Syariat Islam memandang aktivitas pacaran sebagai sesuatu hal yang tak layak dilakukan. Bahkan para ulama telah sepakat mengharamkannya. Alasannya, banyak kemudharatan atau dampak buruk yang ditimbulkan. Misalnya, mendorong pelakunya terjebak ke dalam perbuatan yang tak seharusnya dilakukan seperti berdua-duaan dan bermesraan bersama seseorang yang bukan mahramnya.
Kata ‘pacaran’ lebih dikenal orang Indonesia, sedangkan di luar negeri disebut dating atau hook up. Bila ditelusuri asal-usulnya, hook up adalah sebuah tren atau prinsip kalau pacaran itu melakukan hubungan seks terlebih dahulu, baru setelah itu menjalin hubungan. Jadi, kecocokan antara pasangan itu terlihat dari sukses atau tidaknya proses hook up-nya (hal 74).
Menurut wikipedia, pacaran adalah sebuah proses perkenalan antara dua insan yang biasanya berada dalam rangkaian tahap pencarian kecocokan menuju kehidupan berkeluarga. Setelah diperdalam, ternyata pacaran itu tak hanya suatu hubungan, tapi merupakan tren yang tercipta karena rasa cinta berlebihan terhadap pasangan dan melakukan perbuatan seksual. Bahasa ilmiahnya; perilaku seksual pranikah.
Pacaran, ternyata ada sejarahnya. Dalam buku ini dijelaskan panjang lebar tentang sejarah pacaran. Pacaran, muncul pada awal abad 19 di Amerika. Pada zamn itu, pria yang suka dengan wanita harus melakukan pendekatan. Ketika itu, jika ada pria yang sedang jatuh cinta maka dia harus datang ke rumah wanita dan membuat jadwal bertemu.
Pertemuan tersebut selalu ditemani dan diawasi orangtua dari pihak wanita. Sehingga sang pria wajib membuat janji dengan calon mertuanya agar bisa berbincang dengan putrinya. Selain itu, dia harus membawa ‘buah tangan’ saat berkunjung ke rumah orangtua si wanita. Akan dianggap tak sopan jika bertandang ke rumah sang pujaan hati hanya bermodal tangan kosong.
Tradisi tersebut dijalani masyarakat di sana sehingga membuat gerak-gerik pria tak bebas karena selalu diawasi secara langsung. Seiring berjalannya waktu, pada tahun 1920 tradisi tersebut menjadi beban tersendiri bagi masyarakat kalangan bawah Amerika, khususnya para orangtua. Ketika orangtua kedatangan tamu pria, dengan dalih bahwa golongan orang-orang bawah tak memiliki bahan untuk topik pembicaraan yang cukup banyak, akhirnya mereka membebaskan putrinya diajak keluar oleh pria tersebut untuk ‘kencan’ (hal 76).
Kemudian, pada tahun 1940, tradisi ‘kencan’ yang sederhana membuat kalangan atas merasa gerah sehingga ingin keluar dari tradisi lamanya. Mereka (para kalangan atas) merasa bahwa kalangan bawah dengan mudah mendapatkan wanita dan jalan berduaan, sedangkan kalangan atas harus booking waktu, diawasi calon mertua, harus bawa ini-itu, dan merasa repot untuk mendekati satu wanita saja. Konsep itu mulai digunakan kalangan atas sehingga akhirnya perlahan-lahan tradisi lama tersebut menjadi hilang (hal 77).
Sementara bagi penulis buku ini, pacaran itu ibarat menginjak lumpur hidup; semakin kau injak, maka semakin dalam kau tenggelam. Ya, jika dilihat secara sepintas, pacaran memang termasuk aktivitas yang menyenangkan, tapi sejatinya menyimpan banyak hal yang dapat menjerumuskan pelakunya ke dalam rentetan dosa yang tak ada putusnya (hal 88).
Yang sering dirugikan dalam aktivitas pacaran adalah wanita. Bila wanita sudah merasa cinta mati terhadap seorang pria, biasanya mata hatinya pun menjadi tertutup. Dia rela melakukan apa saja yang diinginkan pacarnya. Maka tak heran bila banyak wanita usia muda yang pada akhirnya hamil di luar nikah, sementara pacarnya enggan bertanggung jawab bahkan kabur entah ke mana.
Buku ini secara lugas membahas tentang bahaya pacaran yang begitu menjamur di kalangan remaja Indonesia saat ini. Di buku ini, penulis juga memberikan solusi kepada kaum remaja supaya bisa terbebas dari kungkungan pacaran yang menjerumuskan. Ya, masih banyak hal menyenangkan dan membuat hidup terasa indah yang dapat dilakukan para remaja, ketimbang sibuk berpacaran yang jelas-jelas memberikan dampak buruk bagi masa depannya. Sejatinya, masa remaja adalah masa paling cocok untuk menggali potensi, mengejar cita-cita setinggi langit, dan belajar banyak hal yang berguna bagi kesuksesan hidupnya di masa mendatang.
Peresensi Sam Edy Yuswanto, alumnus STAINU Kebumen.