Belajar dari Filosofi Sebutir Nasi

Oleh: J Anto

SEORANG ibu bertandang ke Se­kretariat DPD INLA Sumut di Komplek Cemara Asri Medan. Kedatangan sang tamu disambut Sekretaris DPD INLA Sumut, Wirya Lukmana dengan sikap ramah dan murah menebar senyum. Ibu itu lalu bertutur tentang perubahan perilaku anak­nya.

“Sejak anak saya membaca brosur itu, ia tak mau lagi menyisakan nasinya sebutir pun di atas piring usai makan,” tutur si ibu seperti ditirukan Wirya Lukmana. Padahal sebelumnnya, anak ibu itu punya kebiasaan buruk. Selalu menyisakan nasi yang disantapnya. Terharu sekaligus gembira melihat perubahan perilaku anaknya, ibu itu lalu mengangsurkan sebuah amplop. Isinya uang Rp2 juta.

Kepada Wirya Lukmana, ibu itu me­nitipkan sebuah pesan. Uang donasi itu agar digunakan untuk menggandakan brosur. Tujuannya agar semakin banyak orang membaca brosur itu dan mengubah kebi­asaan buruk mereka usai makan seperti dilakukan anaknya.

Tapi tunggu dulu, apa sebenarnya isi brosur itu? Apa pula kaitannya dengan INLA Sumut?

“Brosur berjudul, ‘Nilai Luhur Sebutir Nasi’ itu, kami tempel di sebuah restoran di Kompleks Cemara Asri,” tutur Wirya. Brosur itu berkisah tentang krisis pangan yang melanda berbagai negara di belahan dunia. Banyak orang menderita busung lapar atau meninggal gara-gara tak bisa makan. Ironisnya di berbagai negara lain, tak sedikit orang yang membuang-buang nasi.

Gerakan untuk menyelamatkan sebutir nasi pun digaungkan INLA. Sebuah per­hitungan matematik sederhana dibuat. Semisal untuk Indonesia yang penduduknya berjumlah 250 juta. Jika dalam sehari membuang satu butir nasi setiap makan, atau tiga butir untuk 3 kali makan, maka setiap hari ada 3 butir nasi x 250 juta atau  750 juta butir nasi yang terbuang  percuma.

Dari hasil perhitungan, dalam 1 kg beras terdapat ± 50 ribu butir beras. Karena itu, jika dihitung 750 juta dibagi 50 ribu setara 15 ton beras dibuang setiap hari. "Nah, kalau 1 kg beras cukup untuk 10 orang makan, maka ada 15 ton dikali 10 orang atau 150 ribu orang yang bisa diberi makan," katanya.

Lebih fantastik lagi, kalau seluruh penduduk dunia yang berjumlah 7 milliar tidak menghentikan kebiasaan membuang 3 butir nasi per hari. Maka  per hari nasi yang terbuang 420 ton, cukup untuk memberi makan 4,2 juta orang. Benarkah kita hanya membuang sebutir nasi saja setiap kali makan?  

"Fantastik bukan? Ironisnya menurut data FAO PBB, setiap hari ada 25 ribu orang mati kelaparan di dunia ini," tambah Wirya sembari geleng-geleng kepala.

Menyelamatkan Alam

Dari sebutir nasi karena itu, bukan lagi sekadar soal menyelamatkan nyawa orang yang kelaparan. Tapi juga mengingatkan manusia agar tidak menyia-nyiakan nasi. Walau barang sebutir pun. Manusia di­ingatkan agar menyayangi dan menye­lamatkan sumber daya alam yang telah memberi secara tulus untuk umat ma­nusia.

"Itu bagian dari usaha menumbuhkan budaya dunia satu keluarga," ujarnya.  Kata-kata memang bak mantra sihir. Jika ditulis dengan penuh ketulusan dan pilihan kata yang tepat, maka dampaknya bisa meng­gugah dan mengubah seseorang untuk mengadopsi sebuah nilai baru.

Simak misalnya testimoni Syafira Sari, siswa kelas VI B SD l Jenderal Sudirman. Awalnya ia menganggap sepele senam kasih semesta. Saat terpilih sebagai anggota tim di sekolahnya, ia juga bersikap ogah-ogahan. Namun setelah mulai berlatih, terlebih saat mendengar syair lagu  “Dunia Satu Keluarga”, ia mulai merasa tertarik.  Seiring waktu juga mulai terjadi perubahan sikap pada dirinya.

“Dulu aku sangat tidak suka dengan orang berkulit hitam, tapi INLA mengajari aku untuk menghargai semua manusia. Mau itu jelek atau pun cantik, hitam atau pun putih, semua itu sama dimata Tuhan,” kata Syafira dengan sorot mata berbinar.

Patricia Govani dari SMA Kristen Andreas, punya kisah tak jauh beda dengan Syafira. Awalnya saat disuruh gurunya ikut senam kasih semesta, ia juga malas-malasan. Saat melakukan gerakan, ia melakukan dengan asal-asalan. Bahkan saat instruktur INLA memberi motivasi, Patricia malah memilih mengajak ngobrol dengan temannya.

“Tapi seiring waktu, aku mulai me­rasakan ada perubahan diri. Aku mulai mampu membangun rasa percaya diri. Bisa belajar kompak dan bekerjasama dengan teman-teman yang juga mengikuti senam,” tuturnya.

Lebih dari itu, Patricia juga mengaku mulai dapat menghargai waktu. Kontras dengan  perilaku sebelumnya yang kerap menyia-nyiakan waktu dengan bermalas-malasan.

Senam kasih semesta memang hanya salah satu media untuk membangun sebuah budaya baru di kalangan anak-anak muda. Budaya dunia satu keluarga yang meng­hargai perbedaan umat manusia tanpa dibatasi sekat perbedaan suku bangsa, etnis maupun ras, perbedaan agama, warna kulit, gender atau identitas lainnya. Sebuah budaya baru yang juga menghargai bumi, langit dan segala mahluk yang hidup di atas udara, di atas bumi maupun di dalam bumi.

Sejumlah anak muda sudah merintis untuk mengadopsi budaya dunia satu keluarga itu, kapan giliran Anda?

()

Baca Juga

Rekomendasi