Taguan Hardjo, Seniman Saksi Zamannya

Oleh: J Anto. Menurut Marcel Bonneeff (Komik Indonesia: 1998), Medan pernah mengalami masa keemasan perkomikan Indonesia pada periode 1960 – 1963. Dua komikus Medan, Taguan Hardjo dan Zam Nuldyn disebut Bonneff sebagai kreator yang menyumbang nilai estetis pada komik mereka yang selama ini  kurang diperhatikan komikus sezamannya. 

Namun Idris Pasaribu (66), sastrawan yang telah melahirkan puluhan novel punya penilaian berbeda. Penulis novel Acek Botak (2009) ini pernah sama-sama aktif berkiprah di Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) Medan bersama Taguan Hardjo. LKN merupakan organisasi kebudayaan yang berada langsung di bawah Partai Nasional Indonesia (PNI). Dibentuk tahun 1959 di Jakarta dan diketuai Sitor Situmorang (1959—1965). 

Idris  menjadi anggota LKN di Sibolga sejak kelas tiga SMP. Ia telah melahap komik-komik Taguan Hardjo yang dimuat secara bersambung dalam rubrik Teruna di harian Waspada  sejak SMP.

Menurut Idris Pasaribu, seorang seniman sejatinya adalah saksi pada zamannya. Dalam arti karya fiksi yang dihasilkan seringkali merepresentasikan masalah-masalah sosial dan politik yang muncul pada masa seniman itu berkarya. Tentu saja itu tidak berarti seniman sama dengan sejarawan. Walau seniman mungkin menggunakan sejarah sebagai bahan dalam karyanya. 

Pada karya seniman, seperti komik-komik Taguan Hardjo ada unsur estetika, ada imajinasi, ada juga terselip nilai-nilai moralitas atau bahkan filosofi hidup. 

Sindiran atau kritik sosial disampaikan Taguan Hardjo secara subtil, bahkan tak jarang lewat satir yang kelewat halus, namun berhasil ditangkap oleh para penikmat komik. Ia lalu  memberi contoh komik “Mati Kau Tamaksa”. Banyak yang menilai itu komik fantasi. Idris Pasaribu tak salah. Bahkan Bonneff sendiri dalam bukunya menyebut komik “Mati Kau Tamaksa” sebagai komik fantasi.  

“Menurut saya itu merupakan kritik halus Taguan Hardjo terhadap seorang tokoh pergerakan rakyat dalam kemelut konflik tanah di Sumatera Timur yang antara lain ditandai munculnya Peristiwa Tanjung Morawa,” katanya dalam sebuah wawancara khusus (9/11). Namun dalam Mencari Musang Berdjanggut, Taguan Hardjo lebih kentara dalam memperolok pembesar-pembesar kerajaan yang arogan, merasa pintar, tapi sebenarnya bodoh.

Keberpihak terhadap orang-orang kecil terdapat dalam komiknya Telanjang Ujung Karang.  Komik itu berkisah perjuangan Tuk Awang, seorang tokoh nelayan yang rela dipenjara, karena membebaskan nelayan miskin di kampungnya dari cengkaraman Tengku Garang Sitandang, seorang bangsawan kaya, raja penyelundup dan dikenal sebagai penggoda perempuan.

 Tuk Awang akhirnya berhasil membunuh Tengku Garang Sitandang walau harus dipenjara 5 tahun. Keinginannya mendirikan koperasi  nelayan terkabul karena bantuan modal dari pemerintah akhirnya datang. Sementara anak gadisnya, Ramah yang sempat hendak kawin lari dengan Tengku Garang Sitandang akhirnya sadar akan kesalahanyang dibuatnya.

Empat Karakteristik

Komik Taguan Hardjo menurut Idris Pasaribu memiliki cirri khas yang membedakan dengan komikus lain seperti Jan Mintaraga atau Teguh S. Idris menyebut ada empat karakteristik yang khas.

Pertama kaya dengan detil dan angle. Kedua, teksnya sedikit dan diletakkan di bawah, sehingga tidak mengganggu pembaca untuk menikmati gambar yang ada. Ketiga arsiran atau goresan gambarya halus sehingga karakter berbagai tokoh yang ada ada dalam cerita tergambar. Baik tokoh protagonis dan antagonis. Keempat  cerita-cerita yang dikomikkan Taguan Hardjo menghadirkan cerita moral yang sangat tinggi.

“Kebenaran adalah kebenaran. Jangan takut menyatakan kebenaran. Namun demikian sebagai seniman ia juga mengutamakan estetika, tidak terjebak pada sloganisme seperti dilakukan seniman lain pada eranya,” katanya.

Taguan Hardjo menurut penulis novel Mangalua (2015) adalah seniman yang menjadi saksi pada zamannya. Pada periode revolusi fisik hingga tahun 1960 saat kekuasaan feodalisme tumbang dan tuntutan petani akan land reform menjadi isu hangat di Sumatera Utara, lahir komik Taguan Hardjo seperti “Panglima Denai” dan “Batas Firdaus”.

“Kalau tidak jeli membaca komik itu, kita tahunya itu komik percintaan, tapi moral cerita yang ada sebenarnya tak lepas dari pergulatan nasib petani saat itu,” ujar novelis kelahiran Delitua 5 Oktober 1951 itu. Bukan tanpa resiko “garis ideologi” LKN yang tercermin dalam komik-komik Taguan Hardjo. 

Tahun 1961 menurut Ketua Komunitas Sastra Indonesia (KSI) itu Taguan Hardjo dan keluarganya sempat mengungsi ke Pasaman, tempat mukim mereka semula pada tahun 1950-an.

“Taguan Hardjo menjadi target Pemuda Rakjat dan Lekra,” katanya. 

Pada tahun 1984, Taguan Hardjo pernah menyutradarai naskah drama terjemahan dari Jepang di TVRI Medan. Judulnya “Yuzuru”, atau Bangau-Bangau Terbang. Yuzuru bercerita tentang kehidupan petani di desa, karya petani menghidupi orang-orang di kota. Namun mereka tetap miskin dan kerap disalahkan orang-orang kota jika beras yang mereka hasilkan rasanya tak sesuai tuntutan lidah orang kota. 

Saat hendak menggambarkan adegan turun salju di pedesaan, sempat terjadi ketegangan antara pengarah acara dengan Taguan Hardjo. Pengarah acara minta penggambaran salju dari kapas yang ditaburkan dari atas panggung. Saat kapas sudah dikumpulkan, Taguan Hardjo bersikeras menolaknya. Ia justru minta anggotanya mengumpulkan styrofoam dan memarutnya. Lalu dari atas parutan styrofoam itu ditarik ke atas menggunakan tali. 

Saat adegan hujan salju styrofoam itu ditebarkan ke bawah.

“Suasananya benar-benar seperti salju turun, indah sekali,” ujar Idris Pasaribu. 

Itulah Taguan Hardjo, komikus saksi pada zamannya. Ia tak mau abai pada naluri estetiknya dalam setiap karyanya, disamping mengutamakan tema cerita.

()

Baca Juga

Rekomendasi