Industri Rekaman Lesu Dihantam Media Teknologi Digital

Oleh: Diurnanta Qelanaputra.

Tahun baru selalu diikuti oleh harapan baru. Demikian juga tahun 2016  yang tak lepas dari perjalanan sepanjang 2015 lalu. Di bidang industri rekaman musik misalnya, label (perusahaan rekaman) di tanah air lesu darah. Kemajuan teknologi digital salah satu penyebabnya.

Lesunya industri rekaman di tanah air sejatinya sudah berlangsung sejak lima tahun terakhir. Selain menurunnya daya beli masyarakat karena perekonomian yang melamban juga disebabkan sejumlah faktor lain seperti  maraknya media berbasis teknologi digital.

Pada masa lalu ketika digitalisasi belum memasyarakat di Indonesia, pasar kaset audio yang mengandalkan pita magnetik masih jadi pilihan para konsumen.

Di mana-mana mudah kita menemukan toko kaset.  Setelah itu muncul rekaman audio dalam Compat Disc (CD). Namun harganya sangat mahal dibandingkan kaset audio. Bisa mencapai 3-5 kali lipat harga kaset.  Perbedaan mencolok inilah yang kemudian jadi celah bagi pelaku pembakan CD untuk menggandakan dan memproduksi secara massif CD bajakan. Tidak tanggung-tanggung, harga CD bukan hanya jauh lebih murah dari yang asli melainkan juga jauh di bawah harga sebuah kaset audio berpita magnetik. Tidak heran jika satu persatu industri rekaman kolaps dan toko toko kasetpun tutup.

Sementara kalangan pencipta lagu dan penyanyipun ikut dirugikan karena tidak mendapatkan hak royalti atas penjualan CDnya (jika bukan ikut sistem flat -sekali bayar di awal tuntas.). Ya bagaimana mau dapat royalti , CDnya bajakan bukan orisinal.

Dulu para produser, pencipta lagu dan penyanyi recok menuding pembajakan sebagai biang kerok rontoknya industri rekaman musik di tanah air, bahkan ada penyanyi dari grup trio lagu Batak jika ke Medan menyempatkan ke Pasar Sambu Medan untuk menginvestigasi apakah CD bajakan mereka dijual di kawasan itu.

Kemajuan Media Teknologi Digital

Kini, setidaknya sejak 5 tahun terakhir, penyebab lesunya industri rekaman musik di Indonesia bukan lagi hanya pembajakan seperti dulu lewat CD bajakan, melainkan kemajuan media teknologi digital yang tak dapat dibendung seperti Youtube, website yang memutar video musik yang bisa dinikmati gratis lewat internet dan juga dapat didownload gratis. Begitu pula situs situs berbagi file musik gratis.   

Pemerintah sendiri sudah berusaha membendung. Pada 12 November 2015 lalu Kemenkominfo memblokir 22 situs yang sering digunakan untuk mendownload lagu secara ilegal atas permintaan Kementerian Hukum dan HAM namun hal itu tidak berpengaruh banyak karena toh orang masih bisa menikmati di Youtube dan sumber sumber lain di internet.

Begitu sebuah lagu selesai diunduh, tinggal dibagi ke orang lain lewat bluetooth misalnya. Logikanya, untuk apa lagi beli rekaman fisik dalam format CD nya?

Maka jangan heran jika toko kaset dan CD sebesar Aquarius Mahakam di Jakarta pun tutup pada Desember 2013 lalu. Setelah itu, giliran Disc Tarra juga menutup sejumlah outlet-nya di Inponesia per malam tahun baru 31 Desember 2015 kemarin. Di Medan pun banhyak toko kaset dan Cd melakukan hal yang sama.

Produser rekaman nasional sendiri dalam beberapa tahun terakhir menyadari kondisi itu. Toko penjual kaset dan CD tak lagi bisa diandalkan.

Gantinya melalui terobosan antara lain lewat restoran cepat saji, mini market dan SPBU penjual BBM. Tapi hasilnya tak semua mulus. Banyak yang penjualannya tak mencapai target alias gagal meski publikasi dan promosi sudah dipush.

Apa yang dihadapi pelaku industri rekaman musik di Indonesia sebenarnya sebuah proses alamiah dari kemajuan teknologi digital yang tak dapat dibendung. Kondisi ini bukan hanya dihadapi Indonesia melainkan juga dunia. T

idak lagi zamannya menjual rekaman fisik dalam bentuk CD apalagi kaset. Efek ini juga dialami Tower Records yang berbasis di Sacramento, California. Setelah 46 tahun berkibar sejak muncul pada 1960, perusahaan multinasional ini akhirnya tergerus kemajuan zaman, tutup pada tahun 2006 setelah dinyatakan bangkrut.

Penjualan rekaman dewasa ini memang tak lagi bisa hanya mengandalkan fisik melainkan secara digital.  

Tower pun kini beralih melakukan penjualan online. Sayangnya masyarakat kita belum familiar membeli secara digital, selain itu budaya gratisnya lebih tinggi. Daripada membayar, lebih baik mengunduh dari berbagai sumber atau minimal memutar lewat Youtube saja tanpa repot membeli.

Efek lesunya penjualan rekaman, label besar sekalipun saat ini mikir dua kali untuk langsung melepas album artisnya ke pasar. Trik yang lazim digunakan adalah merilis dulu satu single yang dijagokan sebagai hits di media digital seperti Youtube atau Vevo. Dari situ kemudian dipantau seberapa banyak viewernya.

Jika dalam waktu singkat jumlah viewer banyak maka barulah produser melepas single kedua dan selanjutnya mengeluarkan album yang umumnya berisi 9-10 lagu sepe

Media lainnya yaitu memanfaatkan acara hiburan di TV swasta untuk memperkenalkan artis dan lagunya. Sedangkan roadshow off air seperti pertunjukan ke daerah kini sudah jarang dilakukan industri rekaman karena biaya yang sangat besar dan belum tentu hasilnya efektif. Jikapun ada artis show atas tanggapan dari panitia dan even sponsor, bukan khusus  dari label rekaman.

Kesimpulan

Melihat perkembangan media teknologi digital yang kian memasyarakat dan kemudahan mengakses situs situs lagu gratis internet seperti Youtube, maka diperkirakan ke depan industri rekaman di Indonesia masih tetap akan kesulitan untuk menjual produk fisiknya maupun penjualan secara digital. Apalagi menngunduh gratis sudah membudaya di sebagian besar kalangan masyarakat kita.

Hanya orang orang tertentu yang memiliki apresiasi tinggi terhadap musik dan kategori audiophile - yang mengutamakan kualitas suara rekaman-  yang akan tetap menjadi pelanggan sejati. Sayang, jumlah mereka tak banyak. ***

Penulis alumnus USU, penggemar musik, peminat sosial dan budaya.

()

Baca Juga

Rekomendasi