Menjaga Keutuhan NKRI

Oleh: Restu Mulyana.

Rasa persatuan dan kesatuan bangsa kita sepertinya sedang menghadapi ujian yang sangat besar. Kita be­nar-benar se­dang diuji dalam rangka mem­­­per­ta­han­kan keutuhan bangsa ter­cinta ini. Kita me­lihat bahwa dalam be­be­rapa waktu ter­akhir ini sentimen suku, aga­ma, ras, dan antargolongan (SARA) ma­kin tebal merasuki anak bangsa. Jika pada akhirnya kita tidak mampu bersikap dewasa dalam me­respons masalah yang sedang menge­mu­ka, maka bukan hal yang mustahil bah­wa ancaman perpeca­han justru akan menjadi masalah serius yang harus di­hadapi ke depannya. Inilah yang semes­ti­nya harus disadari secara men­dalam oleh seluruh elemen bangsa kita.

Nuansa perpecahan jelas terasa te­rutama di media sosial. Sesama anak bang­sa saling mencaci dengan landasan bahwa kelompoknyalah yang paling be­nar dan paling perlu dibela, selebihnya ha­rus dicam­pakkan. Kondisi ini tidak le­pas dari upaya politisasi kasus dugaan pe­nistaan agama dengan tersangka Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki ‘Ahok’ Tjahaja Purnama.

Pernyataan Presiden Jokowi bahwa ada aktor politik menung­gangi unjuk rasa me­nuntut proses hukum terhadap Ahok, sangat beralasan. Selain Presiden menda­pat­kan input sahih dari intelijen, ke­nya­taan di lapangan mengonfir­masikan bah­wa ada pihak-pihak yang tidak hanya ber­tujuan mendo­rong proses hukum ber­jalan.

Ternyata ada kelompok yang men­dom­­pleng dengan menghujat pemerintah. Bah­kan memprovokasi massa, bagai­mana menjatuhkan pemerintahan. Nuan­sa politis tak terelakkan. Sentimen antar ke­lom­pok politik sangat terasa manakala meng­hubungkan proses hukum Ahok de­ngan posisinya sebagai calon yang ber­ta­rung untuk menjadi Gubernur DKI Ja­karta.

Kasus dugaan penistaan agama di­per­ca­ya hanyalah alat pemicu saja. Dasar ada­nya kelompok yang tak menjunjung ke­binekaan dan Pancasila sejatinya sudah ada lama. Ketika kelompok seperti ini ber­te­mu dengan mereka yang memiliki ke­pentingan politis searah maka jadilah sim­biose mutualisme. Kondisi seperti ini tidak bisa didiamkan.

Persatuan dan kesatuan bangsa di te­ngah keberagaman adalah modal utama bang­sa ini maju. Jangan sampai ada anasir yang memecah belah Indonesia. Kita me­­miliki semboyan luhur Bhinneka Tung­­gal Ika, berbeda-beda tetapi tetap satu. Kebinekaan adalah kekuatan kita. Mari rayakan keanekaragaman yang di­miliki bangsa kita. Bhinneka Tunggal Ika, adalah semboyan pada lam­bang ne­gara Republik Indonesia yang kebera­da­an­nya berdasarkan PPNo 66 Tahun 1951.

Semboyan ini menggambarkan gaga­san dasar, yakni menghu­bung­kan daerah-dae­rah dan suku-suku bangsa di seluruh Nu­santara menjadi Kesatuan Raya. Me­rujuk pada asalnya, yaitu kitab Sutasoma yang ditulis oleh Empu Tantular pada abad XIV, semboyan ini merupakan se­loka yang menekan­kan pentingnya ke­ru­kunan antar­umat dari agama yang ber­beda pada waktu itu. Dengan demiki­an, konsep semboyan yang lengkap­nya ber­bunyi Bhinneka Tunggal Ika tan hana dha­rma mangrva ini merupakan kondisi dan tujuan kehidupan yang ideal dalam lingkungan masyarakat yang serba­ma­je­muk dan multietnik.

Memajukan bangsa

Perbedaan yang terkait suku, agama, ras atau golongan merupa­kan realitas yang harus didaya­gunakan untuk mema­ju­kan negara dan bangsa. Persinggungan un­sur-unsur SARA justru diharapkan da­pat meningkatkan mutu kehidu­pan setiap unsur karena saling memperkaya se­hing­ga berman­faat bagi semua pihak baik se­cara individu maupun kelompok.

Pada zaman penjajahan Belan­da, ke­be­r­a­ga­man yang kita miliki dimanfaatkan un­­tuk memecah belah. Masa itu sudah ber­­lalu dan keterpecahbelahan menjadi pe­l­ajaran yang sangat berharga bagi bang­sa Indonesia. Kita tak ubahnya ke­ledai yang jatuh ke lubang sama bila ma­sih menga­gungkan suku, agama, ras, dan golo­ngan kita sendiri di atas kepen­tingan bangsa.

Mayoritas rakyat Indonesia dari Sa­bang hingga Merauke, dari Miangas sam­pai Rote, adalah rakyat yang menjunjung ke­b­ine­kaan. Sedangkan mereka yang me­ngesampingkan kebinekaan, berpan­da­ngan radikal, tidak mengakui Pancasila dan UUD 45, atau ingin mendirikan ne­ga­­ra sendiri, merupakan kelompok mi­no­ritas.

Di seluruh dunia, kelompok ekstrem seperti ini adalah kelom­pok minoritas. Mereka mencoba mempengaruhi silent majority dengan berkoar-koar mempro­mosi­kan ideologinya melalui berbagai media, termasuk menghalalkan apa yang disebut teror.

Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) eksis karena kita sepakat men­jadikan Pancasila sebagai fondasi negara. Dan, ketika mayoritas bangsa ini masih me­ngakui bisa hidup damai karena to­leransi, Merah Putih tetap ber­kibar karena kita semua berikrar setia pada Konstitusi, maka gera­kan oleh ana­sir yang hendak men­cabik-cabik NKRI bakal ter­tang­gu­langi.

Meski demikian, kita menunggu ke­tegasan pemerintah menindak kelom­pok-kelompok yang tidak lagi menjun­jung hukum positif melainkan justru be­r­usaha mende­legitimasi institusi hukum, mem­provokasi massa agar tidak percaya hukum dan aparat hukum, bah­kan men­da­sari semua lakunya dengan suku, ras, agama, dan kelompok politik.

Menjaga keutuhan

Ketegasan pemerintah bisa dalam ben­tuk pernyataan verbal maupun tin­dakan hu­kum memper­karakan individu maupun ke­lom­pok yang mengancam persa­tuan dan kesatuan bangsa. Kete­gasan pemerin­tah bukan hanya untuk menjaga wibawa. Lebih penting dari itu adalah menjaga ke-Bhinneka Tunggal Ika-an serta Pan­casila dan keutuhan NK­RI. Ancaman pe­mecah belah dan peng­ingkaran ter­ha­dap dasar negara Panca­sila bukan lagi ra­ha­sia di negara kita. Bu­kan hanya saat se­perti sekarang keti­ka muncul fenomena anti-Ahok. Di era serbadigital seperti se­karang di mana media informasi tumbuh pesat, kelom­pok-kelompok yang berpan­da­ngan me­nen­tang persatu­an dan kesa­tuan, Bhin­neka Tunggal Ika, maupun Pancasila.

Para elite bangsa juga wajib menjaga diri agar tidak meman­faatkan kelom­pok-ke­lompok yang ingin memecah be­lah bangsa dengan isu SARA. Seba­liknya, be­rilah contoh bahwa perbedaan pandangan tidak harus memisah­kan per­saudaraan dan usaha bersama memba­ngun bangsa. Pertemuan Jokowi-Pra­bowo mem­beri contoh akan hal dimak­sud.

Kendati mereka pernah berseteru dalam pemilihan presiden, namun bela­kangan keduanya cukup menunjukkan sikap yang saling menghargai dan saling mendukung antara satu dengan lainnya.

Sikap yang demikian sangat diharap­kan muncul dari para pemimpin bangsa maupun para tokoh dan pejabat negara. Dengan adanya sikap yang saling meng­har­gai dan saling mendukung guna masa depan bangsa, maka kita berkeyakinan bahwa keutuhan NKRI akan dapat tetap terjaga. Jadi bukan justru sebaliknya, ada pihak-pihak yang sepertinya ber­usaha memecah belah rasa persatuan dan kesatuan bangsa hanya karena hasrat dan kepen­tingan politik semata. Hal de­mikian harus disikapi secara serius guna memastikan bahwa bangsa kita akan tetap eksis dalam menghadapi ber­bagai tantangan yang ada saat ini.***

Penulis, Koordinator Riset PKDP Sumut.

()

Baca Juga

Rekomendasi