Konservasi Kawasan Danau Toba

Oleh: Hodland JT Hutapea.

Konservasi, secara har­fiah berasal dari bahasa Ing­gris, conversation yang arti­nya pelestarian atau perlin­dungan. Menurut KBBI, kata konservasi diartikan sebagai pemeliharaan dan perlin­dung­an sesuatu secara teratur untuk mencegah kerusakan dan kemusnahan dengan ja­lan mengawetkan; pengawet­an; pelestarian. Sedangkan me­nurut ilmu lingkungan, konservasi adalah upaya efi­siensi dari penggunaan ener­gi, produksi, transmisi, atau distribusi yang berakibat pa­da pengurangan konsumsi energi.

Salah satu kawasan yang kini menjadi salah satu pusat perhatian pemerintah pusat adalah kawasan Danau Toba. Adanya keinginan keras dari Pemerintah Pusat menggen­jot sektor pariwisata di ka­wasan Danau Toba, menjadi­kan kawasan ini wajib dan ha­­rus dikonservasi. Sering ter­­jadinya kebakaran hutan, penggundulan hutan secara sengaja, atau pencemaran air Danau Toba, menjadikan pe­merintah bertekad untuk se­gera melakukan konservasi di dalam kawasan ini sehingga layak menjadi Daerah Tujuan Wisata (DTW) andalan Indonesia setelah Bali dan Lom­bok.

Kawasan Danau Toba me­rupakan sebuah kawasan wi­sata alam yang terletak di Pro­vinsi Sumatra Utara. Danau Toba merupakan da­nau vulkanik yang terjadi saat ledakan gunung berapi, yakni Gunung Toba pada 69.000 - 77.000 tahun lalu. Panjang kawasan Danau To­ba mencapai 100 km dan le­barnya sekitar 30 km. Keda­laman Danau Toba sendiri bisa mencapai 505 meter.

Ekosistem kawasan Danau Toba memiliki nilai ekologi, sosial-budaya, dan ekonomi bagi kehidupan manusia, ser­ta memiliki keterkaitan eko­logis yang tidak terpisahkan dengan ekosistem kawasan sekitarnya. Sungai Asahan sebagai penyumbang terbesar debit air bagi Danau Toba, be­lakangan ini mengalami ber­bagai tekanan, baik yang disebabkan oleh faktor alam­iah maupun yang disebabkan oleh beragam aktivitas ma­nu­sia yang kurang meng­in­dahkan prinsip-prinsip keles­tarian ekosistem.

Berbagai Masalah

Berbagai tantangan lain juga dihadapi kawasan Danau Toba seperti seringnya terja­di kebakaran sepanjang per­bu­kitan yang mengelilingi kawasan Danau Toba. Hutan lindung Sibaganding yang pernah terbakar hebat pada Mei 2010 lalu penyebabnya hanya sepele yakni puntung rokok yang dibuang semba­rangan oleh penduduk setem­pat dan menjilat pinus daun jarum yang susah terurai. Ju­ga minimnya kesadaran ma­syarakat lokal yang gemar membuang sampah dan lim­bah rumah tangga langsung ke dalam Danau Toba.

Jika kita berkunjung ke Danau Toba, peman­dangan yang umum kita lihat ba­nyak­nya sampah mengam­bang di air Danau To­ba, di antaranya bo­tol air mineral, sampah plas­tik pembungkus makan­an, bungkus rokok, dan lain-lain. Kurangnya ke­sadaran akan pentingnya men­jaga kebersihan air da­nau oleh masyarakat lokal dan pe­ngunjung (wisatawan) membuat beban konservasi kawasan Danau Toba menja­di semakin berat.

Belum lagi pembuangan limbah dari pabrik Toba Pulp Lestari (TPL) ke dalam Da­nau Toba. Telah lebih 27 ta­hun TPL beroperasi di Tapa­nuli Utara, selama itu pula pembuangan limbah ke air Danau Toba berlangsung. Pab­rik yang dulu bernama PT Inti Indorayon Utama ini juga berkonflik dengan ma­syarakat sekitar yang keber­adaan pab­rik ini dinilai meng­hancurkan ekosistem kawasan sekitarnya, terutama limbah cair dan limbah gas yang dihasilkan pabrik terse­but.

Limbah cair yang terserap oleh tanah membuat tanaman produksi rakyat sekitar meng­alami ganggguan, air dari su­ngai yang mengalir dan meng­hidupi warga juga tak lu­put dari cemaran logam be­rat, belum lagi polusi udara yang tercium bau menyengat membuat kualitas kesehatan masyarakat menurun.

Menurut catatan WWF, TPL turut bertanggungjawab terhadap rusaknya hutan alam yang memiliki nilai konser­vasi tinggi (high conversation values), hancurnya mata air alam, dan hancurnya eko­sistem Danau Toba. Kehan­curan yang diakibatkan ke­ber­adaan pabrik ini juga berkontribusi terhadap pe­manasan global. TPL hanya berhasil mengubah rimbunan pohon alamiah yang tumbuh ratusan tahun di hutan sekitar seluas 269.060 hektar (empat kali luas negara Singapura) menjadi bubur kertas (pulp) sebanyak 300.000 ton per ta­hun, tidak sebanding dengan dampak ekologi dan sosial yang ditimbulkannya dimana masyarakat sekitar semakin miskin dan sengsara.

Tidak sampai di situ, ke­beradaan ribuan keramba ikan dari perusahaan asing yang mengembangkan dan beternak ikan nila di dalam Danau Toba juga menimbul­kan problem yang tidak sedi­kit bagi kelestarian air Danau Toba. Tindakan gegabah pa­ra pejabat daerah sekitar Da­nau Toba yang mengeluarkan ijin kerambah ditengarai sarat kepentingan pribadi dan go­longan, sehingga bukti nyata sumbangan keberadaan ke­ramba-keramba itu dapat di­rasakan dengan tercemarnya air danau, bau dan tidak dapat lagi dimanfaatkan masyara­kat sekitar sebagaimana mes­tinya.

Karena itu, sangat penting untuk mengantisipasi ke­mungkinan pada terjadinya degradasi daya dukung kom­ponen-komponen ekosistem kawasan Danau Toba bagi ke­hidupan manusia yang hidup di dalamnya. Kita bisa sedi­kit lega, ketika Presiden Jo­kowi akhirnya memutuskan untuk menutup semua bisnis peternakan ikan keramba yang sempat mencemarkan air Danau Toba. Keputusan ini tentu berdasarkan temuan dan pertimbangan betapa ti­dak seimbangan manfaat ke­beradaan keramba-keramba itu dengan dampak buruk yang ditimbulkannya, ter­uta­ma untuk kelestarian kawa­san Danau Toba dan menjaga mutu lingkungunan yang les­tari.

Bagaimana pun, Danau To­ba adalah land mark Pro­vinsi Sumatra Utara sejak ta­hun 1970-an, memiliki po­ten­si luar biasa sebagai dae­rah tangkapan air seluas 3.698 km2 dengan volume air 1,18 triliun meter kubik. Siklus pergantian airnya bisa mencapai 110-280 tahun, bandingkan dengan danau lainnya di dunia ini yang ha­nya sekitar 17 tahun saja.

Tindakan Penyelamatan

Untuk menghindari sema­kin meluasnya degradasi ka­wasan Danau Toba, memang tindakan penyelamatan beru­pa konservasi kawasan Da­nau Toba harus dilakukan se­cara bersama oleh pemerin­tah pusat dan pemerintah daerah, didukung oleh unsur-unsur pemangku adat dan masyarakat sekitar. Keterli­batan semua pihak ini diha­rapkan dapat mereduksi deg­radasi dan kerusakan yang semakin parah pada kawasan Danau Toba.

Untuk mengantisipasi terjadinya kebakaran hutan yang terus berulang tiap ta­hun di musim kemarau, se­baiknya pemerintah setempat membuat larangan tegas seperti mengeluarkan Perda yang mengatur tentang pem­bakaran lahan dan hutan. Khu­sus hutan lindung yang ada, harus dilindungi oleh aparat setempat, baik itu po­lisi hutan, maupun dengan melibatkan masyarakat adat setempat.

Mereka terlebih dulu ha­rus mendapat edukasi tentang pentingnya penyelamatan hutan lindung bagi kelesta­ri­an alam dan keberlang­sung­an kehidupan di sekitar hutan lindung. Para pelaku pemba­karan hutan secara sengaja harus ditindak tegas, serta memenjarakan mereka.

Pemerintah daerah sekitar Danau Toba harus membuat aturan yang jelas pada proses pembuangan limbah pabrik kertas yang semena-mena membuang limbahnya ke da­lam Danau Toba. Adanya larangan pembuangan limbah ke dalam danau harus segera diterbitkan berupa Perda atau semacamnya, dan mewajib­kan pabrik kertas membuat kawasan sendiri untuk mem­proses limbahnya. Jika hal ini tidak diindahkan, maka ancaman penutupan pabrik bisa dikeluarkan setiap saat.

Pemerintah daerah harus terus berupaya mengedukasi masyarakat sekitar agar tidak membuang limbah rumah tangganya langsung ke dalam Danau Toba. Pencemaran air danau adalah sama saja men­cemari air sumber kehidupan masyarakat sendiri. Jika him­bauan saja tidak mempan, maka perlu diterbitkan pula aturan daerah yang melarang pembuangan limbah rumah tangga ke kawasan danau dan ada sanksi hukum untuk setiap pelanggar aturan ini.

Kawasan Danau Toba ha­rus bersih dari keramba ikan. Peternakan ikan sebenarnya masih bisa dilakukan di ka­wasan lain yang memiliki sungai besar dan deras, dan tidak perlu mencemari kawa­san Danau Toba. Keberadaan keramba ikan yang mengha­silkan kencing dan kotoran ikan sebagai bahan beracun, ditambah pakan ikan yang mengandung bahan kimia, lambat laun akan membunuh ikan-ikan asli dan khas Danau Toba yang akhir-akhir ini se­makin sulit didapatkan para nelayan setempat. Ke­matian ribuan ikan di Danau Toba baru-baru ini pun meng­in­di­kasikan air danau telah terce­mar limbah beracun dari in­dustri peternakan ikan yang ada.

Danau Toba adalah danau tercantik dan terbesar yang dikaruniakan Tuhan kepada masyarakat Indonesia. Mela­lui konservasi, kita mengha­rapkan kawasan Danau Toba tetap lestari dengan keasri­annya dan tetap menjadi daya tarik kunjungan wisata utama bagi Indonesia. Danau Toba adalah milik kita bersama. Karena itu sangat layak kita jaga dan lestarikan bersama pula.

()

Baca Juga

Rekomendasi