Oleh: Isnaini Kharisma. GEDUNG Bank Indonesia di kawasan Kota Tua, Jakarta Utara, sudah sepuluh tahun beralih fungsi menjadi Museum Bank Indonesia. Bangunan yang berusia hampir dua abad itu, mulanya adalah sebuah rumah sakit umum, Binnen Hospitaal. Pada 1828, bangunan yang kini tiap harinya dikunjungi seribuan orang itu, diubah fungsinya menjadi tempat penyimpanan uang (bank) bernama De Javashe Bank (DJB).
Satu abad berlangsung, tepatnya pada tahun 1953, bangunan DJB difungsikan sebagai Bank Sentral Indonesia atau lebih dikenal sebagai Bank Indonesia (BI).
Menempati gedung yang sama, antara BI yang didirikan pada 1 Juli 1953 dengan DJB (berdiri (182) memiliki keterikatan, yakni sama-sama sebagai bank sentral. Peran kedua lembaga ini sangat vital dalam kehidupan perekonomian. Kebijakan-kebijakan yang ditempuh BI berdampak langsung kepada masyarakat.
Lebih setengah abad beroperasi, peran BI yang vital tidak didukung dengan fasilitas gedungnya. Pada 2006, BI menempati gedung baru di kawasan Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat. Sejak itu pula, gedung tua yang ditinggalkan BI ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya.
Dilandasi keinginan untuk memberikan pengetahuan kepada masyarakat mengenai peran BI dalam perjalanan sejarah bangsa. Termasuk memberikan pemahaman sejarah dan dampak kebijakan BI dari waktu ke waktu, Dewan Gubernur BI memutuskan membangun Museum Bank Indonesia dengan memanfaatkan gedung BI di Kota Tua tersebut.
Pelestarian gedung BI Kota Tua sejalan dengan kebijakan Pemda DKI Jaya yang mencanangkan kawasan Kota Tua sebagai daerah pengembangan kota lama Jakarta. Peran BI menjadi pelopor dalam pemugaran/revitalisasi gedung-gedung bersejarah di daerah Kota Tua itu.
Hal inilah menjadi pertimbangan pentingnya keberadaan Museum Bank Indonesia. Bangunan tersebut, kelak didedikasikan menjadi suatu tempat mengumpulkan, menyimpan, merawat, mengamankan, dan memanfaatkan aneka benda perbankan yang terkait perjalanan panjang BI.
Beberapa museum yang keberadaannya berkaitan dengan sejarah BI memang sudah ada, namun pemanfaatannya belum optimal. Selain itu, gagasan untuk mewujudkan Museum BI juga diilhami adanya beberapa museum bank sentral di negara lain, sebagai sebuah lembaga yang menyertai keberadaan bank sentral itu sendiri.
Fungsi Museum
Asisten Manajer Museum Bank Indonesia, Puji Astuti mengatakan, museum BI itu melengkapi keberadaan museum lain yang ada di kawasan tersebut, seperti Museum Fatahillah, Museum Wayang, Museum Seni Rupa dan Keramik, Museum Bank Mandiri, dan Museum Bahari.
Museum Bank Indonesia akan berarti terwujudnya suatu museum bank sentral di Indonesia, yang bermisikan mencari, mengumpulkan, menyimpan, dan merawat benda-benda maupun dokumen bersejarah, sehingga mempunyai nilai dan arti penting bagi masyarakat.
“Hal ini hanya akan dapat terwujud, apabila kita dapat menyajikan semuanya dalam bentuk informasi yang lengkap dan runtut. Sehingga mudah dimengerti dan dipahami oleh seluruh lapisan masyarakat,” katanya.
Kata museum justru menjadi pilihan untuk bangunan ini. Meski sebenarnya bangunan yang berubah fungsi ini tak sekadar menyimpan barang-barang kuno dan artefak. Museum BI menjadi pusat pendidikan dan penelitian bagi masyarakat Indonesia maupun internasional, tentang fungsi dan tugas BI serta pengetahuan pada bidang arsitektur.
Ada berbagai macam peninggalan di dalamnya, fasilitas dan informasi sejarah yang dapat ditemukan di Museum BI itu, seperti mata uang baru, kursi koin, pintu baja, koleksi uang dari berbagai dunia dan tahun, informsi sejarah, bank ‘tempo doeloe’, ruang teater, dan taman luas di tengah-tengah bangunan.
Jika mengunjungi Museum BI, maka akan terlihat bangunan bersejarah yang sangat klasik bertipe arsitektur neo-klasikal. Nilai-nilai historis sangat tercermin pada bangunan tersebut.
Walaupun sudah tua, bangunan Museum BI masih terlihat indah, megah, dan gagah. Arsitektur neo-klasik begitu tergambar, yang menggabungkan beberapa gaya arsitektur Eropa, yaitu gaya Yunani, Romawi, Renaisance, dan de Stijl. Apalagi, kebersihan pada fasad bangunan pun terjaga meski berada di lingkungan yang memiliki tingkat polusi tinggi.
Memasuki lobi museum, terlihat kaca patri indah yang dipasang sejak 1935. Lukisan wanita dengan lambang Kota Batavia dan Surabaya, menghias pada dinding.
Sejuk dan Nyaman
Pada ruangan dalam, ornamen-ornamen dan dominasi putih memberikan keindahan dan kemegahan mendukung ‘vocal point’ seisi ruangan. Penggunaan bahan marmer pada finishing lantai dan dinding membuat suhu ruangan menjadi sejuk dan nyaman. Ventilasi dan jendela yang lebar pun membuat ruangan lobi mendapatkan pencahayaan alami yang cukup, sehingga mengurangi penggunaan cahaya buatan serta menghemat energi.
Pada bagian ruang display, pencahayaan pada barang-barang diarahkan dengan tepat sehingga pengunjung dapat melihat secara jelas barang dan informasi yang dipajang. Penyajian informasi sangat menarik, tak hanya berupa tulisan namun juga berupa gambar, patung dan film-film documenter.
“Untuk keamanan, barang-barang display sangat terjamin. Semua dilindungi kotak kaca, sehingga pengunjung dapat melihat tanpa menyentuh. Ruang tersebut sebagai pembatas ruang gerak bagi pengunjung, ada alat deteksi dan fire protection,” ujar Puji.
Museum BI juga menajikan informasi terkait emas dan peranannya dalam keuangan negara. Ada tumpukan batangan emas tiruan dalam ukuran asli di dalam kaca tembus pandang. Sejak lama emas telah digunakan sebagai standar satuan nilai karena stabil dan diterima di semua negara di dunia.
Ketika uang kertas pertama kali dikeluarkan bank, untuk mendapat kepercayaan masyarakat agar mau menggunakannya, maka bank harus memiliki cadangan emas sebagai jaminan (emas moneter). Dengan demikian masyarakat sewaktu-waktu dapat menukarkan uang kertasnya dengan cadangan emas bank, sesuai nilai tukar yang berlaku.
Meski sekarang emas tak lagi dipakai sebagai jaminan bank, namun masih sangat penting sebagai salah satu cadangan devisa negara yang bisa dicairkan saat krisis nilai tukar, krisis politik, maupun krisis ekonomi. Emas juga bisa dipakai sebagai alat bayar untuk kewajiban internasional dan sebagai sarana hedging (untuk meningkatkan penerimaan).
Tempat penyimpanan emas moneter di BI berdinding setebal 65 cm dengan pengamanan ketat dan berlapis. Ketika Jepang menyerbu Hindia Belanda, cadangan emas DJB diselamatkan ke Australia dan Afrika Selatan. Setelah BI berdiri menggantikan DJB, maka emas moneter menjadi milik BI.
Bangunan klasik itu sangat mudah diakses, meskipun memiliki pola pencapaian secara tersamar. Akes gerbang dan pintu masuk museum sangat dekat. Demikian pula akses di dalamnya, seluruh ruangan display dapat diakses pengunjung searah dengan jalur sirkulasinya. Sayang, fasilitas toilet dan musala letaknya terlalu jauh sehingga menyulitkan akses pengunjung.