Titi Gantung, Riwayatmu Kini

Oleh: Nur Akmal

RABU (9/11) sore, puluhan sepeda mo­tor lalu lalang di sebuah jembatan ber­sejarah di Kota Medan. Jembatan itu di­kenal sebagai Titi Gantung oleh masya­ra­kat. Di bagian gerbang sebelah Jalan Pu­lau Pinang, sebuah rangka lampu usang bertuliskan "Selamat Hari Raya Idul Fitri" tampak reyot, kusam ke­co­ke­la­tan, tak lagi berfungsi. Rang­ka lampu lain­nya yang bertulis­kan lafaz Allah dan Muhammad serta lambang bulan bintang pun kondisinya serupa, menyedihkan.

Kerangka besi berbentuk kubah masjid yang menghiasi keseluruhan pun tak lagi tampak indah. Dipotret pun tak lagi tampak simetris. Beberapa telah keropos dimakan karat. Pagar besi di te­ngah jembatan pun penuh coretan, me­rusak estetika jembatan bersejarah yang dibangun pada abad ke-18 oleh Pe­me­rin­tahan Belanda itu.

"Beberapa tahun lalu, di sini cukup can­tik. Banyak lampu-lampunya. Kita ber­dagang pun enak bisa sampai malam karena titinya bagus. Sekarang kondisi­nya gelap. Pedagang-pedagang yang ber­da­gang malam di sini mem­bawa lampu sen­diri sebagai pene­ra­ngan," ujar salah se­orang pedagang mi pecal di Titi Gan­tung, ia tak mau me­nyebut namanya.

Meski begitu, ia mengaku tetap ber­jualan hingga malam hari jika da­ga­ngan­nya belum habis. Bersama dengan peda­gang lainnya menunggu warga yang nong­krong dan makan jajanan ringan di situ. Di siang hingga sore hari, Titi Gan­tung masih ramai dikunjungi masyarakat un­tuk sejenak bercengkrama sambil me­nikmati suasana kota. Beberapa pe­ngen­dara sepeda motor, pejalan kaki melewati jem­batan ter­sebut.

Pedagang pun ramai menjajakan da­gangannya seperti mi, bakso, bakso ba­kar, es jagung dan beberapa pedagang buku yang masih bertahan. Sayang, mes­ki­pun ada bakul-bakul sebagai tempat sam­pah, sampah masih berserakan di­buang begitu saja. Sesekali petugas ke­ber­sihan berkaos kuning bertuliskan Pem­ko Medan menya­pu sampah-sampah tersebut.

"Saya berjualan di sini sejak 2007,dulu gak seramai ini orang lewat sekarang su­dah ramai. Kalau titi ini dirawat sama wa­likota kan bagus. Ini kan bangunan lama sejak zaman Belanda, maunya dipercantiklah. Jadi banyak pengunjung. Tapi takutnya nanti sudah bagus gak boleh lagi pula jualan di sini," tambahnya.

Ia mengaku pernah meminta pada pe­tu­gas agar lampu di Titi Gantung kem­­bali dinyalakan, petugas yang di­sebut­nya berasal dari Dinas Pertama­nan Kota Me­dan itu hanya mengatakan trafo di tem­pat itu dicuri orang, dan nan­ti akan di­perbaiki. Tapi sampai saat ini Titi Gan­tung masih gelap gulita di malam hari.

Rika, salah satu pengunjung juga merasa kondisi Titi Gantung tak seindah sebelumnya. Ia mengingat-ngingat ketika ia masih kuliah di salah satu universitas swasta di Medan, ia dan teman-temannya sering menjadi­kan Titi Gantung sebagai tempat nongkrong.

"Titi Gantung itu jadi salah satu tempat seru-seruan sama teman-teman. Apalagi lo­kasinya dekat rel kereta dan kelenteng, jadi keren dijadikan tempat foto. Kalau di­bandingkan sekarang rasanya agak miris gitu ya, kayak gak diperhatikan tem­patnya. Jorok dan tak terawat," ujarnya.

Dulu ia dan teman-teman kampus se­ring berfoto di Titi Gantung pada malam hari, saat itu Titi Gantung masih dipenuhi ge­merlap cahaya lampu. Sehingga mem­per­indah kondisi jembatan itu. Ia ber­harap Titi Gantung kembali diperin­dah agar bisa tetap menjadi objek wisata alternatif di pusat Kota Medan.

"Padahal lokasinya ini di tengah kota, harusnya bisa dimanfaatkan se­ba­gai tempat rekreasi masyarakat. Lo­kasinya strategis sekali itu," tam­bah­nya.

Berdasarkan literatur-literatur sejarah yang ada, Titi Gantung disebut-sebut men­­jadi tempat orang-orang Belanda pada zaman kolonial mengha­bis­kan wak­tu menikmati suasana Kota Me­dan di sore hari, jembatan itu di­bangun untuk meng­­hubungkan kedua jalan yang dibe­lah oleh rel kereta api.

()

Baca Juga

Rekomendasi