun hidup sehari-hari. Ketika masing-masing marga yang terlibat Dalihan Natolu mengambil peran masing-masing, barulah pesta adat itu dapat berjalan.
Dalihan Natolu, dilandasi prinsip demokrastis. Di satu kesempatan seorang Batak Toba menjadi boru yang bertugas melayani. Di dalam kesempatan lain, dia berfungsi sebagai dongan tubu maupun hula-hula. Dalam arti prinsip Dalihan Natolu ini mengacu pada keseimbangan sistem sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Memosisikan diri sesuai dengan posisinya adalah hal yang mesti dijalankan setiap orang Batak Toba.
Posisi Ganda
Adapula hal menarik lain yang biasa ditemui di dalam suatu pesta adat. Adanya posisi ganda. Di satu sisi dia adalah parboru, tetapi jika ditarik pada tarombo yang lain, dia adalah hula-hula. Fakta ini lazim kita temukan ketika menghadiri pesta adat orang Batak Toba. Biasanya ini terjadi pada perkawinan yang saling silang.
Misalnya seorang pria marga Manurung menikah dengan perempuan dari marga Simbolon. Padahal ibu perempuan ini adalah boru Manurung. Seharusnya pria marga Manurung ini adalah hula-hula Simbolon. Karena dia menikah dengan anak perempuannya, posisinya menjadi boru. Biasanya untuk kasus semacam ini, posisi seseorang akan ditentukan berdasarkan kekerabatan yang paling dekat. Pada masa lalu, pernikahan semacam ini memang dilarang adat. Kini sudah sering terjadi dan perlahan-lahan seolah mulai dimaklumi.
Walau kenyataannya begitu, di dalam pesta adat, terutama pernikahan, tetap saja akan ada penyesuaian tersendiri. Biasanya undangan yang kebetulan posisinya sama akan bersikap berbeda ketika menyematkan ulos. Contohnya, seorang perempuan boru Simbolon atau yang masuk dalam satu marga Simbolon, tetapi suaminya Manurung atau yang masuk dalam satu marga dengan Manurung. Hanya akan mangulosi si pengantin perempuan saja. Si laki-laki cukup disalam. Karena dia tak mungkin mengulosi hula-hulanya sendiri. Beda hal bila suami si perempuan itu bukan marga Manurung atau yang sama dengan marga Manurung. Posisinya mereka justru menjadi setara dengan pengantin di dalam adat. Sama-sama boru.
Hal-hal ini hanyalah bagian kecil dari kompleksnya peradatan dalam kebudayan Batak Toba. Belum lagi terkait dengan pembagian jambar maupun ulos lengkap dengan peristilahan serta nilai-nilai yang dikandungnya. Karena itu, tidak semua orang Batak Toba mampu memahaminya. Di sanalah peran tokoh adat yang menuntun dan mengarahkan jalannya suatu pesta adat. Meski mereka juga jarang yang dapat memahami adat itu secara keseluruhan.
Sekali lagi, pengetahuan mendasar yang mesti dipahami setiap orang Batak Toba adalah tarombo. Dengan mengetahui tarombo diharapkan seorang Batak akan berada pada koridor adatnya. Karena dengan tarombo itu, orang Batak Toba akan tahu posisinya masing-masing.
Dalam konteks muda-mudi, tarombo akan menjadi batasan dalam pergaulan mereka. Ini untuk meminimalisir kasus-kasus pernikahan seperti yang dicontohkan di atas.
Lebih dari itu, dengan mengetahui tarombo, seorang Batak Toba akan lebih supel bergaul dan bijak menempatkan diri. Baik dalam adatnya maupun pergaulan yang lebih luas.
Penulis; peminat sastra dan budaya Batak Toba.