Ronggeng Melayu

Oleh: Muhammad Yusuf

DALAM pengistilah masya­rakat Jawa, ronggeng dikenal untuk menamakan penari wanita, tampil dalam sebuah pertunjukan tari hiburan. Ronggeng menjadi sebuah pertunjukan, sangat dige­mari masyarakat Jawa disebabkan sangat mudah dijumpai dalam acara-acara hiburan rakyat. Bebe­ra­pa kesenian menampilkan rong­geng antara lain, ketuk tilu, rong­geng gunung, dombret, doger kon­trak, tayub dan lain-lain.

Istilah ronggeng juga familiar didengar pada penari-penari Me­layu, walau secara penterjemahan kata ronggeng lebih identik pada tarian Jawa. Istilah ini tentunya menimbulkan kontroversi keseni­an mana yang lebih dahulu meng­gunakan istilah ronggeng ini.

Dalam tulisan Soedarsono dise­butkan memang ronggeng Melayu jelas lebih tua keberadaannya. Isti­lah ronggeng tercatat pada abad ke-15 di Hikayat Hang Tuah. Kese­nian yang memuat ronggeng di da­lamnya juga sudah ada jauh se­belumnya. Hanya saja menggu­nakan pengistilaan lain yaitu Te­ledek.

Polemik ini memang sudah dijelaskan oleh beberapa sumber penelitian. Salah satu peneliti yang mengangkat dan mengupas ten­tang Ronggeng Melayu ialah Muhammad Takari. Dalam pene­li­tiannya berjudul “Ronggeng Me­layu Sumatera Utara: Sejarah, Fungsi dan Strukturnya”. Dengan rentetan penjabaran yang panjang mencoba melacak asal-usul tari berpasangan pada etnis Melayu.

Dalam analisisnya mengemu­ka­kan, beberapa pendapat ahli me­ngungkapkan, ronggeng merupa­kan sebuah tarian berpasangan. Diadopsi dari  tarian budaya barat, mengingat iringan dalam rong­geng juga banyak menggunakan instrumen musik barat. Saat ini ronggeng lebih identik menggu­nakan musik daerah penggunanya.

Beberapa juga berpendapat, ronggeng sendiri terdiri dari dua su­ku kata yaitu, wrong (tidak be­nar) dan geng (kelompok). Mengi­ngat biasanya ronggeng lebih me­ngarah pada tarian yang kurang ba­ik.

Takari menyebutkan dalam pe­nelitian ronggeng Melayu kemung­kinan dipengaruhi oleh ronggeng dari Jawa. Pada masa kolonial Be­landa banyak kuli kontrak ber­asal dari Pulau Jawa bekerja pada perkebunan di Sumatera Timur. Umumnya didiami orang Melayu. Tidak terlepas dari kehadiran ma­syarakat Melayu yang mampu berbaur dan berinteraksi dengan non-Melayu sendiri.

Sifat leluhur Masyarakat Mela­yu, menerima dan terbuka akan kebudayaan baru. Menjadikan ba­nyak kebudayaan berkultur dan me­lebur pada culture Melayu.

Salah satu contoh akulturasi yang terjadi antara lain, musik za­pin memilik unsur musik arab di dalamnya. Banyak lagi sebenar­nya. Betapa Melayu menerima dan mengadopsi beberapa kebuda­yaan dan membentuk kesenian Me­layu.

Ronggeng Melayu jika diarti­kan merupakan tarian berpasa­ngan. Ppenari perempuan bernya­nyi sambil bergoyang.

Di Sumatera Utara jenis tarian serupa, namun tak sama dengan rong­geng sangat banyak. Di Tanah Karo, Parkolong-Kolong merupa­kan tarian berpasangan berisi nya­nyian. Gombalan-gombalan antar pemuda dan pemudi yang saling berbalasan. Di Simalungun disebut dengan moning-moning.

Di wilayah pesisir Sumatera Ba­rat ada tari kapri, tari kaparinyo, tari gamat dan juga ronggeng. Di Banjarmasin penari sejenis rong­geng disebut gandot. Di Pa­lem­bang dinamakan pelanduk serta dalam perkembangannya di Malaysia terdapat juga joget. Beda­nya, joget lebih identik pada tarian saja, sedangkan ronggeng melaku­kan tarian sambil terkadang ber­nyanyi.

Kebangkitan tarian Melayu di­mulai era abad ke 20, dipuncaki pada peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928. Gaungan ke­bangkitan itu dimulai saat seorang koreografer Ternama asal Ser­dang Bedagai, Sumatera Timur Guru Sauti dan dibantu oleh O.K Adram. Mereka menciptakan tarian, kini diakui keberadaannya di Wilayah Nusantara yaitu kom­posisi Tari Serampang Dua Belas.

Dalam tari Serampang Dua Be­las, banyak unsur-unsur mencerap ronggeng Melayu. Hasil dari buah karya Guru Sauti dan O. K Adram ditarikan pada acara Muziek en Toneel Vereniging Andalas di Grand Hotel Medan. Sekarang bernama hotel Dharma Deli), dita­rikan oleh Guru Sauti dan O.K Adram didampingi oleh dua orang penari wanita.

Keyakinan keberhasilan Guru Sauti menyebarkan budaya Mela­yu lewat Tari Serampang Dua Be­las ditandai pada Kongres Rak­yat Indonesia. Kongres dimotori oleh GAPI (Gerakan Politik Indonesia) tahun 1939. Menekankan ke­satuan nasional secara bulat le­wat hasil kongres berupa, peneta­pan Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Bendera merah putih sebagai bendera nasional, dan lagu Indonesia Raya sebagai lagu kebangsaan.

Sebenarnya Presiden Sukarno ingin sekali menjadi tari Seram­pang Dua belas sebagai tari per­gaulan nasional. Tidak lain dan ti­dak bukan mengingat analog pa­da dengan bahasa Indonesia ber­asal dari bahasa Melayu.

Harapan itu sirna, ketika sang Ploklamator lengser dari jabatan­nya sebagai pemegang tampuk ke­kuasaan di Indonesia. Sukarni lengseer pa­da peristiwa Pembe­rontakan PKI 30 September 1965 yang gagal.

Penulis: Mahasiswa Prodi Pendidikan Musik FBS Unimed

()

Baca Juga

Rekomendasi