MENGENAL gaya hidup masyarakat Suku Hui tidak susah. Dalam berpakaian prianya lazim mengenakan tutup kepala khas Suku Hui yang berwarna putih atau hitam. Warna putih banyak disukai dibandingkan yang berwarna hitam.
Namun ada juga kelompok masyarakat Hui yang lebih suka menutup kepalanya dengan bebat kain, sehingga kelompok ini sering disebut dengan Head-Wimpled Hui People. Ada juga yang mengenakan semacam peci atau kopiah dengan berbagai model dan bentuk pentagonal, hexagonal atau bahkan oktagonal, sesuai dengan aliran Islam yang mereka anut dan mereka percaya.
Pakaian luar dengan pelipit biru di pinggang menjadi fashion di kalangan pria dan wanita Suku Hui, terlebih para prianya sangat suka mengenakan satu lapis pakaian luar ini setelah baju biasa mereka dan biasanya pakaian luar dan baju di dalamnya berwarna kontras sehingga yang mengenakannya terlihat segar dan elegan.
Jika musim dingin tiba, mereka mengenakan pakaian luar yang terbuat dari kulit atau bulu hewan dan di beberapa tempat mereka mengenakan penghangat yang terbuat dari bulu kambing yang sudah tua dan mati.
Para wanita Suku Hui juga memiliki ciri khas tersendiri dalam berpakaian. Mereka biasa mengenakan topi bulat berwarna putih dan beberapa mengenakan cadar. Cadar yang dikenakan gadis muda, yang sudah menikah dan wanita berumur berbeda-beda.
Pada umumnya para gadis remaja mengenakan cadar berwarna hijau dengan pelipit keemasan atau terkadang dengan bordiran halus bermotif bunga dan rerumputan. Wanita yang sudah menikah mengenakan cadar berwarna hitam yang menutup dari ujung kepala sampai ke bahu, sementara wanita berumur mengenakan warna putih yang menutup sampai ke punggung mereka.
Sebagaimana umumnya wanita yang dikodratkan suka bersolek dan kelihatan cantik, demikian juga dengan para gadis remaja dan wanita muda Suku Hui. Mereka akan tampil berbeda-beda sesuai dengan gaya dan selera masing-masing.
Secara umum, ekspose bordir di pakaian dan asesoris yang mereka kenakan mendominasi. Corak bunga dan rerumputan paling banyak yang bisa dilihat sekarang ini, pelipit dan nuansa keemasan atau keperakan juga banyak disukai. Perhiasan kalung, gelang dan cincin juga disukai dan bisa ditemui dikenakan banyak wanita Suku Hui.
Pernikahan
Pernikahan Suku Hui harus mengikuti dan memenuhi hukum Islam. Pernikahan bagi Suku Hui merupakan saat yang sakral dan pemenuhan kehendak Allah. Pernikahan satu pasangan Suku Hui harus diketahui dan disetujui oleh kedua pihak keluarga mempelai dan harus atas kesukarelaan pasangan yang menikah tanpa paksaan dari pihak manapun juga. Keseluruhan proses dari perkenalan, lamaran sampai dengan keseluruhan upacara wajib mematuhi hukum dan tata cara Islam.
Sebelum upacara pernikahan dilangsungkan, pihak lelaki harus memberikan bingkisan pertunangan kepada pihak wanita, dan kemudian menentukan dan menyepakati tanggal pernikahan.
Ketika mereka sudah bertunangan, seluruh sanak saudara harus diundang untuk berkumpul dan menikmati hidangan serta minum teh bersama. “Ijab kabul” atau akad pernikahan dilaksanakan di hadapan Imam dengan saksi-saksi kedua pihak mempelai. Setelah itu, Imam dan para orang-orang yang dituakan keluarga akan memberikan wejangan, petuah bagi pasangan yang akan menempuh hidup baru, nilai-nilai Islam dijunjung tinggi dan pasangan baru tersebut diwajibkan untuk menjalankan keseluruhan nilai Islam dalam menjalani kehidupan berkeluarga.
Yang sedikit membedakan dengan prosesi di daerah lain adalah yang dinamakan “Handling Out Longevity Nuts.” Snack (makanan ringan) yang sudah disiapkan, meliputi: kacang-kacangan yang disebut longevity nut yang menyimbolkan panjang umur, kurma yang melambangkan kesuburan bagi pasangan sehingga dikaruniai anak segera, koin yang menyimbolkan kehormatan dan kemakmuran, kemudian ada juga kacang tanah, buah-buahan, popcorn, walnut, dsb.
Sang Imam akan mengambil 3 genggam penuh dari semua itu, menaruhnya di atas selembar saputangan membungkusnya untuk mempelai pria dan akan diberikan kepada mempelai wanita. (imc/ar)