Hikayat Komik di Surat Kabar

Oleh: J Anto. Suatu sore di tahun 1957 ketika masih menjadi kartunis muda di harian Waspada, Taguan Hardjo menerima instruksi dari Haji Mohammad Said, pimpinan Waspada saat itu, untuk mengolah cerita Melayu berjudul The Bearded Civet Cat,  Hikayat Musang Berjanggut, menjadi cergam. Kisah itu diambil dari dokumen Mohammad said yang berupa sebuah edisi Journal Royal Asiatic Society, Strait Brnch No. 52 tahun 1909, yang sudah lapuk, dan yang dengan susah payah diperoleh beliau dari perjalanannya di Asia Tenggara.

Kisah yang berasal dari risalah ahli sejarah Melayu terkenal Sir Richard O. Weindstedt itu, oleh Taguan Hardjo digubah kembali menjadi cergam “Bapak-Bapak yang lupa daratan atau Mencari Musang Bewrjanggut”, sebuah parodi tentang mereka yang biasa bermain kekuasaan, dan dihadirkan setiap hari secara bersambung. Lalu karena selama pemuatan itu   sambutan umum spontan dan menggembirakan, diterbitkanlah  kisah itu beberapa kali dalam bentuk buku.  

Nukilan di atas dituturkan Taguan Hardjo dalam Prakata komiknya Hikayat Musang Berjanggut yang diterbitkan ulang tahun 1991 atau 33 tahun kemudian oleh Penerbit Pustaka Utama  Grafiti.

Surat kabar, tak hanya di Medan, memang tak bisa dipisahkan dengan komik atau cerita bergambar (cergam),  komik strip, kartun dan karikatur.  Menurut M. Yazid, wartawan senior yang mengawali karir jurnalistiknya sejak tahun 1961 di Majalah Waktu, era kejayaan  komik di Medan didahului pemuatan secara bersambung cergam atau komik di sejumlah surat kabar yang terbit di Medan. 

Cergam Hikayat Musang Berjanggut hanya salah satu yang kemudian dibukukan oleh percetakan Waspada setelah mendapat respon positif pembaca surat kabar bersangkutan.

“Dulu ada juga cergam karya Zam Nuldyn yang dimuat secara bersambung di Mimbar Umum, Alang Bubu dan Mas Merah kalau tak salah,” tutur Ketua PWI Sumut periode 1985-1989 dan 1989 – 1994 itu. Selain di Mimbar Umum, cergam Zam Nuldyn juga dimuat di Waspada,  Suluh Massa, Sinar Revolusi,Dobrak dan Analisa.

 Hampir semua tema komik Zam Nuldyn mengangkat cerita Melayu kuno yang membawa pesan agar sebagai manusia tidak berbuat jahat. Menurut M. Yazid hal ini berbeda dengan komik Taguan Hardjo yang lebih memparodikan situasi sosial masyarakat secara jenaka atau konyol. Namun dalam kekonyolannya justru disitu letak kritik yang disampaikan Taguan Hardjo.  

Ia memberi contoh kritik Taguan Hardjo terhadap gaya hidup orang yang memamerkan kemewahan.  Misalnya pakai jas tapi di tempat yang salah. Atau pakai kacamata hitam tapi di malam hari. 

Cerita Timur Tengah

Sumber cerita para komikus menurut Pemimpin Redaksi Duta Minggu, surat kabar mingguan yang terbit tahun 1962 dan kena breidel tahun 1965,  juga berasal dari cerita-cerita Timur Tegah yang sangat popular di Sumatera Timur. Bahkan kemudian dianggap menjadi cerita Melayu, Ia menyebut cerita Abunawas yang digambarkan sebagai rakyat biasa, jujur, cerdik, suka bersiasat dan pembela orang kecil. Banyak raja, pembesar atau orang kaya, terkecoh  karena kecerdikan Abunawas. 

Suatu saat misalnya dikisahkan ada seorang kaya  yang menuntut tetangganya yang miskin ke hakim karena si tetangga ikut menikmati aroma masakan daging kari yang dimasaknya. Abunawas membela  si orang miskin dan setuju bahwa si orang miskin harus membayar denda karena telah ikut menikmati aroma daging kari si orang kaya. Saat membayar denda, Abunawas membanting uang denda itu, dan menyuruh si orang kaya mendengar suara uang yang dibanting itu. Itulah bayaran denda kepada si orang kaya.

Kisah Abunawas itu hendak memperlihatkan  tentang kesemena-menaan yang sering dilakukan orang-orang kaya terhadap orang-orang kecil. Nuim Khaiyath, anak Melayu yang  jadi penyiar Radio Australia, selama menyiar sering mengisahkan kembali cerita-cerita Abunawas ini,” kata M. Yazid yang menjadi Kepala Biro LKBN Medan 1976 – 1996 itu.

Akibat keterkenalan cerita-cerita Abunawas, tak sedikit komikus  Medan  yang membuat komik Abunawas dan dimuat secara serial di sejumlah surat kabar. Taguan Hardjo termasuk salah satunya. Beberapa komik Abunawas karya Taguan Hardjo diantaranya Abunawas dengan Keledainya, Abunawas dengan Pikiran Sultan, Abunawas dengan Tiga Penipu, dsb. 

Surat kabar dan komik pada zamannya memang saling bersimbiosis. Saat sengkarut politik  memuncak di tanah air waktu itu, masyarakat butuh sebuah pelepasan. Membaca komik salah satunya. Dan itu mereka dapatkan di surat kabar. Tak heran jika permintaan akan surat kabar pun melonjak. Di sisi lain komikus juga mendapat sukses materi. Terlebih saat komik berseri mereka diterbitkan sebagai buku  dan laris manis dibeli masyarakat.

Tapi waktu berubah, sekarang ini, sekalipun satu dua surat kabar  memuat komik atau cergam bersambung, namun era keemasan Komik Medan belum juga terulang. Saat tensi politik di tanah air naik, masihkah ada yang memedulikan untuk membaca komik?

()

Baca Juga

Rekomendasi