Kesemrawutan di Pasar Sukaramai

Oleh: Irin Juwita

DAGANGAN para pedagang ter­bentang bebas di kanan kiri jalan raya. Berbagai kebutuhan bahan po­kok, komoditi, buah-buahan hingga ikan laut tersaji di pinggir jalan di­tu­tupi payung-payung besar. Hilir mudik pembeli dan kendaraan ter­parkir menambah aktivitas yang bertahun-tahun jadi tontonan.

Pengendara roda dua dan empat harus mengalah. Apalagi jika arah tujuan menuju Jalan Aksara. Kare­na, pedagang hanya menyisakan separuh jalan untuk dilintasi satu kendaraan roda empat. Selain itu, masyarakat menikmati bau tak se­dap  akibat tumpukan sampah.

Semrawut, macet dan bau men­jadi pandangan masyarakat yang melintas di kawasan Pasar Sukara­mai. Pasar tradisional di Kota Me­dan ini letaknya tepat di persim­pang­an Jalan AR Hakim dan Jalan Sutrisno Kelurahan Sukaramai Ke­camatan Medan Area.

"Setiap hari lewat Pasar Suka­ramai. Semrawut ditambah macet lagi. Karena mau pergi kerja ang­kotnya lewat sini (pasar) mau tak mau harus cium bau-bau aneh," ke­luh Mutiah, warga Jalan Denai yang selalu melewati jalan itu.

Di sekitar pasar itu bercampur antara pedagang resmi dan yang tidak. Menurut mereka memilih la­­pak di jalan raya terpaksa karena sepi pembeli jika di dalam pasar. Padahal gedung Pasar  Sukaramai  berdiri dengan dua tingkat yakni basement dan lantai satu.  Namun, di pasar itu sepi aktivitas jual beli khususnya di basement.

"Sebenarnya tak mau di sini (ja­lan) tapi karena terpaksa. Jualan di dalam tak ada yang beli. Kumuh dan stres sebenarnya melihat pasar ini. Karena tuntutan perut jadi ber­jualan di luar, " kata M Tampubolon, pedagang cabai di Pasar Sukaramai, belum lama ini.

Kondisi bangunan Pasar Suka­ramai yang dibangun Pemerintah Kota (Pemko) Medan pascakeba­karan beberapa tahun lalu tidak stra­tegis. Sebab, katanya, khusus peda­gang bahan makanan terletak di ba­sement. Sehingga pembeli eng­gan untuk menuruni anak tangga. Sebagai pedagang resmi yang be­rada di dalam, ia membayar uang tempat hingga puluhan juta. 

"Di dalam ada tempat kami bayar puluhan juta. Tetapi pembelinya gak ada sepi, mau gak mau ya pindah ke luar. Karena pembeli di sini malas turun-turun tangga lagi," ucapnya.

Ia mengaku mau pindah kembali ke dalam pasar jika, pemerintah bisa menertibkan pedagang-peda­gang yang tidak resmi yang meng­gunakan badan jalan. Sehingga tidak ada kesenjangan antarpeda­gang. "Kalau semua ini ditertibkan dari ujung ke ujung, kami mau kem­bali ke dalam. Tapi kalau tidak sama saja," terangnya.

Belajar

Sementara, Pengamat Lingkung­an Sumut, Jaya Arjuna mengatakan seharusnya pemko harus belajar dan mengetahui standar pasar tradisio­nal. Dengan memperhatikan luas Pa­sar Sukaramai, berapa jumlah pe­dagang, berapa yang dibutuhkan melihat konsumen bertransaksi hing­ga komoditas apa saja yang dijual.

Kemudian, pemeritah harus me­lihat kondisi Pasar Sukaramai se­hingga ada tujuan untuk pasar itu. Setelah itu, pemko merancang de­ngan melihat apa yang dibutuh­kan konsumen dan pedagang. Ka­rena pasar merupakan tempat mem­per­temukan kebutuhan konsumen dan produsen.

Pemerintah harus membuat in­frastruktur agar pertemuan konsu­men dan produsen itu nyaman. Jika itu belum tahu apa yang mau dila­kukan pemko, maka pasar tersebut tidak akan pernah berubah.

"Jangan menyalahkan konsu­men, produsen atau lainnya. Keber­sihan­nya bagaimana. Itulah tugas pemerintah daerah untuk memikir­kan dan menyelesaikan persoalan ini. Kita juga butuh pemerintah yang peduli dengan kebutuhan dan fa­silitas masyarakat," tegasnya.

Menurutnya, ini bukan hanya pada Pasar Sukaramai tetapi pada pasar tradisional di Kota Medan. Pemerintah diharapkan mau belajar dengan siapa pun yang mampu me­mecahkan permasalahan itu.

"Jalan juga tidak layak seharus­nya juga harus diperbaiki, sampah yang menumpuk harus ditangani, tetapi masalahnya adalah fasilitas tempat sampah ada tidak? Tidak ada tempat sampah yang layak dan tersedia. Pemerintah harus belajar bagaiamana agar pasar itu menjadi lebih baik," ungkapnya.

Apalagi, pedagang resmi yang mengeluh dan terpaksa pindah ke luar. Pendirian pasar tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan konsu­men dan produsen. Ditambah tidak ada kebijakan sehingga tidak akan per­nah berubah. Pemerintah terke­san tidak tahu apa yang mau dikerj­akan.

"Kemudian, tidak ada yang na­manya pedagang liar tetapi peda­gang yang diliarkan. Kenapa begitu, karena kios bayar mahal tidak se­suai dengan pendapatan. Pemerin­tah ki­ta harus cerdas agar tahu mem­ba­ngun dengan baik." pungkasnya.

()

Baca Juga

Rekomendasi