Oleh: Isnaini Kharisma. SABANG memiliki kegemilangan sejarah yang luar biasa. Kota yang pernah menjadi pelabuhan internasional yang sangat maju itu, dilengkapi berbagai fasilitas oleh pemerintahan di masa kolonial dulu.
Kota tersebut pernah memiliki Radio Zend Station yang merupakan stasiun radio telegraf pertama untuk kawasan Hindia Belanda. Hingga kini, puing-puing bangunannya terbengkalai.
Merupakan salah satu kota di Aceh dan berupa kota kepulauan di seberang utara pulau Sumatera, dengan Pulau Weh sebagai pulau terbesar. Kota Sabang juga menjadi zona ekonomi bebas Indonesia.
Dalam sejarahnya, nama Sabang berasal dari bahasa Aceh yakni “Saban” yang berarti sama rata atau tanpa diskriminasi. Kata tersebut menggambarkan karakter orang Sabang yang mudah menerima pendatang, cenderung berbeda dengan karakter orang Aceh pada umumnya, yang tertutup terhadap orang yang baru mereka kenal.
Versi lain menyebutkan, nama Sabang berasal dari bahasa Arab, “Shabag” yang artinya gunung meletus. Karena dahulunya masih banyak gunung berapi yang aktif di Sabang dan hal ini dapat dilihat di gunung berapi Jaboi dan Gunung Berapi di dalam laut Pria Laot.
Dalam sejarahnya, Sabang di kenal luas sebagai pelabuhan alam, Kolen Station oleh kolonial Belanda sejak 1881. Pada 1887, Firma Delange dibantu Sabang Haven memperoleh kewenangan menambah, membangun fasilitas dan sarana penunjang pelabuhan.
Pada masa awal kemerdekaan, Sabang menjadi pusat pertahanan Angkatan Laut Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan wewenang penuh dari pemerintah melalui Keputusan Menteri Pertahanan RIS Nomor 9/MP/50.
Menurut Pembina Sabang Heritage Society (SHS), Albina Ar Rahman ST, seiring berkembangnya Kota Sabang, semakin banyak cagar budaya dan sejarah yang harus dijaga kelestariannya. SHS yang merupakan komunitas dan bergerak di bidang pelestarian sejarah Sabang, juga sebuah lembaga tempat bernaung para pemerhati warisan di Kota Sabang terus menjaga sejarah yang ada di kota tersebut.
Selain terkenal dengan alam baharinya yang indah, Sabang juga banyak menyimpan sejarah. Seperti bangunan tua, benteng, dan meriam yang menjadi saksi bisu sejarah masa silam.
Tampil sebagai kota tua, layaknya banyak kota di Tanah Air, Sabang juga menyimpan banyak peninggalan arsitektur tua dari bangunan-bangunan kuno yang dibangun pada masa penjajahan Belanda. Salah satunya Rumah Teuku Abbas.
Rumah Teuku Abbas
Sebuah bangunan yang cukup lawas, Rumah Teuku Abbas, menjadi saksi sejarah kependudukan Jepang tahun 1942-1944. Rumah tersebut dijadikan kediaman Teuku Abbas, seorang Ulee Balang (districtshoofd), yaitu pemimpin masyarakat lokal untuk kawasan Sabang dan sekitarnya periode 1904-1942.
Pada masa pendudukan Jepang, Teuku Abbas dipercaya sebagai Gaucho, yang memimpin penduduk lokal Sabang. Gedung yang dibangun sekitar 1910 itu, awalnya berfungsi sebagai rumah tinggal. Dengan tipe berkolong, bangunan ini mirip beberapa rumah bergaya vernakular, namun secara khusus berbeda dari rumah-rumah tradisional kebanyakan.
Bentuk bangunannya mirip segilima dengan bersudut. Bagian atap dilengkapi atap genteng yang didominasi nuansa coklat. Dilihat dari depan, pada arsitektur rumah tersebut disematkan jendela dibagi dengan dua gaya, sisi kanan dan kiri menggunakan gaya sisir sementara bagian tengah bertipe jendela modern. Tangga didesain menggunakan aksen seperti permainan anak dengan lengkungan yang khas.
Hampir menyeluruh, bangunan rumah itu berbahan material batu. Layaknya rumah orang-orang Eropa di masa kolonial, kolong bagian bawahnya, dimanfaatkan sebagai gudang penyimpanan dan pengelolaan bagi usaha dagangnya.
Albina membenarkan, rumah tinggal (rumah keluarga) ini, merupakan tipe rumah kolong.
Bagian kolong juga difungsikan dengan baik. Artinya, di masa lalu, bangunan ini selalu digunakan untuk mendukung aktivitas kehidupan sehari-hari bagi penghuninya.
Bangunannya sudah berusia lebih seabad. Ada beberapa sisi bangunan yang mulai tampak lapuk dimakan usia. Meski demikian, mengingat struktur bangunannya terbuat dari beton, Rumah Teukku Abbas ini dipastikan bertahan lama.
“Pada bagian bawah rumahnya, dijadikan sebagai gudang untuk menyimpan barang-barang khususnya hasil bumi. Rumah ini didesain oleh arsitek Jerman, namun tidak diketahui nama dan datanya. Para pekerjanya merupakan buruh bangunan yang didatangkan khusus,” jelasnya.
Rumah yang berada di Kota Atas Sabang ini, dikelilingi pagar beton. Meski pada cat dinding bangunan sudah mulai memudar, namun tidak mengurangi nilai keartistikannya. Pada halaman depan, terlihat asri ditumbuhi rumput hijau yang terawat.
Selain Rumah Teukku Abbas, beberapa arsitektur bangunan khas peninggalan Belanda di Sabang yang merupakan warisan heritage tetap dijaga pemerintah setempat. Beberapa di antaranya, Rumah Controleur yang menjadi saksi sejarah proses serah terima Pulau Weh/Sabang dari tangan Belanda kepada Indonesia pada 1950.
Lalu, ada Koningin Plein atau kompleks Taman Raja yang terletak di kawasan kota dan dibangun pihak Belanda pada 1896. Pada mulanya, taman tempat bermain ini bernama Taman Raja-raja yang diberikan sebagai tanda menghormati Ratu Wihelmina di negeri Belanda. Simbol penghormatan itu ditandai dengan adanya sebuah kursi ratu di taman tersebut.
Pemerinth setempat kemudian memugar tempat itu pada 190 dan mengganti namanya menjadi Taman Gembira yang kemudian berganti nama kembali menjadi Taman Ria. Kekinian taman tersebut lebih sering digunakan sebagai lokasi pergelaran seni dan budaya.
Lanskap yang asri pada taman di tengah kota itu, menyuguhkan seni arsitektur tak ternilai. Apalagi, taman itu juga dismpurnakan dengan keberadaan sejumlah pohon yang telah berusia ratusan tahun.
Tidak kalah menarik, suguhan arsitektur kuno di Sabang juga dapat dilihat dari kekhasan makam di kompleks Makam Eropa. Di tempat itu, disemayamkan sipil dan militer Eropa berkebangsaan Denmark, Yunani, Perancis, Jerman dan terutama Belanda sejak era 1800-an. Kompleks makam itu terletak di Kota Atas.
Cat yang mulai mengelupas beradu tempat dengan lumut. Pudarnya warna pada gerbang kompleks makam itu, kian menambah kesan kuno. Ihwal disebut sebagai Makam Eropa, tertera pada cetakan plakat yang menempel pada dinding gerbang kompleks tersebut. Di dalamnya, sejumlah makam dipayungi rimbunan pohon asam dan kamboja yang merangas.
Sebagai kota bersejarah yang dulunya banyak dikunjungi para pedagang dari segala penjuru dunia, tentu saja Sabang mewarisi peninggalan arsitektur bangunan sejarah yang bernilai tinggi. Tidak hanya untuk keperluan wisata, arsitektur tua itu semestinya dijaga untuk kepentingan penelitian dan kemajuan bidang ilmu arsitektur. Karena itu, dibutuhkan dukungan penuh semua pihak, untuk komitmen tinggi dalam pengembangan sejarah Kota Sabang.