Nobel Sastra di Tangan Musisi

Oleh: Jones Gultom.

Setelah beberapa ming­gu ditung­gu, akhirnya pe­nerima Nobel Sastra 2016, Bob Dylan angkat bicara. Dia akhir­nya merespon keputusan Swedish Academy yang memilihnya meraih penghargaan sastra ter­tinggi di dunia itu. Meski begitu, dia tidak tegas menga­takan, ha­dir atau tidak, saat penganuge­rah­an 10 Desember mendatang.

Nama Dylan di bursa Nobel Sastra memang bukan kali per­tama muncul. Tahun lalu dia juga masuk nominasi. Terpilih­nya dia di tahun ini semakin mem­buka peluang di luar sastra­wan. Selain Dylan, Nobel Sastra juga pernah diberikan kepada yang bukan sastrawan. Di antara­nya Winston Churchill dan jur­na­lis asal Belarusia, Svetlana Alexievich.

Winston Churchill mendapat­kan hadiah ini atas pidato politik­nya yang dianggap mengampa­nye­kan nilai-nilai kemanusiaan. Svetlana Alexievich diganjar No­bel Sastra karena laporan-la­poran jurnalistiknya yang naratif.

Pengumuman ini tentu di­sam­but gembira terutama oleh penggemar Dylan di seluruh pen­­juru dunia. Keputusan ini juga diprotes sejumlah orang. Sa­lah satunya novelis Rabih Ala­meddine. Dia mengecam ke­putusan itu sebagai langkah yang keliru. Protes serupa juga berkem­bang di media cetak di Amerika. Antara lain seperti yang dimuat di New York Ti­mes.

Sebagai musisi, karya-karya Dy­lan cukup dikenal. Lagu-lagu ciptaannya banyak yang dinya­nyi­kan ulang oleh musisi lain. Sebut saja “Knockin’ On Hea­ven’s Door “ yang direkam tahun 1973. Kurang lebih satu dekade kemu­dian, lagu ini dipopulerkan kembali oleh kelompok musik rock GNR. Selanjutnya diaran­se­men secara lebih feminism oleh April Lavigne.

Kepopuleran Dylan memang tak perlu diragukan. Dia pernah di­undang Paus Yohannes Paulus II dalam acara resmi di Vatikan. Paus memuji Dylan karena lirik-lirik lagunya yang berpihak pada masyarakat miskin dan lemah.

Sumber kekuatan lirik lagu Dylan adalah keyakinan tentang kehidupan yang lebih baik. Se­lama karirnya Dylan telah me­nye­bar energi kebaikan bagi se­luruh penduduk di dunia, kata Paus, ketika itu.

Di dunia musik, pemilik na­ma Robert Allen Zimmerman ini, dikenal brilian dalam bermu­sik dan menciptakan lagu. Dia me­nguasai beberapa aliran mu­sik. Antara lain, balada, country, blues, rockabilly, gospel, rock and roll, jazz dan swing. Lirik lagu yang ditulisnya seba­gian besar bersumber dari keka­yaan tradisi lisan serta folklore pada masya­rakat tradisional Amerika. Karenanya lagu-lagu Dylan kaya akan rasa dan dekat dengan realita masyarakat. Te­ma-tema seperti politik, sosial, filosofi hidup dan kemanusiaan, serta nilai-nilai ketuhanan hadir dalam lagu-lagu ciptaannya.

Dalam menulis lagu, Dylan menggu­nakan kata-kata yang se­derhana namun sarat makna. Dia mengangkat perma­sa­lahan-permasalahan yang tengah di­alami manusia tanpa tendesi yang berlebihan. Tidak heran bi­la lagu-lagunya bisa dengan mu­dah diterima masyarakat. Saya mengambil dua bait lagu “Kno­ckin’ On Heaven’s Door”.

Mama take this badge from me. I can’t use it anymore. It’s get­tin’ dark, too dark to see. Feels like I’m knockin’ on Hea­ven’s door. Knock knock kno­ckin’ on Heaven’s door. Mama put my guns in the ground. I can’t shoot them anymore. That cold black cloud is comin’ down. Feels like I’m knockin’ on Hea­ven’s door.

Meski bernada protes namun lagu itu tidak emosional dan ter­jaga kepuitisan­nya. Begitulah Dylan telah menjadi inspirasi musisi-musisi di berbagai nega­ra.

Sejak tahun 80-an sindrom Dy­lan mewabah musisi di ber­ba­gai negara. Dengan style gitar akustik, harmonika dan topi ko­boy, Dylan menginsipirasi ba­nyak musisi. Di Indonesia pe­nga­ruh itu terlihat pada musisi legendaris Tanah Air, Iwan Fals, Leo Kristi dan penyanyi balada-country seperti Franky Sahilatua serta Ebiet G Ade.

Musisi atau Sastrawan

Riuh rendah suara yang me­nyertai pengumuman saat nama Dylan disebut, memang sangat wajar. Meski lirik lagu Dylan di­anggap setara dengan puisi-puisi para penyair dunia. Seperti TS Elliot, Neruda, Marquez, Rabin­dranath Tagore, namun Dylan te­taplah seorang musisi.

Musik dan sastra adalah dua hal berbeda, sekalipun kerap ber­talian. Begitu juga Dylan. Saya kira tak ada yang menam­pik kualitas lirik-lirik lagu yang diciptakannya. Dia tetaplah se­orang musisi. Hidup dalam label industri musik.

Nobel Sastra sebagaimana tu­juan awalnya (1901) diberikan kepada para sastrawan yang karya sastranya dianggap telah memengaruhi dunia. Apakah itu dalam bentuk buku maupun ma­nuskrip. Meskipun lirik lagu ada­lah sebuah karya sastra, tetapi dia telah teradopsi dan bertrans­formasi untuk kebutuhan pang­gung musik.

Berbeda nilai rasanya bila li­rik sebuah lagu dibiarkan berdiri sendiri sebagai puisi dengan ketika dia dijadikan lagu. Misal­nya lirik “Knockin’ On Hea­ven’s Door”. Apakah lirik ini akan sama dahsyatnya bila dia tak dinyanyikan?

Di Indonesia masalah ini per­nah menghangat di tahun 80-an. Ketika banyak bermunculan pa­ra penyanyi (pemusik) yang ber­akar dari sastra. Menyebut na­ma-nama seperti Ebiet G Ade, Ully Sigar, Leo Kristi, termasuk Gombloh.

Penulis lagu puitis sekaligus penyanyi Ebiet G Ade termasuk yang paling menonjol kala itu. Diakui Ebiet pada awalnya lagu­nya adalah sebuah puisi. Dia me­rasa tidak behasil sebagai pe­nyair lalu memutuskan menjadi penyanyi. Pada fase selanjut­nya, dia tak lagi menulis lagu da­lam bentuk puisi, tetapi langsung sebagai lirik lagu.

Begitu juga dengan Franky Sahilatua yang kondang berduet dengan adiknya, Jane Sahilatua. Franky bukanlah seorang pe­nyair. Dia ingin lagu-lagunya puitis. Karena itu dia bekerja­sa­ma dengan beberapa penyair se­perti Yudhistira A Massardi dan Emha Ainun Nadjib.

Proses kreatif itu bisa berja­lan dua arah. Puisi itu ditulis ke­mudian dinya­nyikan oleh Fran­ky. Sebaliknya, Franky meminta lagu yang diinginkannya dalam bentuk puisi.

Termasuk juga kelompok mu­sik Bimbo asal Bandung. Dia bekerjasama dengan penyair Taufik Ismail. Beberapa puisi Taufik Ismail seperti “Rindu Ra­sul”, “Tuhan” dan “Sajadah Pan­jang” digubah menjadi lagu. Justru puisi ini yang dianggap maestro dari keseluruhan karya Bimbo yang lain.

Kesan yang paling kental di­tunjukkan musisi gaek Leo Kris­ti. Dalam beberapa kesempatan dia mengakui bahwa lirik lagu­nya adalah sebuah puisi. Sebalik­nya, puisi adalah lagu baginya. Hal ini karena konsep bermusik Leo Kristi bercikal pada musical poetry. Dimana puisi itu di­hadirkan bunyi-bunyian.

Demikian juga musisi di ge­nerasi selanjutnya. Sebut saja Ka­ton Bagaskara atau bahkan la­gu-lagu kelompok musik Padi di awal-awal tahun 2000. Lagu-lagu mereka memiliki kekuatan estetis dan kedalaman makna. Saya kira hampir semua musisi mengalami proses kreatif seru­pa.

Pada akhirnya profesi punya deskrip­si­nya sendiri. Sekalipun dengan cara yang sama, namun pe­musik dan sastra­wan tetap akan menempuh jalan yang ber­beda. Jalan yang dalam keseni­an disebut sebagai wadah eks­pre­si itulah yang kemudian mem­bedakan keduanya.

Kenapa tak dibuat saja Nobel Musik, sebagaimana Nobel Fi­sika, Nobel Eko­nomi, Nobel Per­damaian dan sebagainya.

Bagaimana seandainya Gram­my Awards diberikan ke­pada si penyair “bunyi” Sapardi Djoko Damono? Bukan­kah hal itu justru akan mengurangi ke­percayaan dunia terhadap Nobel Sastra itu sendiri?

Penulis pekerja seni, media dan budaya

()

Baca Juga

Rekomendasi