Oleh: Epi Nurlinda
BAGI para ibu rumah tangga, kenaikan harga cabai cukup meresahkan. Terutama bagi kalangan ekonomi menengah ke bawah. Harga cabai merah per kilogram berkisar antara Rp80.000 sampai Rp100.000 sementara harga cabai rawit berkisar antara Rp60.000 sampai Rp80.000. Bahkan di beberapa daerah harganya melebihi harga tadi. Memang cabai merah dan cabai rawit bukan kebutuhan pokok seperti halnya beras. Namun, sudah menjadi semacam selera bersama bahwa kurang sedap rasanya menyantap makanan tanpa rasa pedas.
Sebagian besar menu menggunakan bumbu berbahan baku cabai. Seperti tumis, ongseng, sambal goreng ikan, sambal belacan (sambal terasi), sambal ijo, nasi goreng, sate, rujak, ikan pepes, gado-gado, sambalado, pecel bahkan kuliner populer penyetan juga menggunakan bahan baku cabai seperti ayam penyet, bebek penyet, lele penyet. Demikian pula bakso, mie ayam, mie aceh, mie balap, somay, kripik pedas, kwitiaw dan lainnya dianggap kurang mantap kalau tak pakai bumbu cabai.
Karena besarnya pengaruh cabai merah dalam dunia kuliner khususnya dapur rumah tangga, maka dampak kenaikan harga cabai pun sangat terasa pedas. Bukan apa-apa, harga semahal itu tentu menyedot pos anggaran rumah tangga. Demi beli cabai terpaksalah sebagian pos anggaran rumah tangga diakali. Sebabnya itu tadi, kurang mantap makan kalau tak pedas!
Meresahkan ibu rumah tangga
Kenaikan harga cabai membuat banyak pihak ketar ketir. Ibu-ibu rumah tangga tentu merasa semakin pusing bagaimana mengatur keuangan rumah tangga. Masih mending bila gaji suaminya besar, misalnya istri direktur. Semahal apapun harga cabai, tidak masalah. Bagaimana pulak nasib para ibu rumah tangga yang mayoritas gaji suaminya pas-pasan?
Berbagai usaha kuliner tentu juga pusing tujuh keliling. Tentu, anggaran membeli cabai menyebabkan biaya produksi ikut naik. Otomatis harga menu-menu kuliner yang pakai cabai ikut naik pula. Bagi para ibu rumah tangga yang malas masak dan memilih cara praktis membeli lauk pauk di warung atau rumah makan, akan menemui masalah kenaikan harga lauk. Apa mau dikata, kenaikan harga cabai menyebabkan semua harga ikut pedas.
Memang tidak bisa dipungkiri cabai merupakan bumbu ampuh meningkatkan nafsu makan. Rasanya selera makan berkurang bila makanan kurang pedas. Berbeda bila di Jawa yang kebanyakan makanan terasa manis. Di Sumatera khususnya Sumut dan Aceh memiliki ciri khas makanan pedas.
Kenaikan harga cabai diperparah dengan kenaikan sejumlah komoditas dapur lainnya seperti bawang merah dari Rp28.000 naik menjadi Rp35.000, bawang putih mulanya Rp32.000 naik menjadi Rp34.000 dan tomat awalnya Rp7.000 menjadi Rp12.000. Kenaikan komoditas penting dapur tersebut melengkapi nestapa pedasnya harga cabai. Kalau sudah begini, maka mau tidak mau konsumsi cabai ditekan, tahankanlah makan cabai sedikit saja jika ingin dapur tetap mengepul.
Sebelumnya sanggup membeli satu kilogram cabai sekali belanja, kini hanya sanggup setengah kilogram, bahkan banyak ibu-ibu cuma beli seperempat kilo. Kasihan ibu-ibu rumah tangga yang pening mengatur keuangan keluarga dan berusaha supaya uang hasil gaji suami cukup memenuhi kebutuhan hidup yang tentunya bukan hanya soal cabai dan makan, tetapi juga masih ada beban listrik, air, uang sekolah anak-anak, uang jajan anak, ongkos transport, uang arisan dan jangan tanya uang refreshing. Soal refreshing nanti-nanti saja ketika harga cabai turun Rp 10.000 perkilo, alamak!
Ada sebenarnya solusi murah meriah. Yaitu membeli cabai kering. Biasanya harganya jauh lebih murah. Tapi ya itu tadi, kurang mantap rasanya kalau cabainya tidak segar, merah, dan sudah terbayang pedas di lidah.
Bagi pedagang cabai juga mengeluh. Sebelumnya bisa menjual banyak cabai dan omset besar, kini hanya berani menyediakan stok sedikit. Takut nanti rugi tidak laku, atau tidak habis terjual. Karena kalau tidak habis cabai bisa busuk.
Mensyukuri nikmat
Sebenarnya banyak hikmah di balik kenaikan harga cabai ini. Pertama, hikmah kesehatan. Bila sebelumnya ketika stok cabai cukup dan ada sambal, nafsu makan tinggi, apapun dimakan dan berpotensi terkena berbagai penyakit. Mungkin, ini cara Tuhan menegur masyarakat Indonesia untuk stop makan yang pedas-pedas sekaligus kurangi makan banyak, perbanyak sedekah dan infaq kepada fakir miskin dan anak yatim piatu yang selama ini membutuhkan bantuan.
Kedua, ini cara Tuhan menegur petani cabai agar disiplin memproduksi tanaman cabai. Bagi yang panen, bisa tertawa bahagia membayangkan keuntungan sekilo cabai Rp100.000. bagi yang kebetulan tidak panen, ya gigit jari. Bahkan gara-gara meroketnya harga cabai Menteri Pertanian Amran Sulaiman mencanangkan Gerakan Nasional Penanaman 50 Juta Pohon Cabai di polibag pekarangan sebagai antisipasi di masa depan bila cabai harga tetap naik, maka masyarakat tidak perlu khawatir karena stok cabai tersedia di pekarangan rumah.
Ketiga, ini cara Tuhan menegur pemerintah terkait agar tegas menindak spekulan yang memborong cabai, menimbunnya lalu menjualnya dengan harga selangit. Konon katanya produksi cabai secara nasional Indonesia mencapai 1,22 juta ton sedangkan konsumsi cuma 1,17 ton. Masih surplus 50 ribu ton. Ini artinya tanpa impor cabai pun sebenarnya Indonesia tidak kekurangan cabai. Ini sudah impor, tapi cabai tetap mahal? Jangan-jangan di situ ada mafia cabai.
Keempat, ini teguran buat para ibu rumah tangga agar hidup penuh syukur dan secukupnya, tidak berlebihan terutama soal makan cabai. Evaluasi ulang pos-pos anggaran rumah tangga. Pangkas yang tidak perlu, tatap masa depan. Pedasnya harga cabai menjadi peringatan mungkin esok-esok banyak lagi komoditas penting dapur yang bakal naik. Maka bersiaplah menanti hari itu dan pintar-pintar lah mengatur keuangan rumah tangga. ***
Penulis alumnus FKIP Matematika UMSU, berprofesi sebagai guru sekolah di Aceh Singkil sekaligus ibu rumah tangga