Oleh: J Anto
PADA 2006 bisnis berus toilet yang dirinris Susanto sebenarnya sudah tergolong kinclong. Empat tahun berikutnya, ia bahkan pernah mengekspor ke Singapura dan Malaysia. Meski hanya tamatan SMA, namun naluri bisnis dan kreativitasnya boleh diacungi jempol. Brush (berus) yang diproduksi tak hanya terbuat dari ijuk dan serat sabut kelapa, tapi juga dipadu dengan bulu sapu plastik.
Di Medan, brush itu sempat digandrungi masyarakat alias laku keras. Apalagi brush-nya warna-warni. Eok dipandang mata dan tak menimbulkan kesan jorok saat disimpan di kamar mandi.
Namun karena muda pengalaman berbisnis dan terlalu bersemangat cari hoki, ia jadi kurang meperhitungkan kualitas barang. Stok bahan baku juga tak cermat dikalkulasi di gudang. Eksportir juga banyak mengembalikan barangnya. Akibatnya bisnis Susanto rontok. Tapi Susanto tak kapok.
Pada 2014, dengan sisa modal yang ada, ia mendengar ada sebuah pabrik hanger kayu yang bangkrut dan mau menjual sisa yang belum laku. Jumlahnya 400 ribu buah. Ia pun tertarik. Setelah tak lagi menekuni bisnis berus, ia memburu barang-barang bekas dari pabrik.
Dalam kalkulasinya, sisa hanger itu jika dibersihkan dan poles, bisa laku Rp 10 ribu per buah di pasaran. Ia bahkan sudah mengalkulasi keuntungan yang bakal diraup. Namun karena modal cekak, ia lalu mencari mitra, ketemulah dengan Febri Yunarta yang pernah jadi staf pemasaran di sebuah usaha retail terkenal.
“Kemampuan saya di bidang produksi dan kreasi produk, tapi lemah di pemasaran,” tuturnya. Namun tak seperti prediksi mereka, ternyata patokan harga gantungan baju Rp 10 ribu tak menarik minat pedagang pengecer. Harganya bahkan kelewat mahal dibanding gantungan plastik. Susanto dan Febri sempat frustrasi. Tapi mereka tak kehabisan ide.
“Justru saat frustrasi itu, ide-ide kreatif malah bermunculan,” ujar Susanto sembari tertawa renyah. Ferbri ikut membenarkan. Lalu mereka memanfaatkan hanger kayu yang menumpuk di gudang itu menjadi seperangkat meja-kursi.
Saat dipamerkan di sebuah pameran UMKM di Medan, banyak pengunjung pameran memberi komentar “gila” dan terkagum-kagum. Namun muncul banyak tantangan. Membuat seperangkat meja-kursi dari hanger butuh waktu lama. Butuh juga tempat penyimpanan luas.
“Kerepotan juga muncul saat dibawa ke pameran, space ruang pamer terbatas, mengangkutnya juga cukup repot,” ujarnya. Pasar juga terbatas. Satu set meja-kursi dari hanger itu dijual Rp 7 juta – Rp 9 juta. Itu artinya hanya golongan menengah ke atas yang mampu membelinya. Walau demikian, Susanto pernah berhasil memproduksi sebanyak10 set.
Membuat Replika
Pada Maret 2015, timbul gagasan dari Susanto saat melihat masih banyak sisa brush ekspor teronggok di gudangnya. Brush BS atau apkiran istilahnya. Ia lalu coba-coba membentuk brush apkiran itu menyerupai replika harimau sumatera.
“Saat diperlihatkan ke teman-teman, mereka bilang bagus dan sudah mirip harimau.” Hanya ada kritik, pada karya awalnya, wajah dan mata replika itu belum terlalu mirip harimau. Tapi apapun tanggapan yang ada, respons itu telah melecut semangat Apheng untuk terus berkarya membuat berbagai jenis replika memanfaatkan bahan tersebut.
Bersama Febri, ia lalu memproduksi sekitar 20 jenis replika. Saat diikutkan dalam pameran UMKM di Medan, September 2015, ternyata laris manis.
“Replika Vespa, Harley Davidson dan becak motor siantar paling banyak diminati pembeli,” tuturnya. Sejak itu tangan Apheng dan Febri pun semakin terampil menggunting dan membentuk berbagai jenis replika hewan, alat transportasi, dan lainnya.
“Saya juga membuat replika sesuai pesanan pembeli. Dulu saya nggak berpikir buat replika lumba-lumba, setelah ada yang pesan, baru kami membuatnya,” ujar Apheng.
Sebuah galeri terkenal di Medan juga pernah memesan berbagai jenis replika binatang yang ada di galeri tersebut, termasuk untuk kebun binatang yang ada di Pematangsiantar. Ke depan mereka ingin mengembangkan berbagai replika yang menjadi ciri khas atau ikon Sumatera Utara.
“Sudah kami buat replika harimau sumatera dan becak motor siantar, mungkin selanjutnya berbagai rumah adat masyaraka Sumut atau ikon daerah lain di Sumut,” tuturnya. Inovasi lain berbasis serat sabut kelapa juga tengah dirintis. Misalnya membuat sepatu dicampur dengan karet, juga keset dan lampu duduk.
“Untuk lampu duduk, kami akan membuat tiang dan penutup atau tudungnya,”tambah Apheng lagi.
Bernaung di bawah bendera Creabrush, duet Susanto dan Febri Yunarta mengaku banyak mendapat dukungan dari Dinas Koperasi dan UMKM Deli Serdang dan Sumut, Asosiasi Eksportir dan Pengusaha Handicraft Indonesia (ASEPHI) dan juga Bank sumut. “Ke depan, kami berharap perajin seperti kami tetap mendapat dukungan dari mereka,” katanya.