Tentara Elit Irak "Spongebob" Ditakuti ISIS

DALAM setiap pepe­rang­an, ada orang yang selalu se­tia menyertai di medan perang yang penuh resiko. Orang itu tak lain adalah war­tawan foto. Dengan ke­hadiran wartawan foto ini, semua orang di seluruh dunia bisa mem­peroleh sajian berita sekaligus gambarnya.

Hal ini juga dilakukan war­tawan foto bernama Ay­man Oghanna. Se­la­ma ber­pekan-pekan, dia terus me­­ngi­kuti pasukan khusus Irak da­lam ope­rasi merebut kem­bali kota Mo­sul dari tangan kelompok me­na­ma­kan diri Nega­ra Islam (NI) atau ISIS.

Dalam perang, banyak tentara gugur dalam memper­tahankan negara. Selain itu juga banyak wartawan tewas dalam menja­lankan tugas jur­nalistik.

Ayman kini mengenang seorang prajurit pasukan elite Irak itu yang gugur dalam Ope­rasi Mosul, Ah­med "Tal­qa" atau Ahmed Si Peluru.

Talqa dalam bahasa Arab berarti “peluru”. Seperti se­mua prajurit pasukan elite Irak, Ahmed, sang serdadu yang gugur itu hanya disapa de­ngan nama depannya.

Ahmed sebenarnya tak su­ka sebutan Talqa karena lebih senang disebut Ahmed "SpongeBob", julu­kan yang disematkan anaknya karena senyum unik yang memperi­hatkan gigi ompongnya.

Nama lengkap Ahmed tidak boleh diungkapkan ka­rena sebagai anggota pasukan elite Dinas Kontra Terorisme (CTS) yang juga kerap dise­but Divisi Emas, pe­ngung­kapan nama keluarga akan memba­haya­kan keluar­ga sang serdadu.

Ahmed sudah terlibat da­lam semua perang di zaman­nya. Ayman mengenang Ah­med sebagai orang paling berani, paling baik dan paling lucu yang dia kenal.

Julukan Talqa disematkan kepa­da Ahmed setelah apa yang me­nimpanya sepuluh tahun lalu.

Suatu malam sepuluh ta­hun lalu, dalam perjalanan pu­lang, warga Syiah dari kota Baghdad ini diseret dari ken­daraannya di sebuah pos pe­meriksaan polisi.

Waktu itu polisi Irak ba­­nyak disusupi milisi Syiah dan milisi Syiah memburu anggota CTS kare­na unit ini­lah yang selalu meng­ge­le­dah milisi-milisi Syiah di Bagh­dad.

Mereka menyeret Ahmed dan menemukan kartu iden­titasnya yang hanya punya ke­terangan nama "Ahmed". Dia kemudian diseret ke se­buah rumah kosong dan di­siksa di sana. Namun Ahmed tak pernah mengaku anggota pasukan khusus Irak yang terkenal itu.

Tak mau mengaku meski beru­lang kali mendapat siksaan, akhir­nya milisi Syiah menembak Ahmed lima kali, salah satunya tembus ke batok kepalanya. Darah mengucur deras dan Ahmed langsung tersung­kur sampai kemudian para penyik­sanya yakin dia telah mati.

Ujung tombak

Mereka kemudian mem­buang jasad Ahmed ke tum­pukan sampah di daerah Sunni. Ini biasa dilakukan oleh milisi mana saja selama perang sek­tarian di Irak, sehingga me­micu satu sekte saling balas dendam ke sekte lainnya.

Ironisnya, di daerah Sunni itu, Ahmed yang Syiah malah disela­matkan seorang pria tua Sunni yang membawanya ke rumah sakit. Ah­med kemu­dian sembuh dan ber­u­saha mencari penolongnya, na­mun tidak pernah ditemukan.

Pegawai rumah sakit me­nuturkan bahwa setelah pria tua itu membawa Ahmed ke rumah sakit, pria itu malah dibawa polisi Irak karena di­anggap telah menyiksa Ah­med.

Ahmed yakin pria Sunni yang menolongnya itu telah bergabung dalam daftar ri­buan orang Irak yang hilang begitu saja karena lingkaran kekerasan dan balas dendam di negerinya.

Ajaib selamat dari kema­tian sepuluh tahun lalu, Ah­med akhir­nya gugur di Mosul dalam operasi perebutan kem­bali benteng terbesar dan ter­akhir ISIS di Irak itu.

Ahmed tewas setelah se­orang militan ISIS yang me­ngemudikan truk penuh bom meledakkan bom bunuh diri di samping Humvee yang ditumpangi Ahmed.

Ahmed adalah pembawa senjata di Humvve itu. Dia menjadi salah seorang dari banyak personel CTS yang menjadi ujung tombak militer Irak dan selalu berada di pusat perang Irak sejak 2003.

Dibentuk oleh militer AS, para personel CTS direkrut dengan standar-standar yang mirip dengan rekrutmen pa­sukan khusus AS, Baret Hijau.

Setelah sepuluh hari ber­latih di Baghdad, para kadet dikirimkan ke Jordania untuk mengikuti seleksi selama tiga bulan. Dari 1.200 orang yang mengikuti proses seleksi, hanya 80 orang yang lolos.

Selama seleksi, semua kadet tidak diperbolehkan memanggil satu sama lain dengan nama asli mereka, melainkan dengan nomor prajurit.

Ternyata dengan pola re­krutmen seperti itu, di negera yang dibelah oleh konflik sektarian, sistem itu terbukti ampuh mengeratkan sema­ngat korps dan kebersamaan di antara Syiah, Sunni, dan Kurdi.

CTS mungkin satu-satunya ceri­ta sukses AS di Irak, na­mun setelah AS menarik mundur pasukannya pada 2011, standar dan seleksi masuk CTS juga berubah. Meski begitu CTS masih merupakan pa­sukan yang paling profesional dan tidak sektarian di Irak.

Ketika hampir seluruh mi­liter Irak dikalahkan ISIS, para prajurit CTS bertahan de­ngan gagah berani dan kemudian menjadi pahlawan. Pada hampir setiap pertem­puran melawan ISIS, CTS selalu menjadi ujung tombak, termasuk terakhir ini di Mo­sul. (bbc/dnc/es)

()

Baca Juga

Rekomendasi