Siapa Peduli Buku Sastra Medan?

Oleh: J Anto. PENGALAMAN tak terlupakan bagi Yulhasni, beberapa hari setelah buku kumpulan cerpennya Bunga Layu di Bandar Baru terbit dan sampai ke tangannya dari sebuah penerbit di Jakarta, ia lalu bergegas mempromosikan bukunya. Pertama tentu ia memanfaatkan jaringan pertemanan yang ada. 

Di dunia maya, ia mem-posting sampul bukunya di akun jejaring sosial miliknya. Jejaring media cetak, komunitas yang pernah membesarkannya sebelum jadi dosen dan Komisioner KPUD Sumut, juga dirangkulnya. Maka lahirlah resensi dan berita tentang bukunya. Tak lupa ia juga mendatangi Badan Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi Sumut (Baperasda) yang berada di depan Istana Maimun.

Yul, begitu panggilan karibnya, menaruh sebuah harapan. Lembaga yang digadang mempromosikan buku-buku karya penulis lokal itu akan membeli beberapa eksemplar bukunya. Syukur-syukur  mereka mau membeli dalam paket besar. Dengan demikian  buku karyanya bisa dinikmati pengunjung perpustakaan.

“Aku tawarkan buku tersebut ke mereka, eh mereka malah minta gratis,” tuturnya. Beruntung kampus tempatnya mengajar mampu memberi apresiasi terhadap staf pengajarnya yang kreatif. Universitas Muhamadyah Sumut memborong 500 eksemplar buku itu. Yul pun lega. Ini sebuah penghargaan yang memicu andrenalinnya untuk terus berkarya.

Apresiasi terhadap buku sastra karya penulis lokal, menurut Yul memang dibutuhkan untuk merangsang gairah berkarya penulis. Terlebih lagi untuk penulis muda. Hal ini juga dilakukan di kota tetangga, seperti Aceh, Padang, serta Pekanbaru. Sebagai penulis fiksi, Yulhasni terus terang iri dengan perbukuan sastra di ketiga kota itu.  Di sana, penyair, cerpenis dan novelis berlomba-lomba menulis karya-karya mereka. Pemerintah daerah bijak memberi subsidi ke penulis untuk membantu biaya penerbitan,  bahkan proses selama mereka menulis.

Menurut Idris Pasaribu, jumlah subsidi yang diberikan bisa mencapai antara Rp10 juta sampai Rp15 juta per satu buku yang dihasilkan. Apresiasi juga datang dari pengusaha media massa sukses. Damiri Mahmud menyebut setiap tahun di Riau ada penghargaan karya sastra terbaik dari Yayasan Sagang. Karya sastra yang terbaik bisa mendapatkan uang apresiasi puluhan juta rupiah.

Di Aceh, penulis senior yang dianggap berjasa dalam melestarikan sastra tradisional Aceh, juga mendapat uang apresiasi Rp 5 juta. Uang apresiasi itu diterima setiap tahun. Bukan hanya sekali. “Saya juga pernah dapat uang apresiasi dari Pemprovsu Rp 2,5 juta, namun hanya sekali, setelah itu tak ada lagi,” tambah Damiri Mahmud yang puisi-puisinya telah dimuat penerbit nasional maupun lokal itu. 

Ragam Model Penerbitan

Minimnya apresiasi pemerintah daerah, tak membuat surut semangat para penulis melahirkan karya-karyanya. Beruntung beberapa penerbit di Jakarta dan Yogyakarta juga mulai melirik karya-karya sastra Medan. Maka terbitlah novel seperti Pincalang, Acek Botak, Nikah Lagi dan Mangalua karya Idris Pasaribu, kumpulan cerpen Sampan Zulaikha karya Hasan Albana atau kumpulan puisi Elegi Titi Gantung karya Sartika Sari.

Cerpen-cerpen Yul termasuk yang dilirik, maka terbitlah Bunga Layu di Bandar Baru, juga kumpulan esai sastranya Senjakala Kritik Sastra. Beberapa novel remaja karya T. Sandi Situmorang, Shandy Tan, dan Anggrek Lestari juga termasuk yang “dipinang”.

Bahkan tak sedikit penulis (muda) memanfaatkan model penerbitan indie. Mereka mengganti biaya cetak, menjual sendiri dan menerima royalti dari hasil penjualan,  yang dibayar sesuai jumlah eksemplar buku yang laku di pasaran. Ada juga penulis yang menerbitkan karya mereka dengan mencetak dan menerbitkan sendiri di Medan. Pernah juga digagas oleh Antilan Purba membuat Arisan Sastra dengan mengumpulkan modal patungan untuk membiayai penerbitan buku kumpulan puisi dan cerpen.

Berbagai model penerbitan itu tentu punya plus-minus. Misalnya saat karya sastra penulis diterbitkan penerbit di luar Medan, Yul sadar ada kelemahan distribusi mengintip.

“Buku saya hanya beredar di pulau Jawa saja, beruntung kemarin UMSU membeli 500 eksemplar,” katanya. Itu artinya jika tidak ada inisiatif untuk membeli buku itu, karya Yul mungkin hanya kurang dinikmati masyarakat Medan sendiri. Kejujuran penerbit juga diuji. Misalnya akuratkah laporan penjualan buku per bulan yang diberikan ke penulis? Termasuk benarkah buku-buku itu didistribusikan ke toko-toko buku di Jawa?

Idris Pasaribu beruntung punya jaringan penulis di beberapa kota besar karena ia adalah Ketua Umum Komunitas Sastra Indonesia (KSI). “Jadi saya telpon teman di Bandung. Tanya ada tidak novel saya dijual di sejumlah toko buku di Bandung. Dari situ ketahuan,” katanya.

Dalam perjalanan proses kreatifnya, beberapa karya Yul telah dibukukan dan diterbitkan di Medan, misalnya Rezim (Antologi Puisi Lima Penyair Demonstran), Koin Satu Milyar (Antologi Cerpen Jurnalis Medan) dan Raja Tebalek: 10 Naskah Teater ‘O’ USU, dan  sebuah buku esai-esai sastra berjudul Senjakala Kritik Sastra. Semuanya diterbitkan di Medan.

Tapi Yul sadar, mutu cetakan dan perwajahan penerbit lokal  kerap kalah “kelas” dibanding penerbit di Jawa. Di samping harga cetak yang lebih mahal. Itu juga yang membuat sejumlah penulis Medan, sekalipun tahu ada berbagai kelemahan, tetap  melirik model penerbitan indie.

Penerbitan seperti ini telah menjadi alternatif di tengah lesunya penerbitan buku-buku sastra di Medan yang mati suri itu.

“Sebenarnya untuk menghidupkan perbukuan sastra di Sumut, pemda perlu membentuk dewan kurator,” usul Yul. Ini sebenarnya sudah lama diusulkannya. Salah satu tugas dewan kurator nantinya menilai buku sastra terbaik dan memberikan penghargaan untuk merangsang gairah penulis berkarya.

Sayang, suara Yul seperti juga yang berkali dikumandangkan banyak penulis lain, hilang ditelan hiruk-pikuk suara klakson mobil yang telah membuat pekak para petinggi pemerintahan di daerah ini.

()

Baca Juga

Rekomendasi