Oleh: Wisnu AJ.
“Agak parah jugo penyakit yang diidap si Minah ni yo?” kata laki laki tua itu. Logat bahasa Melayu Asahan yang kental. Mata laki-laki tua dengan sebutan Wak Bomo, menatap wajah Minah yang pucat pasi telentang di pembaringan.
“Begitulah Wak. Kamipun tak tau antah penyakit apo yang menginggapi tubuhnyo. Asal kan menjelang maghrib si Minah gayo kemasukan setan. Manjorit jorit, payah aWak ondak sholat dibuatnyo. Tolonglah Wak tengokkan dulu apo nyo penyakit anak kami ni?” kata Romlah emak si Minah. sambil mengusap ngusap kepala anak gadisnya. Berharap Wak Bomo mampu menyembuhkan penyakit anaknya itu.
“Ambilkan aku air dalam mangkuk putih. Udah tu buat pabaroannyo (1), biar kubakarkan kamonyan ni. Apo sudah kamu baWak ke dokter?“ Wak Bomo menggeser duduknya agak dekat kearah si Minah.
“Bolum Wak “ Rozali ayah si Minah menjawab dengan cepat. Seakan-akan dia takut kalau- kalau Wak Bomo tersinggung dan tidak mau mengobati si Minah. Rozali paham betul akan sikap Wak Bomo yang mudah tersinggung. Dia tidak akan mau mengobati si sakit apa bila sudah di bawa ke dokter atau kerumah sakit. Karena itulah Rozali menjawab pertanyaan Wak Bomo dengan cepat. Romlah isterinya sedang menyiapkan apa yang di pinta oleh Wak Bomo.
Wak Bomo, satu satunya orang pintar di kampung Melayu dimana Rozali dan keluarganya tinggal. Belakangan ini orang lebih banyak memilih berobat ke dokter atau ke rumah sakit dari pada berobat kepada Wak Bomo. Bagi Rozali dan keluarganya tidak turut luntur kepercayaannya kepada kesaktian yang di miliki oleh Wak Bomo.
“Kalau dokter zaman sekarang Wak, tak ado kepandaiannyo. Percumonyo Wak berobat samo orang tu. Tau orang tu, kalau tak penyakit tumor, penyakit kangker. Sabontar-sabontar operasi. Itulah kepandaiaan dokter sekarang Wak. Kalau samo Uwak berobatkan tak seperti itu. Wak tengok dulu baru Uwak bilang penyakitnyo, baru Uwak obati.” sahut Romlah dari ruang dapur rumahnya. Romlah seakan memuji-muji cara pengobatan yang di lakukan oleh Wak Bomo.
“ Botul koto kamu tu. Dokter sekarang kapandaiannyo hanya sebatas operasi. Antahpun apo panyakitnyo, yang ponting operasi”. Wak bomo menipali perkataan Romlah. Wak Bomo sepertinya sedang di atas angin, mendapat pujian oleh Romlah. Dia juga turut mengecilkan pengetahuan yang dimiliki oleh dokter. Pada hal entah sudah berapa ribu, bahkan mungkin jutaan pasien yang berobat ke dokter, dan sembuh tanpa harus melalui operasi.
“Ini Wak ramuannyo?” Romlah menyodorkan mangkuk putih berisi air dan bara api di dalam nampan kecil kepada Wak Bomo. Wak bomo kemudian mengambil apa yang di berikan Romlah. Diambilnya sebongkah kecil kemenyan. Dimasukkannya ke dalam bara api. Bau asap kemenyan memenuhi ruangan. Wak Bomo pun membaca mantra dengan cara seperti orang berbisik bisik. Mulutnya terlihat komat kamit. Rozali dan Romlah menatap Wak Bomo dengan khusuknya.
“Bagai mana Wak? Aponyo penyakit anak kami ni Wak tengok?” Rozali dan Romlah tampak gelisah, karena Wak Bomo belum juga memberi tahu apa penyakit putrinya.
Sudah dua bulan lebih Minah terbaring di tempat tidur. Tubuhnya yang bahenol, kini tampak seperti papan seleng. Kurus karena si Minah tidak selera makan. Wajahnya selama ini sumringah dan bercahaya, kini redup. Layu dan kuyu, karena hampir setiap malam, dia tak dapat memejamkan mata, karena mengerang kesakitan.
Sebenarnya Rozali bukan tidak sanggup untuk membawa Minah berobat ke rumah sakit. Walau tanpa harus membawa kartu miskin untuk berobat gratis di rumah sakit. Rozali mampu untuk semua itu, karena kehidupan Rozali juga agak lumayan di kampung Melayu itu.
Sudah menjadi kebiasaan bagi keluarga Rozali, sejak dari nenek moyangnya. Mereka lebih mempercayai kesaktian seorang Bomo dari pada ilmu yang di miliki oleh para doketer dalam melakukan analisis terhadap penyakit pasien.
“Bagaimana Wak?“ Tanya Romlah tak sabar. Wak Bomo belum menjawab pertanyaan Romlah. Matanya penuh dengan keriputan akibat kesepuhan usianya. Tampak masih terpejam, mulutnya juga masih terlihat komat kamit.
Hampir setengah jam Wak Bomo melakukan ritual untuk mengetahui penyakit yang di idap oleh Minah. Kemudian dia menggeleng-gelengkan kepalanya. Rozali dan Romlah memandang dengan kecut. Gelengan Wak Bomo seakan memberi isyarat kalau kalau penyakit anaknya ini cukup parah.
“Kalau melihat dari penglihatanku dalam air di mangkuk putih tu, si Minah kamu ni takono Jumbalang Tanah (2) “.
“Kono apo Wak? takono Hulubalang Tanah? Romlah menggeser duduknya mendekati Wak Bomo. Dia kurang merasa jelas apa yang di katakan oleh Wak Bomo.
“ Huss... bukan hulubalang tanah, tapi jumbalang tanah, iyo kan Wak?” kata Rozali meluruskan perkataan Wak Bomo kepada isterinya.
“Itulah Minah, selamonyo ni tak kau dongarkan cakap omak kau ni. Jangan asyik di luar rumah kalao maghrib, tapi kau tak mendongar, haa…. Ditogur hulubalang tanah tu lah kau“.
“Bukan hulubalang tanah, jumbalang tanah Romlah!” kata Rozali kepada istrinya lagi.
“ Jadi Wak apolah ubatnyo? Agar tak di ganggu jumbalang tanahtu lagi si Minah?” kegelisahan tercermin dengan jelas di wajah Romlah.
“Tak ado jalan lain, selain harus melakukan siar mambang (3). Itulah jalan satu-satunyo untuk mengusir jumbalang tanah dari tubuh si Minah“. Wak Bomo menjelaskan kepada sepasang suami isteri itu. Rozali dan Romlah saling bertatatapan. Hening menyelimuti ruangan.
Rozali walaupun lebih mempercayai kehebatan seorang Bomo dari pada dokter, namun pengetahuan tentang agama juga lumayan bagus. Dia juga mengikuti pengajian wirit setiap malam Jumat di lingkungan tempat tinggal. Dia juga sering mendengar tausyiah agama yang di sampaikan oleh ustadz Ahmad di perkumpulan wirid yang di ikutinya.
Masih terngiang dengan jelas di telinganya apa yang pernah dikatakana Ustadz Ahmad. Hukum agama melarang melakukan perobatan dengan acara ritual siar mambang. Hukum nya adalah sirik. Karena ritual siar mambang memuja-muja setan dan jin. Barang siapa yang melakukan ritual siar mambang untuk pengobatan, kata ustadz Ahmad sama dengan mensekutukan Allah. Menyekutukan Allah hukumnya haram. Berdosa dan ketika dia mati akan masuk neraka.
Ustadz Ahmad yang sering menyampaikan tausiyah di pengajian wirid kampung Melayu. Warga kampung Melayu mulai meninggalkan acara ritual siar mambang.
Sebelumnya acara ritual siar mambang dalam pengobatan sering dilakukan oleh warga kampung Melayu. Karena itu adalah kepercayaan yang turun temurun dari nenek moyang mereka. Setelah mendapat pencerahan dari sang ustad, satu persatu warga mulai menjahui acara siar mambang.
Wajah Rozali tampak pucat, keringat membasahi sekujur tubuhnya. Hatinya bimbang untuk melaksanakan apa yang di sarankan oleh Wak Bomo. Di satu sisi dia memang mempercayai apa yang di sarankan oleh Wak Bomo. Sisi lain hati kecilnya menolak untuk melakukan acara siar mambang. Dia akan dicap penduduk kampung sebagai seorang kafir yang mensekutukan Allah.
“Kalau memang cara itu yang dapat menyembuhkan anak kami, Uwak lakukanlah.” Tiba tiba Romlah menyetujui saran yang di sampaikan oleh Wak Bomo. Walaupun mata Rozali terbelalak mendengar perkataan isterinya. Kerongkongannya seperti tersumbat, dia tidak mampu untuk mengeluarkan kata kata.
“Baiklah kalo begitu. Kalau memang kamu setuju. Acaranyo kito lakukan besok, selepas maghrib. Sediokan memanglah ramuannyo.“
“Apo sajo Wak ramuannyo?” Romlah seakan tidak memberi kesempatan kepada Rozali untuk menjawabnya.
“ Sadiokan upih pinang. Udah tu mayang pinang yang masih terbungkus. Tujuh buah goluk (4), mangkuk putih, kamonyan samo pabaroannyo. Kain putih dua helai masing-masing panjang dua meter”. Sebut Wak Bomo memberikan apa-apa yang harus di sediakan oleh Romlah untuk acara itu.
“Udah Wak itu ajo?”, Romlah memastikan jangan sampai ada peralatan untuk acara itu yang tertinggal.
“Hampir lupo Uwak. Jangan lupo kamu memanggil si Hasan. Bilang samo dio malam besok Uwak tu ondak siar mambang di rumahku, biar di bawaknyo pagondangnyo (5)”.
“Iyo Wak,“ Sahut Romlah, sementara Rozali hanya diam. Di wajahnya tergambar gurat gurat kegelisahan.
Sepeninggal Wak Bomo Romlah menghitung-hitung biaya yang akan di keluarkannya untuk acara itu. Setidaknya hampir satu juta rupiah yang harus di sediakannya. Romlah juga akan mengundang saudara- saudara dekatnya beserta jiran tetangga. Dia juga akan menyediakan kopi dan juadah untuk acara itu.
“Bang, besok pagi antarkan aku kekota,” kata Romlah membuyarkan lamunan Rozali.
“Mengapoi ke kota?”. Tanya Rozali. Di luar malam makin larut.
“Mengaponyo koto Abang. Sudah kuhitung biayonyo, hampir satu juta. Besok kupulangkan rante ni ke toko omas. Biar ado biaya untuk siar mambang tu. Diharapkan duit dari abang pajakaollah (6) sasenpun tak ado abang bagi”. Sambil bersungut Romlah meninggalkan Rozali dengan pikiran yang semakin berkecamuk.
Suara musik tarian gubang mengalun keras dari rumah Rozali. Satu satu tetangga dan saudara Rozali mendatangi rumah Rozali. Tetangga yang tidak diundang oleh Romlah berbisik-bisik di teras rumahnya. Mereka mengata-ngatai perbuatan Rozali yang mensekutukan tuhan.
Kelompok pengajian Rozali yang masih berada di mesjid, karena mereka baru menyelesaikan sholat maghrib tak kalah serunya. Mereka mendebatkan perbuatan sirik yang di lakukan oleh keluarga Rozali. Pergunjingan dan perdebatan yang di lakukan oleh warga kampung Melayu itu memang tidak di dengar oleh Rozali. Dia disibukkan dengan acara ritual siar mambang di rumahnya.
Di tengah alunan musik tari gubang yang cukup keras, Wak Bomo memulai acara ritualnya. Dia mengambil posisi dan berbaring di samping Minah yang terbaring lemah. Dayang- dayang Wak Bomo menjalankan perintah atas petunjuk Wak Bomo. Si Minah dan Wak Bomo kemudian di selubungi dengan kain putih, layaknya seperti mayat yang terbujur kaku.
Di ruangan itu sudah di susun tujuh buah goluk secara berjejer. Upih pinang di letakkan sebarisan dengan goluk dan air didalam mangkuk putih juga terlihat ada di sana. Mayang pinang yang masih terbungkus pelepahnya tampak tergantung di depan pintu. Bau harum asap kemenyan di bakar oleh dayang dayang Wak Bomo menyeruak memenuhi rungan, bahkan wangi asapnya sampai tercium ke ujung desa.
Alunan musik gubang yang di tabuh oleh kelompok Wak Hasan semakin keras terdengar. Tiba tiba Wak Bomo bangkit dari pembaringannya. Kain putih semula di selubungkan ke sekujur tubuhnya, beralih tempat kini menutup kepala dan wajahnya. Dia pun menari mengikuti alunan musik gubang yang di mainkan oleh kelompok Wak Hasan.
Sambil menari dia mengitari ruangan. Di ambilnya mayang pinang yang tergantung di depan pintu. Dibawanya ke arah Minah. Mayang pinang yang masih terbungkus itu turut ditarikan Wak Bomo. Dalam tariannya mayang pinang yang terbungkus di pecahkannya dengan tangannya. Dikipas kipaskannya ke arah Minah. Dayang dayang Wak Bomo memberikan mangkuk putih berisi air. Wak Bomo meminum air itu dan kemudian menyemburkannya kepada Minah.
Keajaiban pun terjadi, Minah yang selama ini terbaring lemah di tempat tidur, seperti mendapat suntikan tenaga baru. Minah bangkit dari tidurnya. Dia berdiri lalu turut menari seperti yang di lakukan oleh Wak Bomo.
Wak Bomo menggapai tangan Minah, lalu dibimbingnya menari di atas susunan goluk. Kedua tubuh mereka bagaikan menari di atas awan. Aneh memang goluk yang mereka injak-injak dengan hentakan kaki, sedikit pun tidak mengalami kerusakan. Pada hal goluk tersebut terbuat dari tembikar tanah. Tabuhan musik gubang menerawang sampai ke pelosok perkampungan.
Orang-orang menyaksikan acara ritual siar mambang di rumah Rozali terkagum kagum. Mata mereka seakan terhipnotis, lekat ke arah dua tubuh manusia yang sedang menari nari di atas goluk. Tanpa membuat goluk itu pecah.
Wak Bomo kembali membimbing Minah, keperaduannya. Minah pun kembali ditidurkan seperti semula. Tubuhnya kembali ditutupi dengan kain putih. Wak Bomo mengambil posisi duduk di samping minah. Terdengarlah mantra gaib di bacakan oleh Wak Bomo dengan cara bersenandung.
Sepanjang ritual acara siar mambang berlangsung, sepanjang itu pula masyarakat kampung Melayu mempergunjingkan perbuatan keluarga Rozali.
Seminggu sudah Minah diobati oleh Wak Bomo dengan ritual siar mambang. Penyakit minah tak kunjung sembuh. Malah semakin keparahannya. Perut Minah tampak semakin membesar. Perobahan yang terjadi terhadap perut Minah mengundang kecurigaan orang tuanya. Romlah sudah berulang kali menanyai anaknya itu tentang perobahan perutnya yang semakin membesar. Minah diam seribu bahasa.
“Jangan-jangan anak kita itu hamil Bang!” kata Romlah kepada suaminya. Rozali bagaikan tersentak. Matanya liar memandang wajah isterinya. Tampa banyak tanya dia bangkit dan mendobrak pintu kamar putrinya.
“Siapa yang menghamili kau Minah? Kasih tahu sama ayah, biar ayah gorok lehernya itu!” Dengan luapan yang penuh emosi Rozali mencerca anaknya dengan berbagai pertanyaan. Minah tetap membisu.
“Sudah Bang, sudah, istirfhar abang. Nanti di dengar tetangga, malu kito!” Romlah menyabarkan suaminya. Kalaupun seandainya putrinya itu hamil, biarlah mereka saja yang tahu. Jika sempat tetangga tahu akan kehamilan Minah alamat akan jadi pergujingan, Kata Romlah dalam hatinya.
Selesai sholat subuh, di tengah udara dingin Rozali dan Romlah membawa Minah ke rumah sakit. Mereka membawanya secara diam-diam. Mereka tidak ingin ada warga kampung Melayu tahu, kalau Minah dibawa kerumah sakit.
Di hadapan Rozali dan Romlah dokter memeriksa Minah mengatakan kalau Minah sedang hamil tiga jalan empat bulan. Kandungan Minah ini kata dokter pernah dilakukan penggugurannya (7) tapi tidak berhasil, sehingga kandungannya mengalami kelainan.
Alangkah kagetnya Rozali dan Romlah mendengar penjelasan sang dokter. Wajah Rozali pucat pasi seperti baru melihat jumbalang tanah yang datang di hadapannya. Romlah terduduk lesu, bibirnya pucat tak mampu untuk mengucapkan sepatah kata pun.
Karena selama ini Rozali dan Romlah sering membangga- banggakan anak gadisnya itu kepada tetangganya. Kini anaknya itu hamil. Entah siapa ayah dari bayi di kandungnya. Karena setiap ditanya Minah tetap membisu seribu bahasa.
Tanjungbalai, 4 September 2016