Oleh: Mihar Harahap
“SATU gelas tuak, penambah darah. Dua gelas tuak, lancar bicara. Tiga gelas tuak, mulai tertawa-tawa. Empat gelas tuak, mencari gara-gara. Lima gelas tuak, hati membara. Enam gelas tuak membuat perkara. Tujuh gelas tuak, semakin menggila. Delapan gelas tuak, membuat sengsara. Sembilan gelas tuak, masuk penjara. Sepuluh gelas tuak, masuk neraka,” ujarnya memperingati anak semata wayangnya itu. Jadi, kalau ingin meminum tuak, cukup tiga gelas saja.
Demikian kutipan cerpen “Gelas Tuak Amang” karya Novaldi Herman. Selain cerpen ini, juga cerpen “Topo Membuka Jendela” karya YS Rat. Cerpen “Berladang di Punggung Mahasiswa” karya Arbi Syafri Tanjung dan cerpen “Maria ke Pantai” karya Ken Hanggara.
Keempat cerpen ini dimuat di rubrik Rebana Analisa Minggu Medan, edisi Desember. Merupakan penutup cerpen tahun 2015 untuk menyongsong pembukaan cerpen tahun 2016 asuhan Idris Pasaribu.
Satu gelas tuak, katanya penambah darah. Berarti menyehatkan bagi orang yang kekurangan darah. Dua gelas tuak, lancar bicara. Berarti bagus buat orang gagap atau tak bisa berbicara di muka orang lain secara serius. Tiga gelas tuak, mulai tertawa-tawa. Berarti menyenangkan bagi orang yang sulit tertawa, mungkin karena susah hidup. Bila meminum tiga gelas tuak akan menyehatkan jiwa dan raga. Benar tidaknya dampak positif minum tuak ini, perlu penelitian.
Begitu pula, bila empat hingga sepuluh gelas tuak diminum. Efeknya, mulai dari mencari gara gara sampai masuk neraka. Artinya, kalau tuak diminum berlebihan, akan membuat kesengsaraan, berdampak negatif, berdosa dan masuk neraka. Karena itu, tuak di luar sebagai minuman tradisi, bila diminum lebih besar buruknya (ada tujuh) daripada baiknya (ada tiga). Pantaslah bila dilarang. Lain halnya bila sepuluh akibat minum tuak ini untuk kepentingan cerpen saja.
Memercik air di dulang terkena muka sendiri. Amang menasehati anaknya, Darius, agar tidak minum tuak berlebihan. Ternyata, di lapo tuak Lae Bonar, Amang sendiri justru minum tuak berlebih. Dia minum sepuluh gelas. Akibatnya, dia mabuk dan pingsan. Dialah calon masuk neraka itu.
Begitulah, terkadang, kita melarang orang, tetapi kita sendiri pun melanggar larangan itu. Bayangkan seandainya Amang adalah seorang gubernur, bagaimana jadinya nasib rakyat?
“Selama ini kita memang merasa punya semangat hidup yang tinggi setiap menerima pendapat-pendapat Topo. Kita tidak pernah punya semangat untuk mengubah kehidupan yang sebenarnya sudah tidak layak. Sekarang kita harus berbuat. Kita menemui Topo sekarang juga. Kita tunjukkan, kita datang dengan ikhlas untuk membantunya,” ajak seseorang. Semua mereka setuju dengan ajakan itu. Kutipan cerpen “Topo Membuka Jendela” karya YS Rat.
Diceritakan kalau Topo mengurung diri di kamar bahkan semula tanpa membuka jendela. Jika pendapatnya sudah tidak didengar, apalagi dilaksanakan, baik oleh kawan-kawan maupun orang lain, untuk apa berbuat lagi. Sia-sia saja. Lebih baik diam, tanpa komunikasi dengan siapapun. Hanya bekerja atau untuk kepentingan sesuatu Topo ke luar. Setelah itu, dia lebih baik mengurung diri di kamar, meski kawan-kawan merasa risih jadinya.
Cerpen ini selesai sesudah kawan-kawan (Kelana menjadi Topo) mau mendengar, berbuat dan membantu rencana besar Topo. Karena itu, dia membuka jendela, tersenyum dan ke luar. Berjalan perkasa, menemui dan masuk ke tubuh kawannya.
Apakah rencana besar itu? Bagaimana kawan-kawan akhirnya menyetujui rencana besar itu? Tak jelas. Hanya seperti judul, dikatakan Topo membuka jendela, tetapi rencana apa di balik jendela itu masih tertutup.
Topo adalah sebuah generasi, kata cerpenis. Generasi gagap gempita, bukan gegap gempita Memang sebagai generasi, Topo menyimpan rencana besar, semangat besar. Begitu ingin dikerjakan, ternyata penuh tantangan. Orang dewasa, generasi tua pun menganggapnya gila. Tantangan inilah yang membuatnya menjadi gagap, tak percaya diri atau kehilangan semangat. Dia, mencoba bangkit, tetapi tak jelas. Barangkalai sekedar fenomena saja.
“Benarkah ada dosen menjual buku pada mahasiswa, pak? Wajib dibeli katanya Pak? Benarkah harga buku yang dijual dosen-dosen itu bisa mencapai tiga kali lipat dari harga sebenarnya pak? Oh ya bapak. Apakah tugas-tugas kuliah itu bisa sesuka hati dosennya juga ya pak. Perjalanan mahasiswa keluar kampus. Atau keluar kota terkait mata kuliah seorang dosen biayanya harus ditentukan dan dikelola dosen juga ya pak?”
Kutipan cerpen “Berladang di Punggung Mahasiswa” karya Arbi Syafri Tanjung. Cukup mengenaskan judul cerpen ini. Tak terlihat lagi kalau dosen (katanya berladang di punggung mahasiswa). Sebenarnya mengajar dan mendidik mahasiswa dengan penuh tanggungjawab. Ilmunya, dedikasinya dan kreativitasnya, sehingga mahasiswa menjadi pintar, mandiri dan bersikap dewasa. Kelihatannya hanyalah buruknya dosen di luar kegiatan akademik.
Menyuruh mahasiswa membaca ( kalau boleh membeli buku) adalah baik. Memberi tugas mahasiswa (terstruktur atau mandiri) adalah baik. Membawa mahasiswa ke luar kota (terkait mata kuliah) untuk observasi atau penelitian adalah baik.
Di luar itu, misal menyangkut uang buku, biaya perjalanan, kalau tak ada harga standar, maka dapat dinegokan. Terpenting kedua belah pihak saling mengerti, terbuka dan ikhlas. Tanpa ada intimidasi para dosen.
Jadi, tidak ada keluhan yang disebut berulang-ulang,”Tak ondak. Tak ondak aku lagi yang kuliah ni.” Keluhan ini dapat mengaibatkan rugi diri sendiri.
Terlepas soal di atas, ada dua hal yang perlu diperhatikan. Pertama, jalan cerita. Ada kalimat dalam paragraf yang justru mengaburkan kesatuan cerita, terlalu mengembang serta kurang mendukung penjelasan. Kedua, pemakaian EYD yang belum tertib. Misal penulisan tanda baca dan kata depan yang keliru.
“Maria tidak pernah sebahagia itu sejak semasa saya masih di tubuh lelaki gagah. Dia bahagia memikirkan anak-anak dan saya. Sebagai kekasihnya, biarpun mati dan bisu, saya tahu dia tidak akan berkhianat dan terus saja mengkhayalkan.../ Seandainya aku punya anak, katanya, kamu harus jadi bapaknya. Meski anak itu lahir dari hasil anugrah Tuhan, bukan persetubuhan, sebagaimana akhirnya Isa lahir melalui Maria yang perawan suci.”
Kutipan cerpen “Maria ke Pantai” karya Ken Hanggara. Satu cerita legenda atau yang melegenda tentang cinta segi tiga, Saya, Maria dan Utami. Ketiganya mati. Saya, lelaki gagah, pernah menjabat Kepala Sekolah, akhirnya menjadi mercusuar.
Maria, mencintai Saya sebagaimana Saya mencintainya, dibakar warga desa, akhirnya menjadi hantu dan bergentayangan di sepanjang pantai. Utami, penyihir, buruk rupa, anak Kepala Desa, sangat mencintai Saya.
Barangkali agak berlebihan bila Saya dan Maria bagaikan Isa dan Maryam. Artinya, Maryam melahirkan Isa, meskipun tanpa persetubuhan. Saya dan Maria pun sama. Mengingat cerita itu merupakan legenda, penekanan nilai spiritualnya, Maryam melahirkan Isa adalah takdir. Mungkin Utami mampu menyihir Saya menjadi mercusuar atau Maria menjadi hantu. Maryam melahirkan Isa bukanlah sihir, kecuali kehendak Tuhan.
Dalam pandangan warga desa, Saya dan Maria sudah mati menjadi mercu suar dan hantu mercu suar itu. Bagi mereka masih hidup bahkan bisa melahirkan anak-anak walau tanpa persetubuhan. Hal ini hanyalah pengandaian semata.
Sayangnya, cerita ini diungkap pengarang secara sederhana dan mendatar saja, sehingga terasa monoton. Padahal ceritanya penuh gejolak yang semestinya menarik dan mengesankan. Selamat tahun baru 2016.